PERLINDUNGAN ISLAM TERHADAP BURUH
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
Fenomena
buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian kita sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad
XV yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik , lahan tambang,
perkebunan dan lain-lain. Revolusi industri yang diklaim sejarawan sebagai
tonggak kebangkitan Eropa setelah sejak berabad-abad lamanya tenggelam dalam masa
kegelapan, melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat. Di antaranya,
muncul kelas pemodal (kaum borjuis) yang 'mengorganisasi' dan
'mengeksploitir' buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi lain,
sistem feodalistik
ini melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja (kaum proletar),
yang menjadi 'budak' bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa,
tidak hanya orang laki-laki dewasa tapi juga anak-anak dan pekerja-pekerja
wanita. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Ide
liberalisme (kebebasan) dengan landasan utama sekularisme, yang menjadi acuan kebangkitan
Eropa telah melahirkan keserakahan demi keserakahan dalam menggapai 'kemuliaan'
dunia. Maka bangsa-bangsa Eropa ramai-ramai melancarkan imperialisme kepada bangsa-bangsa lain yang menguntungkan
secara geografis termasuk adanya
kekayaan alam. Tercatat
seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis menjadi
kolonialis-kolonialis pada era itu hingga diusirnya mereka dari daerah
jajahannya.
Jan Bremen seorang sosiolog Belanda, mengobservasi nasib para buruh pada masa kolonialisme Belanda.[1]
Lewat sebuah penelitian dengan memanfaatkan dokumen-dokumen resmi pemerintah
kolonial yang selama ini tersembunyi, ia memaparkan praktek keji politik
kolonial terhadap ribuan buruh atau kuli asal Cina, India, Jawa dan
daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan Sumatra Timur
pada awal abad 19 hingga awal abad 20. Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan
Bremen - yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak
menghargai perstasi bangsanya sendiri - jika dianggap bersalah diperlakukan
dengan sangat tidak manusiawi. Mereka disiksa layaknya binatang, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian
yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari paradaban
kapitalisme.
Kapitalisme sebagai sebuah ideologi - memiliki aktivitas yang paling
menonjol yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dengan sebebas-bebasnya. Dengan
demikian sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme
belum berakhir. Bahkan semakin merajalela, dikarenakan ideologi kapitalisme
menjadi ideologi tunggal setelah khilafah
Islamiyah dihancurkan Barat pada tahun 1924,[2]
dan ideologi komunisme runtuh dengan sendirinya di tahun 1990 (ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin).
Demi menyelesaikan problem perburuhan, para buruh di
beberapa negara banyak yang membentuk partai politik . Partai politik ini
mereka maksudkan untuk memperjuangkan kelas social (class
strunggle) agar tercapai kesamaan diantara para buruh dan majikan. Teori
ini dipengaruhi analisis Karl Marx yang
bercita-cita menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat ( masyarakat tanpa kelas ). Padahal dengan tergantinya pihak penindas (kaum borjuis)
oleh kaum proletar (yang tertindas) , maka orang yang tertindas itu kemudian
ganti menjelma menjadi kelas penindas baru,
sebagai tindakan konservatif.[3]
Di Indonesia sendiri mulai nampak kesadaran kaum buruh
akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak memberikan upah yang layak
sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain. Maka berbagai demonstrasi pun digelar (tidak jarang yang disertai
pengrusakan) mogok kerja dan aksi-aksi lainnya dalam memperjuangkan nasibnya.
Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut , baik bagi buruh
sendiri, pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu. Buruh terancam
PHK tanpa pesangon,
buruh diintimidasi bahkan terancam jiwanya. Sementara pihak perusahaan
menanggung reksiko kehilangan produktivitas, selain ancaman kerugian fisik
akibat amuk buruh. Dan secara politis, persoalan ini menjadi lahan subur untuk
menyusupkan ideologi komunisme, dengan senjata ampuhnya - pembelaan dan janji-janji indah
kepada para buruh. Juga pemecahan dengan metode sekuler yang berakibat pada
disfungsionalisasi ajaran agama. Bagaimanakah dengan Islam? Apakah aturan aturan Islam terhadap buruh dapat menyelesaikan dan menuntaskan problem perburuhan?
Konsep buruh
Buruh adalah
sebuah upaya fisik dan mental yang dikeluarkan oleh manusia dalam proses
produksi. Tenaga buruh adalah suatu komponen sumber daya manusia yang menjadi
input dalam produksi barang dan jasa. Sebagai imbalan atas sumbangan itu, buruh
diberi upah yang berbentuk uang atau barang atau yang lain. Bagi mayoritas
penduduk terutama golongan miskin, upah adalah sumber utama pendapatan mereka,
dan bagi negara pendapatan upah adalah komponen terbesar sumber pendapatan
penduduk.
Penentuan kuantitas dan kualitas buruh serta kadar upah
di sebuah negara, tidak saja dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut,
tetapi juga oleh system nilai yang ada dalam masyarakat, serta pengalaman
sejarah yang dilalui oleh negara tersebut. Kebanyakan negara kini cenderung
untuk merespon dan bergantung kepada institusi pasar dalam mengatur kebutuhan
terhadap buruh dan peraturan pemberian upah. Namun pada hakekatnya, sistem
nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dan pengalaman sejarah masing
masing telah membedakan bentuk dan struktur pasar buruh di negara tersebut.
Dalam mencari formulasi konsep buruh dan upah, tidak
harus selalu merujuk kepada ilmu ekonomi konvensional, karena teori yang
mengkategorikan buruh sebagai input produksi bertentangan dengan konsep Islam
bahwa manusia adalah khalifah Allah di bumi.[4]
Jumlah buruh di suatu negara biasanya berbanding lurus dengan jumlah penduduk,
apabila suatu negara memiliki penduduk yang padat, maka jumlah tenaga buruh pun
melimpah.
Dalam istilah ilmu ekonomi, buruh dianggap sebagai sumber
daya yang dimiliki manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh
adalah input atau faktor pengeluaran atau biaya produksi. Sementara
dalam Islam, faktor buruh tidak harus dianggap sebagai biaya produksi atau
faktor pengeluaran, karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai
wakil Allah di atas bumi. Seorang buruh yang menjual tenaganya untuk
mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia menjual sebagaian dari apa yang
dimilikinya, dan bukan menjual dirinya. Maka tidak semestinya buruh dianggap
sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.
Menurut
Abu Sulaiman[5] buruh
bukan faktor pengeluaran, karena buruh ada untuk memanfaatkan faktor
pengeluaran. Dengan meletakkan buruh sebagai faktor pengeluaran maka manusia
akan tunduk kepada manusia lain. Baqir al Sadr[6]
juga mempersoalkan buruh sebagai faktor pengeluaran, karena buruh adalah
manusia dan bukan harta yang boleh dimiliki.
Kenyataan
bahwa buruh adalah manusia menimbulkan beberapa masalah dan kekeliruan apabila
digunakan dalam analisis ekonomi. Pertama : kita tidak dapat membedakan antara
manusia sebagai buruh dan bukan buruh. Dalam analisis ekonomi perbedaan ini
seringkali amat penting, sebagai contoh dalam menganalisa sebuah perusahaan,
kita perlu membedakan antara perusahaan besar dan wiraswasta, antara pengusaha
dan buruh yang pada hakekatnya adalah sama. Sebagai contoh lain apabila kita
membedakan manusia menurut jenis pendapatan, maka dibagi menjadi kelompok yang
menerima pendapatan buruh dan pendapatan bukan buruh. Kedua : dengan menganggap
buruh dan manusia adalah sama, maka isu hak milik terhadap buruh menjadi kabur.
Sebagai contoh seorang penyalur tenaga kerja (buruh) yang menjual buruh kepada
perusahaan, apakah ia juga menjual hak milik terhadap diri para buruh.
Menganggap buruh adalah faktor pengeluaran berarti buruh tunduk kepada pemilik
perusahaan yang artinya bahwa ada manusia yang tunduk kepada manusia lain.
Dengan demikian kita akan kembali kepada konsep perbudakan yang telah
dihapuskan oleh Islam.
Sementara
itu konsep buruh sebagai harta milik manusia tidak bertentangan dengan Islam.
Hakekat bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi (QS Al Baqarah : 30) memang
wajib diakui, namun Islam juga menganjurkan manusia untuk bekerja guna
mendapatkan upah (QS At Thalaq : 6). Islam bahkan mengharuskan manusia untuk
bekerja (QS At Taubah : 105, Al An`am : 135, Hud : 93 & 121, Az Zumar : 39).
Berdasarkan konsep inilah para ekonom muslim seperti Afzalur Rahman (1974),
Muhammad Abdul Mannan (1970) dan Abu al A`la al Maududi (1969) tidak menafikan
bahwa buruh sebagai faktor produksi.[7]
Kontrak kerja dalam Islam
Di
dalam Islam, problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum kontrak kerja (ijarah).
Secara definisi, ijarah adalah transaksi atas jasa/manfaat tertentu dengan
suatu konpensasi atau upah.[8]
Syarat tercapainya transaksi ijarah tersebut adalah kelayakan dari orang-orang
yang melakukan aqad, yaitu penyewa tenaga atau majikan dengan orang yang
dikontrak atau pemberi jasa/tenaga. Kelayakan tersebut meliputi : kerelaan
(ridha) dua orang yang bertransaksi, berakal dan mumayyiz dan jelas upah
dan manfaat yang akan di dapatnya.
Dengan
pengertian di atas, maka kontrak kerja dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu[9]
:
1. Manfaat yang di dapat seseorang
dari benda, sebagai contoh seseorang menyewa rumah, kendaraan, komputer dan
sejenisnya.
2. Manfaat yang di dapat seseorang
atas kerja /amal seseorang, semisal arsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan
sejenisnya.
3. Manfaat yang di dapat seseorang atas
pribadi atau diri orang lain, semisal mengontrak kerja atau menyewa seorang
pembantu, satpam dan sejenisnya.
Islam
memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar
mereka bekerja untuk orang tersebut. (QS Az Zukhruf : 32). Ibnu Syihab
meriwayakan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa
Aisyah r.a berkata : " Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak
(tenaga )orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut
beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua
kendaraan beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang
tersebut ( agar berada ) di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua
kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga".
Karena
sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak
dengan imbalan upah, maka seorang yang dikontrak haruslah dijelaskan bentuk
kerjanya (job description), batas waktunya (timing), besar
gaji/upahnya (take home pay) serta berapa besar tenaga/keterampilannya
harus dikeluarkan (skill). Bila keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini
tidak dijelaskan sebelumnya, maka transaksinya menjadi rusak (fasid). Termasuk
yang harus ditentukan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja,
sehingga para pekerja tersebut tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar
kapasitasnya. Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar
mencurahkan tenaga, kecuali sesuai dengan kapasitasnya yang wajar.
Karena
tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka membatasi jam
kerja dalam sehari adalah takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam
kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus dikeluarkan. Misalnya buruh
harian, mingguan atau bulanan. Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus
ditentukan, semisal menggali tanah, mengemudikan mobil atau bekerja di
penambangan dan lain sebagainya.
Tiap
pekerjaan yang halal, maka hukum kontrak kerja bagi pekerjaan tersebut juga
halal. Sehingga kontrak kerja tersebut boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian,
industri, pelayanan (jasa), perwakilan dan lain sebagainya. Apabila transaksi
kerja tersebut dilakukan terhadap pekerjaan tertentu, atau terhadap pekerja
tertentu, maka hukumnya wajib bagi pekerja tersebut untuk melakukan
pekerjaannya sendiri. Dan secara mutlak posisinya tidak boleh digantikan oleh
orang lain, karena dia telah diangkat dengan sebuah kesepakatan bersama.
Sedangkan apabila kontrak kerja tersebut terjadi pada benda yang dideskripsikan
dalam suatu perjanjian, atau terjadi pada pekerjaan yang telah dideskripsikan
untuk melakukan kerja tertentu, maka dalam keadaan seperti ini si pekerja boleh
saja mengerjakan pekerjaan itu sendiri atau boleh juga orang lain menggantikan
posisinya, apabila dia sakit atau tidak mampu, selama pekerjaannya sesuai
dengan deskripsinya.
Transaksi
kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan sekali masalah waktu. Ini
dikarenakan ada akad kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Apabila
pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya - tetapi tidak terpenuhi - maka
pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak
sah. Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu 1 tahun
atau 1 bulan, maka tidak boleh salah seorang diantara kedua belah pihak
membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh
seseorang bekerja untuk selamanya (tanpa waktu yang jelas) dengan perkiraan
gaji yang juga tidak jelas.
Buruh dan Upah
Struktur hak
milik terhadap buruh dan bentuk institusi yang mengatur penggunaan buruh dan
penentuan upah adalah diantara faktor yang membedakan sistem ekonomi. Dalam
Islam penentuan upah tidak hanya berdasarkan kepada kualitas buruh seperti
aspek fisik, mental, pengalaman kerja, profesionalisme dan lain sebagainya.
Akan tetapi ada pertimbangan lain yaitu aspek kebutuhan pribadi dan keluarga.
Dengan demikian maka ada implikasi penting dari teori di atas yaitu[10]
:
1. Teori penentuan upah dalam Islam berbeda dengan sistem
ekonomi kapitalis, dan ada unsur kesamaan dengan sistem ekonomi sosialis.
2. Mekanisme penentuan upah dalam Islam tidak bergantung
kepada institusi pasar.
Menurut
Afzal ar Rahman (1974) penawaran terhadap buruh ditentukan oleh 3 faktor yaitu
: keahlian buruh, mobilitas dan jumlah penduduk[11].
Profesionalisme buruh mengacu kepada kesehatan fisik dan mental, tingkat
pendidikan, pelatihan atau pengalaman kerja yang membantu kecakapan bekerja.
Dalam ilmu ekonomi konvensional profesionalisme buruh adalah faktor yang
mempengaruhi tingkat produktivitasnya, dengan demikian maka penawaran terhadap
buruh tergantung kepada produktivitasnya.
Hal
yang perlu dicatat bahwa meskipun faktor profesionalisme buruh mempengaruhi tingkat
produktivitasnya, akan tetapi tidak selalu berakibat kepada meningkatnya
kuantitas buruh yang ditawarkan. Karena penawaran terhadap buruh bergantung
kepada masa kerja yang sanggup dikerjakan pada suatu tingkat upah tertentu.
Maka pertanyaannya adalah apakah buruh yang tingkat pendidikannya tinggi akan
bersedia menawarkan masa kerja yang lebih banyak pada tingkat upah tertentu.
Yang terjadi adalah sebaliknya, semakin tinggi tingkat profesionalisme maka
akan semakin keberatan menerima pekerjaan dengan upah yang rendah, dan ini
menandakan penawaran terhadap buruh semakin berkurang.
Dalam
ilmu ekonomi konvensional produktivitas buruh mempengaruhi permintaan
terhadapnya. Semakin tinggi tingkat profesionalisme yang diberikan kepada
proses produksi, maka akan semakin tinggi permintaan terhadap buruh, dan begitu
juga sebaliknya. Akan tetapi dalam Islam, skema penentuan upah tidak tergantung
pada permintaan terhadap buruh, atau paling tidak dianggap tidak relevan dalam
penentuan upah. Maka pertanyaan yang muncul adalah apakah permintaan terhadap
buruh tidak bergantung kepada upah, atau dengan kata lain apakah Islam
menghendaki para pekerja mengabaikan faktor upah ketika membuat keputusan untuk
menerima suatu pekerjaan?
Penentuan upah
Konpensasi
yang berupa honor boleh dibayarkan tunai, boleh juga tidak. Honor tersebut juga
bisa dalam bentuk harta (uang) atau pun jasa. Sebab apa saja yang bisa dinilai
dengan harga, maka boleh juga dijadikan sebagai konpensasi, baik berupa materi
maupun jasa, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas, maka transaksi
tersebut tidak sah. Dengan kata lain, gaji (upah) haruslah jelas
sejelas-jelasnya, sehingga bisa menafikan kekaburan, dan bisa dipenuhi tanpa
ada permusuhan.
Penentuan
upah/gaji dalam Islam adalah berdasarkan jasa kerja atau kegunaan /manfaat
tenaga seseorang. Berbeda dengan pandangan kapitalis dalam menentukan upah, mereka
memberikan upah kepada seorang pekerja dengan menyesuaikannya dengan biaya
hidup dalam batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban
hidupnya bertambah pada batas yang paling minimum. Sebaliknya mereka akan
menguranginya, apabila beban hidupnya berkurang. Oleh karena itu, upah seorang
pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tanpa memperhatikan jasa yang
diberikan oleh tenaga seorang atau masyarakat.
Dalam
kondisi apapun, selama perkiraan tersebut tetap mengacu pada sarana-sarana
kehidupan paling minim yang dibutuhkan oleh seorang pekerja, maka itu akan
mengakibatkan kepemilikan para pekerja tersebut tetap terbatas, sesuai dengan
standar paling minimum yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka, sebagaimana yang dialami oleh pekerja yang terdapat di negara-negara
yang terbelakang pemikirannya, seperti negara negara Islam, ataupun cukup untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer serta sekunder dan tersier mereka,
sebagaimana yang dialami pekerja di negara-negara yang sudah maju pemikirannya,
seperti Eropa dan Amerika. Maka pekerja yang ada di sana - baik yang maju
ataupun belum - tetap saja sama nasibnya. Kepemilikan para pekerja dibatasi
sesuai dengan batas taraf hidup mereka yang paling minim, menurut ukuran
komunitas mereka. Padahal tinggi rendahnya masyarakat berbeda antara satu
dengan yang lainnya, namun perkiraan tersebut tetap mengikuti biaya hidup
minimum yang dibutuhkan oleh pekerja tersebut. Inilah mekanisme penetapan upah
dalam sistem ekonomi kapitalisme.[12]
Pandangan
kapitalis di atas jelas tidak menghargai sama sekali jasa seseorang dan juga
profesionalitas pekerja. Hal ini pun bertentangan dengan tingkat kebutuhan
manusia yang berbeda-beda yang ingin dipenuhi, akhirnya pekerja sendiri yang
harus mampu menekan tingkat kebutuhan tersebut. Di dalam Islam jelas berbeda
penanganannya, profesionalisme kerja sangat dihargai oleh Islam. Sehingga upah
seorang pekerja benar-benar didasari pada keahlian dan nilai manfaat yang bisa
diberikan oleh pekerja itu, bukan yang lainnya. Dalam mekanisme penetapan upah,
Islam menjelaskan adanya dua prinsip dasar yaitu :
1. Upah harus sebanding dengan kualitas kerja atau
profesionalisme pekerja dan nilai manfaat yang dihasilkan.
2. Upah harus melebihi batas minimum kebutuhan pokok
seseorang.
Di
sini perlu dicatat bahwa mekanisme penetapan upah dalam Islam mempunyai
kesamaan dengan dengan sistem sosialisme, dimana manfaat ekonomi dan kualitas
pekerjaan adalah asas dalam penetapan upah.[13] Penetapan upah sesuai dengan
kualitas kerja adalah berdasarkan kepada prinsip bahwa manusia diciptakan
dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda beda (QS An Nisa : 32 & 6).
Dalam kehidupan ekonomi global seperti dewasa ini, disamping dua prinsip dasar
di atas, perlu ditambahkan prinsip musyawarah atau negoisasi (tawar menawar) antara
pemilik perusahaan dan pekerja. Dengan kata lain pasar buruh adalah mekanisme
yang menjelaskan proses tawar menawar antara pemilik perusahaan dengan pekerja
dalam menentukan upah dan syarat syarat kerja antara kedua belah pihak.
Penetapan
upah berdasarkan prinsip harus melebihi batas minimum kebutuhan pokok seseorang
didasarkan pada QS An Nisa : 6. Meskipun sekarang telah ditetapkan batas upah
minimum terhadap buruh, akan tetapi pada kenyataannya di beberapa negara, upah
yang diterima buruh tetap saja jauh dari standar untuk mampu hidup layak sesuai
dengan kebutuhan pokok mereka.
Perlindungan terhadap buruh
Selain
memberikan aturan yang jelas dalam hal transaksi kontrak kerja, Islam pun telah
memberikan hukum hukum yang harus diperhatikan bagi para pemilik perusahaan
untuk memberikan perlindungan kepada pekerja. Hal - hal tersebut menyangkut :
1. Perlindungan terhadap pekerja dan
waktu istirahat yang layak.[14]
2. Jaminan penghidupan bagi pekerja.[15]
3. Menyegerakan membayar gaji (upah).[16]
Disamping
ketiga hal di atas, hendaknya gaji dibayarkan secepat mungkin dan sesuai dengan
kesepakatan yang telah dicapai, begitu pula para majikan dilarang memotong gaji
buruh dengan alasan apapun.
Pertanyaan
selanjutnya adalah siapa yang menanggung kesejahteraan para buruh? Hal ini
sering menjadi sumber problema perburuhan. Saat ini terdapat kecenderungan
pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab pengusaha, yaitu dengan
mencukupi KHM (kebutuhan hidup minimum) seorang pekerja - yang biasanya
mencangkup kontrak rumah, kebutuhan akan makanan pokok sampai rekreasi. Negara
dalam hal ini seolah-olah lepas tangan sama sekali dari kewajiban di atas.
Keadaan seperti ini sudah tentu tidak sesuai dengan nilai dan ajaran Islam, menurut
Islam negara harus mengatur dan mengurus kepentingan rakyanya.[17]
Disamping
hal hal yang mencakup kebutuhan hidup minimum, sektor kesehatan dan pendidikan
adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. Sebab kedua
sektor tersebut termasuk dalam katagori pemeliharaan kemaslahatan umum. Negara harus
menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat
dinikmati oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali para buruh. Dengan
demikian tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara pengusaha dengan buruhnya
mengenai masalah ini.
Praktek Neo Liberalisme di lapangan
industri
Di
lapangan industri, neo liberalisme dijalankan melalui skema hubungan industri
yang disebut sistem Labour Market Flexibility (LMF) atau sistem pasar
tenaga kerja yang fleksibel. Sistem LMF ini dimaksudkan untuk mempermudah dan
memberikan keleluasaan kepada para pengusaha untuk mengakumulasi keuntungan
setinggi-tingginya. Dengan sistem ini, pengusaha bebas mengembangkan modalnya
tanpa harus dibebani dengan biaya produksi yang yang tinggi dan tanggungjawabsosial
terhadap tenaga kerja (buruh).
Sistem LMF ini memungkinkan pengurangan sebanyak mungkin jumlah pekerja tetap di dalam suatu perusahaan, dengan dijalankannya skema outsourcing atau sistem kerja kontrak. Bagi pengusaha, dengan pengurangan jumlah tenaga kerja tetap, secara otomatis akan turut meminimalisasi biaya produksi agar keuntungan yang lebih maksimal bisa dikeruk. Pihak pengusaha tidak perlu lagi membayar bonus, jaminan sosial tenaga kerja, dana pensiun atau biaya pesangon kepada buruh, ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pada saat bersamaan, penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel ini akan memperlemah kekuatan posisi tawar dan perlindungan terhadap hak-hak buruh. Melalui skema outsourcing dan sistem kerja kontrak ini, setiap saat pihak pengusaha dengan mudah mengganti buruh yang dianggap mengancam atau mengganggu keberlangsungan usahanya. Apalagi supply tenaga kerja begitu mudah diperoleh melalui perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang saat ini sudah menjamur di mana-mana. Penerapan sistem LMF ini didesain agar (di pasar tenaga kerja tentunya), tercipta persaingan yang tajam antar buruh atau pencari kerja, sehingga di sisi lain akan memperkuat posisi tawar pihak pengusaha dalam menentukan nominal besarnya upah buruh.
Sistem LMF ini memungkinkan pengurangan sebanyak mungkin jumlah pekerja tetap di dalam suatu perusahaan, dengan dijalankannya skema outsourcing atau sistem kerja kontrak. Bagi pengusaha, dengan pengurangan jumlah tenaga kerja tetap, secara otomatis akan turut meminimalisasi biaya produksi agar keuntungan yang lebih maksimal bisa dikeruk. Pihak pengusaha tidak perlu lagi membayar bonus, jaminan sosial tenaga kerja, dana pensiun atau biaya pesangon kepada buruh, ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pada saat bersamaan, penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel ini akan memperlemah kekuatan posisi tawar dan perlindungan terhadap hak-hak buruh. Melalui skema outsourcing dan sistem kerja kontrak ini, setiap saat pihak pengusaha dengan mudah mengganti buruh yang dianggap mengancam atau mengganggu keberlangsungan usahanya. Apalagi supply tenaga kerja begitu mudah diperoleh melalui perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang saat ini sudah menjamur di mana-mana. Penerapan sistem LMF ini didesain agar (di pasar tenaga kerja tentunya), tercipta persaingan yang tajam antar buruh atau pencari kerja, sehingga di sisi lain akan memperkuat posisi tawar pihak pengusaha dalam menentukan nominal besarnya upah buruh.
Lebih
dari itu, upaya pengurangan jumlah tenaga kerja tetap dan pengembangan skema
kerja outsourcing atau sistem kerja kontrak, sesungguhnya juga
dimaksudkan untuk mengurangi (atau bahkan menutup) kemungkinan bagi kaum buruh,
untuk memperjuangkan hak-haknya melalui organisasi atau serikat-serikat buruh
yang sifatnya permanen, karena mayoritas dari mereka memang bukanlah buruh
tetap.
Membangun solidaritas buruh
Dengan
uraian di atas, dapat dibayangkan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh
praktek neo liberalisme di lapangan industri melalui penerapan Labour Market
Flexibility (LMF). Namun demikian, situasi yang dirancang dan diterapkan
secara sistematik di lapangan industri ini, bukan tidak disadari kaum buruh
Indonesia. Dalam kenyataannya, sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel ini di
sisi lain, justru telah berhasil mendidik kesadaran kelas di kalangan kaum
buruh. Mulai dari persoalan kepentingan siapa yang diuntungkan, bagaimana
sistem itu bekerja, dan yang lebih penting lagi, bagaimana dan dengan cara apa
sistem ini harus dihadapi.
Kaum
buruh Indonesia hari ini, adalah kelas pekerja yang terdidik kesadarannya dari
kerja-kerja dinamis berproduksi di kawasan-kawasan industri dengan upah yang
rendah dan tidak dilindungi hak-haknya secara layak, baik oleh pengusaha maupun
pemerintah. Di tangan mereka, sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel (LMF), yang
semula dimaksudkan oleh pemilik modal untuk mematahkan kekuatan kolektif kaum
buruh, justru dijadikan alat untuk membangun organisasi atau serikat-serikat di
berbagai tingkatan: dari pabrik-pabrik, di kawasan-kawasan industri, di tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional sampai ke level internasional.
Semakin fleksibel sistem ketenagakerjaan yang dijalankan, semakin mendorong perkembangan organisasi-organisasi buruh, secara kuantitatif maupun kualitatif. Kalau kita amati secara seksama, perkembangan gerakan buruh di Indonesia pasca tumbangnya rejim Orba, sesungguhnya sedang tumbuh dalam situasi yang tidak pernah terduga sebelumnya di bawah penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sebaran jangkauan kerja organisasi-organisasi buruh di Indonesia saat ini, dibangun secara sungguh-sungguh dari waktu ke waktu, hingga menjangkau hampir seluruh wilayah, terutama di tingkatan provinsi. Sekedar menyebut contoh, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun proses konsolidasinya, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu organisasi gerakan buruh tingkat nasional yang didirikan di awal tahun 2005, kini telah memiliki struktur organisasi di 13 Provinsi dan 19 Kota, dengan jumlah anggota tidak kurang dari 100 ribu orang.
Melihat perkembangan dinamis aksi-aksi kolektif dan kerja-kerja konsolidasi yang mereka jalankan selama beberapa tahun terakhir, memberikan satu harapan besar akan tumbuhnya kesadaran kelas di kalangan kaum buruh Indonesia . Gerakan yang di bangun kaum buruh Indonesia saat ini, sesungguhnya telah berkembang menjadi satu gerakan rakyat yang lebih sistematis dan terorganisasi secara baik, didasarkan atas analisis sosial yang tepat, memiliki cita-cita dan tujuan, sampai pada kejelasan rumusan strategi taktik dan program perjuangan yang akan dijalankan.
Semakin fleksibel sistem ketenagakerjaan yang dijalankan, semakin mendorong perkembangan organisasi-organisasi buruh, secara kuantitatif maupun kualitatif. Kalau kita amati secara seksama, perkembangan gerakan buruh di Indonesia pasca tumbangnya rejim Orba, sesungguhnya sedang tumbuh dalam situasi yang tidak pernah terduga sebelumnya di bawah penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sebaran jangkauan kerja organisasi-organisasi buruh di Indonesia saat ini, dibangun secara sungguh-sungguh dari waktu ke waktu, hingga menjangkau hampir seluruh wilayah, terutama di tingkatan provinsi. Sekedar menyebut contoh, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun proses konsolidasinya, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu organisasi gerakan buruh tingkat nasional yang didirikan di awal tahun 2005, kini telah memiliki struktur organisasi di 13 Provinsi dan 19 Kota, dengan jumlah anggota tidak kurang dari 100 ribu orang.
Melihat perkembangan dinamis aksi-aksi kolektif dan kerja-kerja konsolidasi yang mereka jalankan selama beberapa tahun terakhir, memberikan satu harapan besar akan tumbuhnya kesadaran kelas di kalangan kaum buruh Indonesia . Gerakan yang di bangun kaum buruh Indonesia saat ini, sesungguhnya telah berkembang menjadi satu gerakan rakyat yang lebih sistematis dan terorganisasi secara baik, didasarkan atas analisis sosial yang tepat, memiliki cita-cita dan tujuan, sampai pada kejelasan rumusan strategi taktik dan program perjuangan yang akan dijalankan.
Dengan
demikian, penerapan Labour Market Flexibility (LMF), yang pada dasarnya
merupakan wujud nyata dari dominasi sistem ekonomi neo-liberal di Indonesia ,
telah mendidik dan menuntun kaum buruh Indonesia untuk sampai pada satu kesimpulan,
bahwa menghadapi kekuatan neoliberalisme sebagai satu sistem ekonomi global,
persatuan kaum buruh di Indonesia dan seluruh dunia merupakan sebuah heharusan.
Daftar Pustaka :
Adiwarman
Azwar Karim : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persaja,
Jakarta, 2006
Ali Abdur Raziq : Al
Islam wa Ushul al Hukmi, Al Muassasah al `Arabiyah lid Dirasat wa an Nsyr, Lebanon, 1988
Abdul
Hamid Mursi : SDM yang produktif : Pendekatan Al Quran & Sains, Gema
Insani Press, Jakarta, 1997
Abdul Hamid Ahmad Abu Sulaiman : Economic Theory of
Islam : The Philosophy and Contemporary Means, Dar Misr lit Tiba`ah, Cairo,
1960
Al Majlis al A`la lis Syuun al Islamiyah : Al
Mausu`ah al Islamiyah al `Amah, Wazarat al Awqaf, Kairo, 2001
Euis Amalia : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari
masa klasik hingga kontemporer, Pusaka Asatrus, Jakarta, 2005
Jomo K.S : Alternatif Ekonomi Islam : Perspektif
Kritis dan Haluan Baru, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1996
Muhammad
Faruq An Nabhan : Sistem Ekonomi Islam : Pilihan Setelah Kegagalan
Sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta,
2000
Surtahman Kastin
Hassan dan Abd. Ghafar Ismail : Tenaga buruh dan upah dalam Islam,
Jurnal Islamiyyat, no : 22, 2001
Muhammad Baqir al Sadr : Iqtishaduna,
Dar al Fikr, Beirut, 1968
Mohamed
Aslam Haneef : Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer : Analisis Komparatif
Terpilih, Airlangga University Press, Surabaya, 2006
M.
Umer Chapra : Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani, Jakarta, 2000
: Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah
Tinjauan Islam, Gema Insani, Jakarta, 2001
Marihot Tua Efendi Hariandja : Manajemen
Sumber Daya Manusia, Grasindo, Jakarta, 2002
Toto Tasmara : Etos Kerja Pribadi
Muslim, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995
[2] Pada 3 Maret 1924 Mustafa Kamal
Ataturk (pemimpin Negara Turki modern) mengumumkan pembubaran Sistem Khilafah
Utsmaniyah. Hal inilah yang sering disebut sebagai tanda hancurnya peradaban
Islam di dunia. Lihat Ali Abdur Raziq : Al Islam wa Ushul al Hukmi, Al
Muassasah al `Arabiyah lid Dirasat wa an Nsyr, Lebanon, 1988, h : 7
[4] Lihat Surtahman Kastin Hassan dan
Abd. Ghafar Ismail : Tenaga buruh dan upah dalam Islam, Jurnal Islamiyyat,
no : 22, 2001, h : 3-12
[5] Lihat Abdul Hamid
Ahmad Abu Sulaiman : Economic Theory of Islam : The Philosophy and
Contemporary Means, Dar Misr lit Tiba`ah, Cairo, 1960
[6] Lihat Muhammad
Baqir al Sadr : Iqtishaduna, Dar al Fikr, Beirut, 1968
[7] Lihat Euis Amalia :
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari masa klasik hingga kontemporer,
Pusaka Asatrus, Jakarta, 2005, h : 241, dan Mohamed Aslam Haneef : Pemikiran
Ekonomi Islam Kontemporer : Analisis Komparatif Terpilih, Airlangga
University Press, Surabaya, 2006, h : 27
[8] Lihat Al Majlis al
A`la lis Syuun al Islamiyah : Al Mausu`ah al Islamiyah al `Amah, Wazarat
al Awqaf, Kairo, 2001, h : 41
[9] Ibid, h : 41
[10] Lihat Surtahman Kastin Hassan dan
Abd. Ghafar Ismail : Tenaga buruh dan upah dalam Islam, ibid, h:8
[11] ibid
[13] Lihat Jomo K.S : Alternatif
Ekonomi Islam : Perspektif Kritis dan Haluan Baru, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kuala Lumpur, 1996
[14] Dalam hal ini Rasulullah SAW
bersabda : “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu". Dalam
Hadits lain : Istirahatkanlah hati barang sejenak, karena sesungguhnya jika
hati sampai jenuh dia akan buta" (HR Al Baihaqi).
[15] Rasulullah SAW bersabda : “Barang
siapa bekerja pada kami dan dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah dia mau
mengambil rumah, jika dia tidak mempunyai istri, maka hendaklah dia dipermudah
menikah atau jika dia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah dia mengambil
kendaraannya"(HR. An Nasa'i)
[16] Dalam hal ini Rosulullah SAW
bersabda : “Berikanlah gaji pekerja sebelum kering keringatnya ". (HR.
Ibnu Majah), dalam Hadits lain Rasulullah bersabda : “Sikap menunda-nunda pembayaran bagi
orang kaya adalah suatu kedzaliman" (HR. Abu Dawud)
[17] Dalam hal ini Rosulullah SAW
bersabda : “Imam (kepala negara) itu bagaikan pengembala alias pemimpin dan
dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin" (HR.Ahmad.Syaikhan
dan Abu Dawud).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar