Menimbang
kembali sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
Al-Qur`an yang merupakan rujukan dan
sumber hukum utama umat Islam, telah menjelaskan sumber zakat dengan
menggunakan dua pendekatan[1]
:
1. Al-Bayan al-Ijmali atau global, yaitu dengan menjelaskan segala
macam harta yang dimiliki, dan memenuhi persyaratan zakat.
2. Al-Bayan at-Tafshili (detail) dengan menjelaskan
berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan zakat,maka wajib
dikeluarkan zakatnya.
Dengan pendekatan global ini, semua
jenis harta benda yang belum ada contoh kongkretnya di zaman Rasulullah saw,
tetapi perkembangan ekonomi membuatnya menjadi barang berharga (bernilai), maka
harus dikeluarkan zakatnya. Beberapa sumber zakat meskipun secara langsung
tidak dikemukakan dalam Al-Qur`an dan Hadits, akan tetapi saat ini menjadi
sumber atau obyek zakat yang penting. Penentuan hukum zakat untuk obyek-obyek
baru hasil ‘ijtihad’ ini banyak menggunakan dalil analogi (qiyas)
yang merupakan salah satu dari dalil-dalil yang menjadi kesepakatan para ulama
(al-Adillah al-Muttafaq `alaiha)[2].
Disamping menggunakan juga beberapa kaidah-kaidah fiqh dan tujuan umum dari
syari`ah (maqashid as-syari`ah).
Kriteria-kriteria yang digunakan
untuk menetapkan sumber zakat adalah sebagai berikut :
1. Sumber zakat tersebut masih dianggap hal yang baru, sehingga belum
terdapat pembahasan secara mendalam dan terinci, berbagai macam kitab-kitan
fiqh terdahulu belum banyak menjelaskannya, sebagai contoh zakat profesi.
2. Sumber zakat tersebut merupakan ciri utama ekonomi modern,
sehingga hampir di setiap negara yang sudah maju maupun di nergara berkembang,
merupakan sumber zakat yang cukup potensial. Contohnya zakat investasi
properti, zakat perdagangan mata uang dan lain sebagainya.
3. Sementara ini zakat selalu dikaitkan sebagai kewajiban perorangan,
sehingga badan hukum yang melakukan kegiatan usaha tidak termasuk dalam sumber
zakat. Padahal zakat disamping harus dilihat dari sudut muzakki, juga harus
dilihat dari sudut obyek hartanya. Oleh karena itu sumber zakat yang harus
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga dan badan hukum perlu mendapatkan pembahasan,
sebagai contoh zakat perusahaan.
4. Sumber zakat sektor modern yang mempunyai nilai yang sangat
signifikan, dan terus berkembang dari waktu ke waktu, dan perlu mendapatkan
perhatian serta keputusan status zakatnya, misalkan usaha tanaman anggrek,
burung walet, ikan hias dan lain sebagainya. Demikian pula sektor rumah tangga
modern pada sekelompok tertentu yang berkecukupan, bahkan cenderung
berlebih-lebihan (israf), yang dapat dilihat dari jumlah dan harga
kendaraan serta perabotan rumah tangga yang dimilikinya.
Dalam kaitannya dengan perekonomian modern diantaranya sector pertanian,
industri dan jasa, jika dilihat
dari kegiatan zakat, maka ada yang tergolong pada flows dan ada pula
yang tergolong dalam stocks[3].
Flows adalah berbagai aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan dalam waktu jam,
hari, bulan dan tahun, tergantung pada akadnya. Sedangkan stocks adalah
networth atau hasil kotor dikurangi keperluan keluarga dari orang perorang yang
harus dikenakan zakat pada setiap tahunnya sesuai dengan nishab.
Dengan menggunakan metode purpose
sampling berdasarkan kriteria-kriteria diatas, maka terpilihlah sumber
zakat dari hal-hal berikut ini[4]
:
a. Zakat Profesi
b. Zakat Perusahaan
c. Zakat Surat-Surat Berharga
d. Zakat Perdagangan Mata Uang
e. Zakat Hewan Ternak yang Diperdagangkan
f.
Zakat Madu
dan Produk Hewani
g. Zakat Investasi Properti
h. Zakat Asuransi Syariah
i.
Zakat
Tanaman Anggrek, Ikan Hias, Burung Walet, dan sebagainya
j.
Zakat
Aksesoris Rumah Tangga Modern
A. Zakat Pencarian dan Profesi
Menurut Yusuf Qardhawi bentuk
penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya[5].
Pekerjaan yang menghasilkan uang dua macam :
Pertama adalah pekerjaan yang
dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan
atau otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan
profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman,
penjahit dan lain sebagainya.
Kedua adalah pekerjaan yang
dikerjakan seseorang buat pihak lain, baik pemerintah, perusahaan, maupun
perorangan dengan memperoleh upah. Penghasilan dari pekerjaan seperti ini
berupa gaji, upah atau honorarium[6].
Landasan hukum kewajiban zakat
profesi adalah QS. At-Taubah : 103, Al-Baqarah : 267 dan Adz-Dzariyaat : 19.
Sayyid Quthub dalam Fi Dzilaal Al-Quran ketika menafsirkan Al-Baqarah :
267 menyatakan bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik
dan halal dan mencakup juga seluruh yang dikeluarkan Allah swt dari dalam dan
atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, dan hasil pertambangan. Karena itu
nash ini mencakup semua harta benda, baik yang terdapat di zaman Rasulullah
saw, maupun di zaman sesudahnya[7].
Nishab,
Waktu dan Kadar Zakat Profesi
Terdapat beberapa kemungkinan dan
kesimpulan dalam menentukan nishab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi,
hal ini sangat bergantung kepada analogi yang digunakan :
Pertama, jika dianalogikan
pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan waktu mengeluarkannya sama
dengan zakat perdagangan, zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas,
kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah
dikurangi kebutuhan pokok.
Contoh : jika penghasilan seseorang
Rp.5.000.000 setiap bulan dan kebutuhan pokoknya Rp.3.000.000, maka besar zakat
yang dikeluarkan adalah : 2,5% x 12 x Rp.2.000.000 adalah Rp.600.000 per tahun
atau Rp.50.000 per bulan.
Kedua : jika dianalogikan
pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar
zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau
penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus di atas, maka
kewajiban zakatnya adalah : 5 % x 12 x Rp.2.000.000 adalah Rp.1.200.000 per
tahun atau Rp.100.000 per bulan.
Ketiga : jika dianalogikan
pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab dan dikeluarkan
pada saat menerimanya. Pada contoh di atas, maka zakat yang wajib dikeluarkan
20 % x Rp.5.000.000 adalah Rp.1.000.000 setiap bulan.
Disini perlu dicatat bahwa kondisi
pertanian saat ini yang tidak berpihak pada para petani, dengan biaya pertanian
yang tinggi (benih, pupuk, solar dan lain sebagainya), sementara harga jual
hasil pertanian mereka tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, maka analogi
zakat profesi terhadap zakat pertanian tidak tepat.
B. Zakat Perusahaan
Sebagian besar perusahaan saat ini
dikelola tidak secara individu melainkan secara bersama-sama oleh sebuah
lembaga atau organisasi dengan manajemen yang modern, misalnya PT, CV, Koperasi
dan lain sebagainya. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa saat ini komoditas yang
dikelola perusahaan tidak terbatas pada komoditas tertentu yang konvensional,
yang dilakukan dalam skala, wilayah dan level yang sempit. Bisnis yang dikelola
perusahaan telah merambah berbagai bidang kehidupan, dalam skala dan wilayah
yang sangat luas. Secara sederhana perusahaan ini dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori : pertama perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu,
kedua perusahaan yang bergerak di bidang jasa, dan ketiga perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan[8].
Landasan hukum dari zakat perusahaan
adalah nash-nash yang bersifat umum, diantaranya : QS. Al-Baqarah : 267,
At-Taubah : 103 dan beberapa Hadits Shahih.
Nishab,
Kadar dan Waktu Zakat Perusahaan
Para Ulama dalam Konferensi
Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H), menganalogikan
zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal
dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan perdagangan
atau trading. Oleh karena itu secara umum pola penghitungan dan pembayaran zakat
perusahaan sama dengan zakat perdagangan. Yaitu 2,5 %, dengan nishab 85 gram
emas.
Biasanya sebuah perusahaan memiliki
harta dalam bentuk[9] :
1. Harta dalam bentuk barang, baik yang berupa sarana dan prasarana,
maupun yang berupa komoditas perdagangan.
2. Harta dalam bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank.
3. Harta dalam bentuk piutang.
Dengan demikian harta perusahaan
yang wajib zakatnya meliputi ketiga bentuk harta tersebut, dikurangi harta
dalam bentuk sarana dan prasarana serta kewajiban mendesak lainnya, seperti
hutang jatuh tempo. Pola penghitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan
keuangan dengan mengurangi kewajiban atas aktiva lancar, atau seluruh harta
(kecuali sarana dan prasarana) ditambah keuantungan dikurangi pembayaran hutang
dan kewajiban lainnya, dan dikeluarkan 2,5 % sebagai zakatnya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwaal.
Sementara ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa zakat perusahaan hanya diambil dari keuntungan perusahaan saja[10].
Nampaknya dengan keuntungan besar
yang berhasil diraup oleh perusahaan-perusahaan khususnya yang bergerak di
bidang transportasi, telekomunikasi dan tehnologi, maka zakat yang hanya 2,5 %
dari kekayaan perusahaan, tidak relevan dengan realitas yang ada di masyarakat.
Perlu semacam ijtihad untuk menaikkan prosentasi zakat perusahaan supaya lebih
besar dari 2,5 %.
C. Zakat Surat-Surat Berharga (Saham dan Obligasi)
Zakat Saham
Salah satu bentuk harta yang
berkaitan dengan perusahaan adalah saham. Pemegang saham adalah pemilik
perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional
perusahaannya. Pada setiap akhir tahun, biasanya pada waktu Rapat Umum Pemegang
Saham dapat diketahui deviden (keuntungan) perusahaan dan kerugiannya. Pada
saat itulah dihitung ketentuan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
Yusuf Qardhawi mengemukakan dua
pendapat yang berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham perusahaan[11]
:
Pertama, jika sebuah perusahaan
adalah perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan,
maka sahamnya tidak wajib dizakati. Contohnya perusahaan hotel, biro
perjalanan, angkutan dan lain sebagainya. Alasannya adalah karena saham-saham
itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung dan sarana lainnya. Akan
tetapi keuntungan yang dihasilkan digabungkan ke dalam harta pemilik saham
tersebut, kemudian zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya.
Kedua, jika perusahaan tersebut
adalah perusahaan dagang murni, yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa
mengeluarkan kegiatan pengolahan, maka sahamnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka
zakat saham dapat dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun
kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya sebesar 2,5 %.
Zakat
Obligasi
Obligasi adalah perjanjian tertulis
dari bank, perusahaan atau pemerintah, kepada pemegangnya untuk melunasi
sejumlah pinjaman dalam masa waktu tertentu dan dengan tingkat bunga tertentu
pula.
Obligasi sangat tergantung kepada
bunga yang termasuk kategori riba yang secara tegas dilarang dalam agama.
Meskipun demikian yang menarik adalah bahwa sebagian ulama, meskipun mereka
sepakat bahwa bunga adalah haram, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi
adalah salah satu sumber zakat dalam perekonomian modern. Muhammad Abu Zahrah
menyatakan bahwa jika obligasi itu dibebaskan dari zakat, maka oranag akan
lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham, dengan demikian orang akan
terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang haram, dan jika ada
harta yang haram sedangkan pemiliknya tidak diketahui, maka akan disalurkan
kepada sedekah[12].
Didin Hafidhuddin berpendapat bahwa
jika obligasi hanya tergantung pada bunga, maka bukan merupakan obyek atau
sumber zakat, karena zakat hanya bisa diambil dari harta yang baik dan halal.
Kesimpulan
Hal-hal yang tersebut diatas adalah
sebagian dari harta benda dalam perekonomian modern yang oleh para ulama
dipandang harus dikeluarkan zakatnya, meskipun secara pasti tidak tercantum
dalam nash Al-Qur`an dan Hadits. Yusuf Qardhawi secara panjang lebar
menjelaskan dalam buku Fiqh Az-Zakat tentang sumber-sumber zakat pada
perekonomian modern, diantaranya zakat investasi pabrik, gedung dan lain lain.
Zakat Profesi atau penghasilan dan Zakat Saham dan Obligasi.
Barangkali yang menjadi tugas kita
saat ini adalah mencari sumber-sumber zakat yang baru dari obyek-obyek
perekonomian modern yang sangat luas. Dimana sebagian besar
perusahaan-perusahaan sekarang ini mendapatkan keuntungan yang sangat besar,
dan sudah tentu harta tersebut harus dibayarkan zakatnya.
Wallahu a`lam.
Daftar
Pustaka :
Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat,
Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Qur`an dan
Hadits, terj. Dr. Salman Harun, Dr. Didin Hafidhuddin dan Drs. Hasanuddin,
Litera Antar Nusa, Jakarta, Cetakan kesepuluh, 2007
Didin Hafidhuddin : Zakat dalam
Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002
`Abdul Wahhab Khalaf : `Ilmu
Ushul al-Fiqh, Al-Haramain, Jeddah, 2004
Gazi Inayah : Teori Komprehensif Tentang
Zakat dan Pajak, terj. Zainuddin Adnan dkk, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003
`Abdul Hamid Mahmud Al-Ba`ly : Ekonomi
Zakat : Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah, terj. Muhammad Abdul
Karim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Ugi Suharto : Keuangan Publik
Islam : Reinterpretasi Zakat dan Pajak, Pusat Studi Zakat STIS, Yogyakarta,
2004
Mundzir Qahaf : Manajemen Wakaf
Produktif, Khalifa, Jakarta, 2000
Muhammad Abdul Mannan : Ekonomi
Islam : Teori dan Praktek, terj. Drs. M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1997
[1] Didin Hafidhuddin : Zakat
dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002, hal : 91
[2] `Abdul Wahhab Khalaf : `Ilmu
Ushul al-Fiqh, Al-Haramain, Jeddah, 2004, hal : 20
[3] Monzer Kahf : Ekonomi Islam
: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun
Husein, Pustaka Pelajar, Yogayakarta, 1995, hal : 86
[4] Didin Hafidhuddin, ibid, hal :
93
[5] Yusuf Qardhawi : Hukum
Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan
Al-Qur`an dan Hadits, terj. Dr. Salman Harun, Dr. Didin Hafidhuddin dan
Drs. Hasanuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, Cetakan kesepuluh, 2007, hal : 459
[6] Ibid, hal : 459
[7] Sayyid Quthub : Fi Dzilaal
Al-Quran, Daar al-Syuruq, Beirut, 1977, juz 1, hal : 310
[8] Didin Hafidhuddin, ibid, hal :
99
[9] Ibid, hal : 102
[10] Lebih lanjut lihat Yusuf Qardhawi : Hukum
Zakat, ibid, hal : 433 dan seterusnya.
[11] Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat,
ibid, hal : 490-497
[12] Muhammad Abu Zahrah dalam Penerapan Zakat
dalam Dunia Modern, Syauqi Ismail Syahatah, terj. Anshori Umar Sitanggal,
Pustaka Dian, Jakarta, 1989, hal : 187