Rabu, 20 November 2013

KONSEP HAK MILIK DALAM SYARIAH DAN KAITANNYA DENGAN EKONOMI ISLAM

KONSEP HAK MILIK DALAM SYARIAH
DAN KAITANNYA DENGAN EKONOMI ISLAM
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
            Kepemilikan terhadap harta benda merupakan hal mendasar bagi setiap individu dalam menjalankan aktivitasnya. Batas batas kepemilikan yang berkaitan dengan jumlah, pemanfaatan maupun kebebasan dalam pemanfaatan sangat dipengaruhi oleh ajaran mendasar, baik melalui ajaran agama maupun paham ideologi. Secara umum batasan yang diperbincangkan adalah kepemilikan umum dan pribadi, penggunaan pada obyek obyek usaha maupun batas maksimal dari kepemilikan.[1]
            Hak milik dalam Islam selalu dihubungkan dengan keberadaan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi sebagai manifestasi pertanggungjawabannya. Hak milik merupakan bagian dari pembahasan harta benda (al mal), yang merupakan kajian dari Fiqh Mu`amalat.[2] Kedudukan kepemilikan dalam fiqh mu`amalat menjadi sangat penting karena berkaitan dengan syarat sahnya sebuah transaksi harta benda. Transaksi dapat dilakukan jika kepemilikan terhadap harta benda menjadi kepemilikan yang sah dan tidak ada sebab lain yang menghilangkan haknya dari orang yang melakukan transaksi tersebut.
            Secara mendasar Islam mengajarkan bahwa kepemilikan yang paling asasi dari seluruh harta adalah Allah, manusia menjadi pemilik atas harta hanya sebagai amanat dari Allah. Pemanfaatan kepemilikan oleh manusia sebatas sebagai makhluk yang harus sesuai dengan ketetapan-Nya, dan untuk tujuan yang yang telah ditetapkan melalui ajaran agama.[3]

Sejarah kepemilikan
            Awal sejarah kepemilikan sama dengan awal manusia itu sendiri, dengan demikian banyak teori untuk memahami asal mula terjadinya kepemilikan. Satu hal yang pasti bahwasannya manusia tidak terlepas dari kepemilikan, sebab dengan hak memiliki manusia dapat bertahan dan menyambung kehidupannya.
            Praktek kehidupan manusia di awal fase sejarah bersifat kolektif dalam mencari kehidupan. Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari pihak lain, pada fase itu kepemilikan pribadi berarti juga kepemilikan keluarga atau milik bersama. Bahkan seorang manusia berarti milik bagi keluarganya, mereka menjaganya dan melindunginya dari ancaman pihak lain.[4]
            Di periode awal peradaban manusia, kepemilikan menyangkut kebutuhan pribadi, pakaian dan alat berburu, maka kalau seseorang mati hal hal tadi dikubur bersama sang pemilik. Kemudian bergulirlah suatu peradaban, dimana hak milik individu mulai tampak sedikit demi sedikit, dan sistem kepemilikan kolektif mulai terkikis.[5]

1.      Hak Milik dalam Hukum Romawi
Romawi adalah bangsa yang sangat mementingkan harta benda, sehingga sebagian besar hukum Romawi adalah hukum tentang hak kepemilikan. Karakteristik utamanya adalah sangat keras dan tegas dalam melindungi hak hak individu. Para ahli hukum Romawi cenderung untuk mempertimbangkan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan atas hak milik pribadinya. Konsep tentang hak milik ini bukan sekedar untuk memanfaatkan harta benda saja, melainkan juga kebebasan untuk merusaknya. Logikanya hal semacam itu merupakan hak turun temurun yang tidak bisa dihalangi.[6]
Di sini, atas dua prinsip besar tentang hak milik dan kebebasan melakukan kontrak apapun, sistem hukum Romawi itu meninggalkan sebuah kerancuan kearah individualisme yang tanpa kekangan dan tak bertanggungjawab, berhadapan dengan kemungkinan tuntutan hak keluarga, suku atau bangsa.[7]
Bahkan di masa kini, sejumlah sarjana secara umum mendefinisikan pengertian hak milik berpijak pada pola hukum Romawi. Misalnya ketika mendefinisikan hak milik, John Austin berkata : “Jika mengambil pengertian yang keras menunujukkan bahwa sebuah hak itu tak tertentu cara penggunaannya dan tak terbatas penempatannya, melebihi sesuatu yang tertentu pengertiannya.[8]
Sesuai dengan definisi tadi, hak pribadi terhadap sebuah obyek merupakan hak yang tak terlarang dan tak terbatasi oleh apapun, untuk menggunakan atau menghancurkan, sesuai dengan keinginan pemiliknya. Tetapi tak seorangpun tetap bertahan pada pendapatnya saat ini, bahwa hal itu masih menjadi kondisi yang diperlukan dalam hal kepemilikan. Austin sendiri menganjurkan adanya pembatasan yang perlu dipaksakan oleh kebiasaan atau pemerintah.[9]

2.      Hak Milik dalam Filsafat Yunani
Lembaga hak milik merupakan subyek yang sangat kontroversial di zaman Yunani Kuno. Plato (430-347 SM), dalam usahanya merealisasikan konsep “masyarakat ideal” (al Madinah al Fadhilah), membagi masyarakat sesuai dengan tingkat pendidikan yang mereka terima. Diantaranya kelas ksatria tidak boleh menguasai hak milik di luar kebutuhannya, bagi mereka diberikan pembayaran tetap tertentu untuk mencukupi kebutuhannya, tak lebih dari itu. Mereka bahkan tidak mempunyai keluarga atau istri tertentu bagi mereka, karena dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan wewenang yang mereka miliki.[10]
Aristoteles (Politics) mengkritik pandangan komunisme Plato dan membantah bahwa sistem seperti itu tidak bisa dilaksanakan dan merusak insting kemanusiaan yang alami. Ia menegaskan bahwa pemilikan hak milik oleh masyarakat akan merusak kebajikan dan kebebasan. Menurutnya, peraturan yang berlaku saat itu jika bisa dikembangkan dengan tatanan hukum yang baik, akan memberikan keuntungan pada masyarakat. Hak milik bisa ditempatkan dalam kerangka akal sehat, lebih dari itu bisa menjadi tatanan umum bagi pribadi. Idealnya kekayaan itu menjadi hak milik pribadi, namun digunakan untuk kepentingan umum.[11]

3.      Menurut ajaran Kristen dan Filsafat Skolastik
Pada abad pertengahan pandangan tradisional yang mengakui hak milik pribadi diterima secara luas, kepemilikan pribadi dianjurkan dengan berdasarkan pada prinsip efisiensi ekonomi. Unsur unsur dari pikiran Plato diserap dalam tradisi Kristen pada awal masa pertumbuhannya. Kemudian pandangan Aristoteles ditemukan kembali pada saat akhir periode pertengahan di Eropa, melalui medium para sarjana Yahudi dan pemikir Arab, seperti Ibnu Rusydi (Averroes) dan Ibnu Sina (Avicenna). Umumnya tokoh Kristen lebih cenderung pada sikap komunistik terhadap hak milik.
Kebijakan tentang penggunaan hak milik secara bersama berasal dari kepentingan moral. Kebanyakan poin poin penting dari pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu berpijak pada pandangan Aristoteles dan melengkapi dasar pemikiran utama untuk menerima sistem ekonomi pasar bebas sebagai kerangka analisis ekonomi.[12]

Kepemilikan dalam pandangan Kapitalisme dan Sosialisme
Meskipun secara historis lahirnya kapitalisme dilandasi semangat keagamaan, akan tetapi dalam perjalanannya kapitalisme telah mematikan nilai nilai keagamaan dengan melemahkan nilai nilai etis dari ajaran itu sendiri.
            Pada awalnya, ketika paradigma sekuler masih terbatas pada sekelompok kecil para akademisi, konflik antara model agama (gereja) dan ilmu tidak mempunyai dampak yang signifikan pada ekonomi dan masyarakat. Nilai nilai agama tetap mendominasi, dan mampu mengatasi dampak paradigma sekuler pada mekanisme yang dipakai. Namun seiring dengan perkembangannya secara gradual,  nilai nilai sekuler cenderung meluas.[13]
            John Lock merupakan tokoh yang pertama kali merumuskan liberalisme dalam hak milik, yang merupakan hak terpenting atas kehidupan dan kebebasan.[14] Ide liberalisme menguat ketika menggunakan uang sebagai alat tukar, hak milik menjadi sangat luas dan tidak terbatas, jika memiliki sejumlah uang yang dapat membeli kepemilikan lain sepanjang tidak merugikan orang lain. Ide kapitalisme pada diri Lock adalah pada pandangannya terhadap pekerjaan yang harus diukur dengan nilai tukar komoditas yang ada di masyarakat.
            Tokoh lain sebagai pendukung liberalisme adalah Adam Smith, yang mengikuti tokoh sebelumnya mengenai pentingnya hak milik pribadi. Ungkapan yang dipergunakan Smith untuk pentingnya hak milik adalah the sacred rights of private property. Secara substansi, Smith seperti John Lock menganggap bahwa kerja merupakan dasar dari hak milik pribadi, tetapi memandang lebih jauh terhadap kesempurnaan hak milik.[15]
            Kuatnya ide kepemilikan pribadi dengan landasan liberalisme telah membuat jarak kesenjangan yang jauh antara orang kaya dan miskin. Sistem ini kurang memperhatikan nasib orang miskin dan orang yang tidak beruntung dalam hidupnya. Kapitalisme menempatkan manusia pada posisi yang rancu, dan tidak mampu menempatkan manusia sebagai makhluk individu dalam bingkai sosial. Penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan, serta pengumbaran kepentingan diri sendiri individual. Dari sinilah diantaranya kenapa ekonomi kapitalis dinilai gagal.[16]
            Ekonomi kapitalis dianggap gagal dalam merumuskan konsep kepemilikan, dimana kepemilikan diidentikkan dengan hak menguasai suatu hal, padahal kepemilikan bukan terkait dengan hal yang bersifat materi. Kepemilikan juga tidak bisa dilihat dari hasil, sebab terdapat kepemilikan yang terjadi tanpa lewat kerja, misalnya harta warisan. Dengan demikian kepemilikan membutuhkan legalitas hukum.
            Sementara itu di sisi yang lain, hak milik individu menjadi pusat perhatian Karl Marx dalam mengembangkan idenya dengan lebih menjadikannya doktrin kebijakan  sosio-ekonomi dan politiknya. Pandangan pandangannya akhirnya mengarah pada ide revolusi untuk mewujudkan impiannya, yaitu mewujudkan kekuasaan sosial untuk pemerataan.[17]
            Marx menyatakan bahwa manusia dan alam mempunyai hubungan timbal balik yang diwujudkan dalam sebuah pekerjaan. Dalam perjalanannya hubungan yang harmonis tersebut terganggu ketika para kaum buruh menjual pekerjaannya sebagai komoditas kepada para kapitalis dengan upah yang minim secara berkelanjutan. Keadaan tersebut tidak dapat diperbaiki oleh sistem yang berlaku saat itu, dan para buruh tidak pernah mempunyai hak milik dari pekerjaannya sendiri. Kondisi tersebut dianggap sebagai cara berproduksi dan memperoleh kekayaan yang tidak adil dan mengeksploitasi manusia.
            Alasan alasan itulah yang menjadikan Marx dan Marxisme menolak hak milik pribadi yang ditegaskan dalam Manifesto Partai Komunis, dengan ungkapan bahwa teori mendasar Partai Komunis dapat dirumuskan dengan satu kalimat yaitu penghapusan hak milik.[18]
            Secara khusus, dalam perekonomian kepemilikan yang dihapus adalah kepemilikan terhadap kapital (modal) yang merupakan sarana produksi, karena kapital merupakan social power dan bukan hak milik individual. Kapital merupakan sarana pekerjaan secara kolektif yang memungkinkan seluruh masyarakat dapat bekerja dengan baik dengan pendapatan yang layak. Lembaga milik pribadi merupakan penindasan dan eksploitasi kaum pekerja dengan menghisap tenaga kerja orang lain.[19]

Konsep kepemilikan dalam Islam
            Memiliki bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu benda berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat larangan dalam syariah. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan suatu benda tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara manusia dan hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah sebentuk ikatan antara individu terkait dengan harta,  yang pada tahapan proses kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang disebut asal usul kepemilikan (asbab al milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan beberapa aturan dalam pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.[20]
            Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi kekuasaan kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, namun dengan catatan manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya diberi, maka ia harus tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semua harus sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi kehendak Allah. Maka dari itu Islam mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah, begitu juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat. Jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang muncul dari cara yang menyimpang.[21]
            Pandangan Islam ini jelas berbeda dengan undang-undang kepemilikan yang tunduk pada falsafah dan sosial politik dari ekonomi konvensional. Islam menolak paham kapitalis, bahwa kepemilikan individu sangat absolut. Islam juga berbeda dengan paham sosialis bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif, di samping itu, Islam juga menentang paham bahwa kepemilikan adalah hak bersama. Islam sangat mengakui dan tidak menentang, bahwa kepentingan umum haruslah dipertimbangkan dan didahulukan daripada kepentingan kelompok kecil, apalagi kepentingan individu. Dengan demikian mempertimbangkan kemaslahat umum adalah suatu hal yang harus diterima dalam rumusan kepemilikan.
            Islam menolak paham bahwa kepemilikan adalah hak milik kolektif, dengan alasan bahwa hal demikian ini bertentangan dengan milik individu, atau perampasan individu dari hak miliknya, yang sekaligus memberi ruang kepada masuknya intervensi pemerintah dalam pembredelan hak milik. Paham ini jelas memposisikan pemerintah di antara pengatur harta, yang karenanya sah merampas dan selanjutnya memberikan kepada siapa saja yang diberi pemerintah atas dalih undang-undang.[22]
            Islam tidak menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dan hak masyarakat lain, keberhakan pemilik dalam pandangan Islam adalah hal yang baku. Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang, dan inipun sangat terbatas pada keadaan tertentu yang kaitannya erat dengan target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.
            Posisi Islam yang demikian dimaksudkan untuk membantu perimbangan antara hak milik dan hak intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih demi kesejahteraan umum. Dalam Islam, hak kepemilikan individu menyangkut hak bersama yang harus diperhatikan, tanpa sedikitpun mengurangi hak hak-hak pribadi pemilik. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur nan sejahtera, tanpa mengurangi hak milik individu. Menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera tidak mungkin dibangun tanpa melindungi hak milik individu anggotanya, maka melindungi hak milik individu anggota masyarakat adalah perangkat utama dalam usaha mewujudakan masyarakat yang adil dan makmur.[23]

Faktor kepemilikan dalam Islam
            Islam mengakui hak milik, namun dalam waktu yang bersamaan Islam mensyaratkan beberapa hal, dengan tujuan agar dampak negatif dari kepemilikan individu dapat dihindarkan dari masyarakat. Diantara syarat kepemilikan dalam Islam, adalah keharusan sang pemilik tunduk dan patuh pada peraturan syariah, misalnya kewajiban mengeluarkan sebagian hartanya demi mewujudkan kesejahteraan umum, dalam menginvestasikan hartanya hendaknya tidak membahayakan atau mengancam pihak lain, dan lain sebagainya. Kepemilikan yang sah menurut Islam, adalah yang terlahir dari proses yang sah menurut syariah, diantaranya dalam pandangan fiqh adalah[24]:
1.      Menjaga hak umum.
2.      Transaksi pemindahan hak.
3.      Penggantian.
            Yang dimaksudkan adalah penggantian posisi dari satu pihak ke pihak lain, dimana dalam prosesnya tanpa perlu ada persetujuan, baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya harta warisan, yang otomatis berpindah ke ahli waris tanpa ada syarat persetujuan, sebab peralihan hak di sini mendapatkan legalitasnya melalui ketentuan syariah dan bukan kesepakatan manusia.[25]
Dalam Islam pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta adalah Allah swt, hanya Allah yang yang bisa melimpahkan kepada manusia setiap hak atas kepemilikannya. Dia bisa menekankan pembatasan dan pelarangan atas hak milik, kekuatan manusia untuk mengatur barang barang yang ada di dunia ini berasal dari perannya sebagai khalifah Allah. Kesejahteraan tidak berhenti pada benda itu sendiri, tetapi sebuah tujuan agar manusia bisa secara efektif mempertanggungjawabkan perannya.[26]
            Kewajiban datang lebih dulu, baru kemudian yang kedua adalah hak, setiap individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu. Individu merupakan titik utama dari pelaksanaan hak dan kewajiban, dan secara langsung mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Tetapi sebagai makhluk sosial, seluruh materi dan aspirasi spiritualnya membutuhkan usaha bersama untuk mewujudkannya.
            Masyarakat dalam Islam memiliki kepentingan individual tersebut, masyarakat membentuk fungsinya melalui negara dan lembaga lembaga sosial lainnya. Kemudian muncul fungsi dan kewajiban negara untuk melindungi kehidupan, martabat dan hak milik dari anggota masyarakat itu, serta menjamin kebebasan bagi semuanya.[27]
Menurut Wahbah az Zuhaili, kepemilikan adalah hubungan antara seseorang dengan harta benda yang disahkan oleh syariah, sehingga orang tersebut menjadi pemilik atas harta benda itu, dan berhak menggunakannya selama tidak ada larangan terhadap penggunaannya.[28]
            Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, hak milik adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatnya. Kadang kekuatan ini sangat lengkap, sehingga pemilik benda berhak untuk menjual, memberikan, meminjamkan atau menghadiahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan produktif. Tetapi kadang kekuatan tersebut tidak lengkap, sehingga hak pemilik menjadi terbatas.[29]
            Sementara `Ali al Khafif menyebutkan berbagai macam definisi hak milik, sesuai dengan cara pandang yang berbeda beda. Dari segi arti dan sumbernya, maka hak milik adalah keterikatan terhadap benda yang menghalangi pihak lain untuk memanfaatkan benda tersebut. Kriteria ini mencakup hak milik terhadap benda dan hak milik terhadap manfaatnya saja. Dari segi sifat atau hukum, hak milik adalah hukum syariat yang ditetapkan pada sebuah benda atau manfaatnya, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkannya.[30]
Ibnu Taimiyah membagi hak milik menjadi 3 bagian :[31]
1.      Hak milik individual
Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan dengan rinci untuk kepentingan yang dibenarkan oleh syariat. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif, memindahkannya dan melindungi dari pemubadziran. Akan tetapi hak tersebut dibatasi oleh sejumlah limitasi diantaranya : ia tak boleh menggunakannya dengan tabdzir, tidak boleh menggunakannya dengan semena mena dan tidak boleh bermewah mewahan. Dalam transaksi, ia tidak boleh menggunakan pemalsuan, penipuan dan curang dalam timbangan. Juga dilarang mengeksploitasi orang orang yang membutuhkan dengan cara menimbun barang, dan lain sebagainya.[32]

Kewajiban terhadap hak milik individu
Terpisah dengan pembatasan atas hak milik di atas, pemilik juga diharuskan kepada sejumlah kewajiban tertentu. Kewajiban pokok (fardhu `ain) setiap individu agar menggunakan hartanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, sedangkan membantu orang miskin adalah kewajiban sosial dalam kategori fardhu kifayah.
Doktrin Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia cenderung menghargai hak milik atas kekayaan yang berfungsi sosial. Ketika seorang individu tidak melakukan kewajiban sosial atas hak miliknya, maka negara berhak melakukan intervensi atas hak milik pribadi individu tersebut.[33] Lebih lanjut negara berhak untuk memungut pajak diluar kewajiban zakat, menetapkan denda, bahkan penyitaan atas hak milik karena pertimbangan kondisi tertentu.[34]
Kewajiban lain atas hak milik individu adalah kewajiban memberikan pinjaman harta kepada orang lain yang membutuhkan , baik secara suka rela (bi thariq al tabarru`) ataupun dengan mengambil keuntungan (bi thariq al ta`widh). Kewajiban finansial yang tidak memberikan keuntungan terbagi menjadi 4 jenis yaitu : pembayaran zakat, menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan membantu orang yang membutuhkan bantuan.[35]
Secara alamiah manusia cenderung melakukan pertukaran barang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, syariah tidak menetapkan aturan sepanjang pertukaran tersebut dilakukan dengan sukarela. Namun bila tidak tercapai kesepakatan dengan suka rela, syariah menetapkan kewajiban terntentu. Misalnya seseorang berhutang kepada orang lain, dan ia memiliki barang yang dapat melunasi utang tersebut, maka negara berhak memaksa orang tersebut agar menjual barangnya untuk melunasi hutangnya. Dengan cara yang sama, negara dapat mewajibkan seorang individu untuk menjual barang atau makanan dengan harga yang wajar, yaitu ketika orang lain membutuhkan barang tersebut, dan pemilik barang menolak menjualnya kecuali dengan harga yang tinggi. Maka bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kedermawanan harus dibatasi dengan moral dan hukum sekaligus.[36]

Tujuan kepemilikan khusus (individu)
            Adapun tujuan dari kepemilikan khusus adalah :
a.       Untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui kerjasama antar individu dan kelompok-kelompok non pemerintah.
b.      Untuk merealisasikan kebaikan, kemakmuran dan kemanfaatan umum melalui persaingan sehat antar produsen.
c.       Negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi jika hanya akan menghambat kreativitas individu.
d.      Untuk memenuhi dan menginvestasikan naluri cinta materi dalam bidang yang telah ditentukan oleh Allah swt[37].

Jenis-jenis kepemilikan khusus.
Sesuai dengan definisi kepemilikan khusus, maka jenis ini dapat dikategorikan ke dalam tiga macam, yaitu[38] :
a.       Kepemilikan pribadi, yaitu kepemilikan yang manfaatnya hanya berkaitan dengan satu orang saja dan tidak ada orang lain yang ikut andil dalam kepemilikan itu.
b.      Kepemilikan perserikatan, yaitu kepemilikan yang manfaatnya dapat dipergunakan oleh beberapa orang yang dibentuk dengan cara tertentu.
c.       Kepemilikan kelompok, yaitu kepemilikan yang menyangkut beberapa hal yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau kelompok kecil orang.

Sebab-sebab kepemilikan khusus.
            Kategori kegiatan yang dapat menyebabkan adanya kepemilikan pribadi antara lain[39] :
a.       Penguasaan atau peralihan (al khalafiah), yaitu suatu cara yang mengakibatkan seseorang dapat menguasai harta orang lain tanpa harus melakukan usaha keras atau perniagaan, seperti warisan dan wasiat.
b.      Kepemilikan barang-barang halal, dimana seseorang memiliki sesuatu yang belum dimiliki oleh orang lain, seperti mencari ikan di laut.
c.       Transaksi, seperti jual beli, sewa menyewa, pemberian atau pelepasan barang.
d.      Keputusan hakim terhadap perubahan status kepemilikan umum, seperti tanah dan perkebunan.
e.       Zakat, nafkah, hasil denda dan harta nadzar.
f.       Kerja fisik dan hasil intelektual, termasuk kerja di kantor, menulis, mengarang dan lain sebagainya.
g.      Wakaf, yaitu pemanfaatan barang yang telah diikat sebagai milik Allah.

Batasan kepemilikan khusus.
            Islam tidak menempatkan kepemilikan khusus sebagai hak absolut tanpa batasan, kepemilikan harus berdasarkan atas keseimbangan penggunaannya dalam semua sisi. Islam mengatur hirarki kepemilikan harta individu dan kelompok agar tercipta suasana persaudaraan antar anggota masyarakat dan berbagai kelompok yang ada di dalamnya. Beberapa batasan kepemilikan khusus ini antara lain[40] :
a.       Untuk memperoleh hak kepemilikan itu hendaknya dilakukan dengan cara legal, karena cara perolehan harta yang tidak legal seperti riba, perdagangan barang haram, jual beli yang rusak dan lain sebagainya adalah bentuk kepemilikan yang tidak sah.
b.      Tidak terdapat hal yang secara langsung dapat membahayakan keselamatan seseorang atau kelompok pada proses kepemilikan, pengalokasian dan pemanfaatan barang. Seorang hakim diperkenankan untuk mencabut hak milik khusus dengan memberikan ganti rugi, jika kepemilikan tersebut dapat menimbulkan kerugian atau bahaya pada pihak lain, atau dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan dan lain sebagainya. Dalam kaidah Fiqh dikenal dengan istilah :
"يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام"
c.       Menjaga kepentingan umum tanpa menciptakan kegoncangan di dalamnya, dalam pengalokasian harta kepemilikan khusus disyaratkan adanya proteksi dan realisasi bagi kepentingan umum. Sebagai contoh adalah aturan-aturan yang diberlakukan dalam dunia industri untuk menjaga kepentingan para konsumen dan untuk menjamin hak para pekerja atau buruh.
d.      Alokasi kepemilikan yang tepat, jika pemilik harta mengalokasikan kekayaannya secara tidak benar, maka seorang hakim diperkenankan untuk mengeluarkan larangan seperti pemborosan dan menghambur-hamburkan harta kekayaan (Q: An-Nisa : 5).
Kewajiban dalam kepemilikan khusus.
            Islam memberikan beberapa kewajiban kepada pemilik harta (QS. Al-Ma`arij : 24-25), diantaranya[41] :
a.       Memberikan nafkah kepada mereka yang berhak seperti istri, anak dan saudara yang membutuhkan.
b.      Zakat, sebagai kewajiban dari harta orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang miskin.
c.       Beberapa hak yang harus dilaksanakan selain zakat, sesuai dengan Hadits Nabi saw :
"إن في المال حقا سوى الزكاة" (رواه الترمذي)
Sumber kepemilikan khusus[42] :
a.       Perniagaan (QS, Al-Baqarah : 275 & 282 ).
b.      Upah pekerja.
c.       Pertanian (QS, Al-Mulk : 15, Al-Baqarah : 168).
d.      Mengelola tanah mati (tanah yang terlantar).
e.       Keahlian profesi.
f.       Mencari kayu.
g.      Eksplorasi barang tambang yang berada di perut bumi, yang tidak masuk dalam kategori kepemilikan umum.
h.      Berburu.
i.        Hibah penguasa.
j.        Pemberian komisi atas profesi dan hasil perlombaan.
k.      Penerimaan hibah, pemberian dan hadiah.
l.        Barang temuan.
m.    Wasiat.
n.      Warisan.
o.      Mahar dan mas kawin.
p.      Harta zakat dan shodaqah yang diperoleh kelompok dalam masyarakat.
q.      Harta yang terambil dari nafkah wajib.

2.      Hak milik sosial atau kolektif
Tipe kedua dari hak milik adalah hak milik sosial atau kepemilikan secara kolektif, hak milik sosial ini biasanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Jika harta kekayaan dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka mereka bisa menggunakannya sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan. Apabila salah satu pihak berusaha mengembangkan jumlah harta tersebut untuk kepentingan bersama, maka pihak yang lain harus memberikan kontribusinya dan bekerja sama untuk itu.
Contoh tentang hak milik secara kolektif adalah wakaf, yaitu ketika sebuah harta kekayaan disumbangkan untuk tujuan tertentu atau untuk kelompok masyarakat tertentu, maka ada kewajiban bahwa harta tersebut harus digunakan sesuai dengan maksudnya. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta wakaf bisa digunakan untuk kepentingan lain apabila memberi manfaat yang lebih besar.[43]
Obyek utama dari kepemilikan bersama adalah anugerah alam semesta, seperti air, rumput dan api, yang secara khusus disebutkan dalam hadits Rasulullah saw.[44] Salah satu alasan dari keharusan kepemilikan kolektif terhadap obyek obyek alam itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah swt secara gratis, dan manusia tidak mendapatkan kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan yang lain adalah demi kepentingan umum, jika ada seseorang menguasai salah satu dari obyek alam tadi, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat.

3.      Hak milik negara
Kategori ketiga adalah hak kepemilikan oleh negara, karena negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh penghasilan, yang pada gilirannya dipakai untuk menjalankan kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara hukum, menjaga keamanan dalam negeri, melindungi kepentingan masyarakat dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sumber utama kekayaan negara adalah zakat, pajak, wakaf, hadiah, pungutan denda dan harta rampasan perang (ghanimah), serta barang temuan yang tidak ada pemiliknya.[45]
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik, kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah (care taker). Negara berkewajiban memanfaatkannya guna kepentingan publik, namun demikian tidak diperbolehkan untuk menggunakannya secara berlebihan. Misalnya zakat harus dibagikan kepada orang orang yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.
Negara mempunyai kewajiban untuk bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan individu. Lebih jauh Imam Mawardi menjelaskan bahwa tugas negara adalah meneruskan misi Nabi Muhammad saw dalam menjaga agama dan mengemban amanat kehidupan dunia.[46]
Dari pembagian hak milik ini, bisa disimpulkan bahwa hak atas harta benda itu bersifat kondisional dan tidak mutlak. Konsep Islam tentang hak milik ini secara radikal sangat berbeda dengan pandangan orang Romawi yang kemudian diadopsi oleh para ahli ekonomi modern. Dalam Islam meskipun setiap individu bebas memiliki kekayaan, namun demikian harus tunduk dan mengikuti ketentuan syariah dan moral. Pada dasarnya hak milik pribadi adalah sebagai institusi dasar, dan dalam kondisi kondisi tertentu negara mempunyai wewenang untuk intervensi terhadap hak milik individu tersebut. Namun demikian merupakan pemikiran yang salah bila menyebutkan bahwa hak negara di atas segala galanya.
Di sini konsep kepemilikan dalam Islam juga berbeda dengan pemikiran kaum sosialis atau komunis, dimana Islam mengakui hak milik pribadi sebagai sebuah gharizah atau tabi`at manusia itu sendiri.[47]

Tujuan hak milik negara (kepemilikan umum)
            Kepemilikan umum bertujuan untuk merealisasikan beberapa tujuan umum, diantaranya[48] :
a.       Untuk memberikan kesempatan seluruh manusia terhadap sumber kekayaan umum yang mempunyai manfaat sosial, baik yang tergolong dalam kebutuhan primer maupun jenis kebutuhan lain dan diperluas bagi masyarakat secara umum.
b.      Jaminan pendapatan negara, dimana negara menjaga hak-hak warganya dan bertanggungjawab atas berbagai kewajiban, dengan menjauhkan dari munculnya bahaya dan kerugian terhadap masyarakat.
c.       Pengembangan dan penyediaan semua jenis pekerjaan produktif yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan.
d.      Urgensi kerjasama antar negara dalam usaha menciptakan kemakmuran bersama.
e.       Intervensi harta untuk menciptakan kemakmuran bersama.

Bidang dan sumber kepemilikan umum
            Sumber-sumber kepemilikan umum berkisar pada :
a.       Wakaf.
b.      Proteksi, yang dilakukan pemerintah terhadap tanah tak bertuan yang diperbolehkan bagi kepentingan umum.
c.       Kebutuhan primer, menyangkut kebutuhan pokok manusia.
d.      Barang-barang tambang yang diperoleh dari hasil eksplorasi.
e.       Zakat.
f.       Pajak, dalam konsep Islam, pajak merupakan harta yang diambil dari kelompok masyarakat yang berada dibawah perlindungan Islam.
g.      Pajak bumi, merupakan harta yang diwajibkan dan kemudian dibagikan pada waktu yang telah ditentukan atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat.
h.      Seperlima harta rampasan perang.
i.        Harta tak bertuan.
j.        Investasi kepemilikan umum.
k.      Sepersepuluh bagian harta[49].

Karakteristik kemasyarakatan dalam kepemilikan pribadi menurut Islam
            Sebagaimana disimpulkan bahwa hak milik dalam Islam berbeda dengan sistem kapitalis dan sosialis, unsur pembeda ini adalah karakteristik kepedulian sosial dalam sistem kepemilikan Islam. Sistem sosialis yang meniadakan kepemilikan individu secara total, jelas bisa mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat, dan mematikan kiat kreasi individu. Pada akhirnya sistem sosialis bisa mengancam peradaban manusia, disamping mengancam perekonomian sendiri.[50]
            Target kepedulian sosial dalam ekonomi Islam dapat dilihat dengan jelas dari Al Quran, yang membatasi dan memberikan ketentuan khusus berkaitan dengan lingkungannya, serta sistem operasionalnya di masyarakat. Dalam Al Quran dijelaskan konsep kekhalifahan manusia, yang berkaitan dengan hak milik dan pertanggungjawabannya di depan Allah swt. Tiga hal yang membatasi kepemilikan pribadi dalam Islam adalah[51] :

Pertama : Pengendalian terhadap perilaku pemilik.
            Pengendalian perilaku pemilik ini berawal dari Hadits Nabi saw riwayat Hakim dari Abi Said al-Khudriyyi :   "لا ضرر ولا ضرار" Hadits ini merupakan landasan syariah yang harus dilaksanakan, yang mana segala bentuk perilaku yang merugikan orang lain hukumnya adalah haram. Artinya, sekalipun pemilik sendiri dalam memanfaatkan hartanya harus tetap menjaga kaidah moral yaitu tidak merugikan dirinya sendiri maupun pihak lain.
            Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hukum merugikan masyarakat yang diakibatkan dari perilaku pemilik yang tidak mengindahkan kepentingan umum? Hadits di atas jelas melarang segala bentuk kegiatan yang menimbulkan kerugian kepada kehidupan manusia, dan manusia yang harus dilindungi dari kerugian ini adalah pemilik harta dan juga masyarakat. Jika dalam kasus, yang terjadi tarik-menarik antara dua dimensi : sisi pemilik yang harus berkorban atau sisi masyarakat, maka sesuai kaidah Fiqh : menyelamatkan bahaya yang meluas lebih penting,  "سد الذرائع"Dengan demikian, jika terdapat perilaku pemilik yang merugikan masyarakat, dan kalau dihentikan proyeknya menyebabkan kerugian pada pemilik, maka kepentingan masyarakat yang diutamakan. Pertimbangannya, jika masyarakat yang dirugikan, maka bahaya bisa meluas dan lebih sulit diantisipasi. Disini perlu diingat suatu kaidah Fiqh : kiat antisipasi dari kehancuran atau bahaya harus lebih mendapat prioritas daripada pengembangan kesejahteraan, "درء المفاسد مقدم على جلب المصالح". Maka dari itu, jika terjadi pertentangan antara program perwujudan kesejahteraan masyarakat dengan kita antisipasi kehancuran, maka yang yang harus mendapatkan prioritas dahulu adalah kiat penanggulangan bahaya atau kehancuran.
Kedua : kewajiban sosial yang dibebankan kepada pemilik harta.
            Kewajiban sosial berupa sumbangan yang yang harus dilakukan pemilik adalah membayar zakat tiap tahunnya, yang diserahkan kepada mereka yang berhak (QS : At-Taubah : 60). Zakat bukanlah satu-satunya sumbangan sosial yang wajib dalam tatanan Islam, masih ada lagi pembayaran asuransi sosial dan dana penunjang program yang mirip dengan zakat, dimana bentuk dan formatnya disesuaikan dengan kondisi dan perubahan sosio kemasyrakatan (QS : Al-Baqarah : 215). Dalam penafsiran ayat ini, bahwa kebaktian sosial dengan memberikan harta kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan musafir, ada diluar kewajiban zakat.
Ketiga : pengambil alihan hak milik pribadi oleh negara dalam keadaan tertentu.
            Hukum dasar dalam kepemilikan adalah tidak sah diganggu gugat oleh pihak manapun juga, oleh karena itu tidak dibenarkan segala tindakan yang tidak terpuji, termasuk segala bentuk intervensi terhadap hak milik, tidak terkecuali dari pemerintah. Pemerintah tidak dibenarkan melakukan penghinaan atau penyiksaan terhadapa masyarakat menyangkut harta miliknya. Sebab kepemilikan individu adalah hak yang sah, yang diakui oleh agama, oleh karena itu, siapapun melakukan tindak kejahatan terhadap harta orang lain, maka akan dijatuhi sanksi sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Sanksi hukum ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak milik individu, tanpa penafian sedikitpun terhadap prinsip peduli sosial masyarakat. Sebab terdapat kasus masalah, dimana hak kepemilikan pribadi bisa dirampas, jika terdapat ancaman bahaya pada kesejahteraan umum.
            Dalam Fiqh terdapat contoh pencabutan hak milik individu untuk kepentingan umum, misalnya syuf`ah, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Nabi Muhammad saw bersabda : “Pihak yang bertetangga lebih mempunyai hak syuf`ah”. Syuf`ah inilah yang menjadi dalih sahnya pemerintah mengambil alih hak individu untuk mewujudkan kesejahteran masyarakat. Sebagai contih, khalifah Umar pernah mengambil secara paksa kepemilikan tanah di seputar Masjidil Haram, saat itu Umar berkata : “Kalian ini menempati area milik Ka`bah, ini kan pelataran Ka`bah, bukan sebaliknya : Ka`bah menempati area bumi kalian”.[52]
            Dalam literatur Fiqh, masih banyak lagi terdapat kasus dimana disahkan pengambil-alihan hak milik, tanpa perlu persetujuan dari pemilik. Yang perlu digaris-bawahi adalah, bahwa pengambil-alihan hak ini tidak boleh berdasarkan motif atau sentimen pribadi penguasa. Pengambilan hak secara paksa tidak sampai menggugurkan hak pemilik, pemilik mendapatkan ganti rugi yang adil, serta pemilik mempunyai hak untuk mendapatkan keamanan dan terbebas dari praktik kedzaliman penguasa.[53]
            Kepemilikan yang diperoleh secara benar dan telah dikeluarkan kewajiban kewajibannya dijamin oleh agama, bahkan diwajibkan untuk selalu dijaga dari kejahatan orang lain yang ingin menguasainya secara tidak sah. Legitimasi yang diberikan dalam ajaran Islam tentang penjagaan harta setara dengan perjuangan yang harus mengorbankan nyawa. Banyak hadits yang memformulasikan dengan ungkapan mati syahid ketika orang yang berusaha mempertahankan hartanya meninggal.
Konsep yang bawa oleh Imam as Syatibi dalam merumuskan kebutuhan primer (ad dharuriyaat) termasuk di dalamnya adalah menjaga harta.[54] Kewajiban melindungi harta benda bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi merupakan kewajiban setiap individu baik terhadap muslim maupun non muslim.

Penutup
            Implikasi ajaran Islam terhadap kepemilikan sangat berpengaruh pada penggunaan, distribusi dan konsumsi sebuah komoditas.[55] Penggunaan kepemilikan sebagai sarana produksi tidak dapat dipergunakan secara bebas terhadap obyek obyek usaha walaupun mendatangkan keuntungan secara riil. Batasan penggunaan tersebut melihat pada konsep halal dan haram yang merupakan doktrin mendasar pada ajaran Islam. Islam melarang penggunaan kepemilikan yang dapat mengakibatkan kerusakan, membahayakan dan merugikan orang lain. Karena hal tersebut bertentangan dengan konsep dasar pemanfaatan kepemilikan sebagai wujud amanat dan khalifah Allah.[56]
            Konsep halal haram sebagai implementasi dari kepemilikan merupakan konsep yang sangat mendasar bagi seorang muslim, dan sebagai etika bisnis yang membedakannya dengan sistem lain. Hubungan antara kepemilikan dengan konsep halal haram tersebut menempatkan bisnis bukan sekedar kegiatan dunia, tetapi merupakan upaya dalam mempraktekkan ajaran yang berorientasi agama.
Secara substansif, perbedaan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah masuknya nilai nilai agama dalam setiap kegiatan ekonomi, dengan tidak membatasi unsur produktifitas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Nilai nilai agama harus dipahami bukan sebagai penghambat kegiatan perekonomian, tetapi lebih dipahami sebagai kerangka dasar berpijak untuk mendapatkan barakah yang sekaligus sebagai tatanan etika dalam usaha.
Konsep barakah diidentikkan dengan sikap kepuasan batin dalam menjalankan kegiatan ekonomi sesuai dengan ajaran agama, sehingga akan tercapai kemakmuran. Kesejahteraan dalam Islam bukan hanya didasarkan pada akumulasi modal, uang dan barang komoditas, tetapi lebih menekankan pada proses kegiatan ekonomi yang diawali dengan sebuah i`tikad baik, perilaku dan tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
                                   
Daftar Pustaka :

            Ad Damuhiy, Hamzah al Jumai`iy, Al Iqtishad fi al Islam, Kairo, Dar al Anshar, 1979.

            Ahmad, Abdurrahman Yusri, Dirasaat fi `Ilmi al Iqtishad al Islamiy, Mesir, Ad Dar al Jami`iyah, 2001.

            Al Abbadi, Abdus Salam Dawud Muhammad, Al Milkiyyah fi as Syari`ah al Islamiyah, thabi`atuha wa wadzifatuha wa quyuduha, dirasah muqaranah bi al qawanin wa an nudzum al wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar Risalah, 2000.

            Al Khafif, Ali, Al Milkiyyah fi as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as Syarai` al wadh`iyyah, Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996.

            Al Mawardiy, Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam as Sulthaniyah wa al wilayat al diniyyah, Kairo, Dar al Wafa, 1989.

            Al Salus, Ali Ahmad, Al Iqtishad al Islamiy wa al qadhaaya al fiqhiyah al mu`ashirah, Kairo, Dar al Taqwa li an nasyr wa al tauzi`, 1998.

            An Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam : pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000.

            Anwar, Prof. Dr. Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah : studi tentang teori akad dalam Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

            As Sadr, Muhammad Baqir, Iqtishaaduna, Dar al Kitab al Islamiy, tt.

            As Syatibiy, Ibrahim bin Musa bin Muhammad Abu Ishaq, Al Muwafaqaat fi Ushul as Syari`ah, Mesir, Ar Rahmaniyah, tt.

            At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam : prinsip, dasar dan tujuan, Magistra Insania Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, September 2004.
            Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus, Dar al Fikr, cetakan ke-4, 2004.

            Chapra, Dr. M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi : sebuah tinjauan Islam (penerjemah : Ikhwan Abidin Basri), Jakarta, Gema Insani Press, 2001.

            Durant, Will, Qishshatu al Hadharah, tarjamah Muhammad Badran, Maktabah al Usrah, Kairo, 2001.

            Hanafi, Syafiq M, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme : relevansi ajaran agama Islam dalam aktivitas ekonomi, Cakrawala, Maret 2007.

            Harahap, Sofyan Syafri, Menuju Perumusan Teori Akutansi Islam, Pustaka Quantum, Jakarta, 2005.

            Ibnu Khaldun, Abdurrahman bin Muhammad, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Mesir, Maktabah Al Taufiqiyah, tt.

            Islahi, Dr. A. A, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, penerjemah H. Anshari Thayib, Surabaya, Bina Ilmu, 1997.

            Metwally, Prof. Dr. M. M, Teori dan Model Ekonomi Islam, pengantar dan penerjemah : M. Husein Sawit, SE. Ph. D, Bangkit Daya Insana, tt.

            Qal`ahjiy, Muhammad Rawwas, Al Mausu`ah al Fiqhiyah al Muyassarah, Dar an Nafais, tt.

            Sirriy, Hasan, Al Iqtishad al Islamiy : mabadi wa khashais wa ahdaf, Markaz al Iskandariyah li al kitab, 1998.

           






[1]  Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme : relevansi ajaran agama Islam dalam aktivitas ekonomi, Cakrawala, Maret 2007, h : 73
[2]  Dr. Wahbah az Zuhaili membagi teori teori fiqh menjadi 5 yaitu : teori hak (nadzariyyatu al haq), harta benda (al amwal), kepemilikan (al milkiyyah), teori perikatan (nadzariyyatu al `aqd), hukum syariah (al muayyidat as syar`iyyah), dan teori pembatalan (nadzariyyat al faskh). Lihat Dr. Wahbah az Zuhaili, Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damaskus, 1984, cet. Ke-4, Jilid 4, h : 2833
[3]  Secara teologis kepemilikan dengan melihat Allah sebagai sentral dan manusia sebagai makhluk-Nya, dibagi menjadi 2 : a. Kepemilikan absolut (milkiyyatu al azal) yaitu Allah yang mempunyai kekuasaan penuh atas segala ciptaan-Nya termasuk manusia. Sedangkan yang b. Kepemilikan relatif atau titipan (milkiyyatu al istikhlaf wa amanah) yaitu kepemilikan yang dimiliki manusia sebagai amanat dari Allah. Hasan Sirriy, Al Iqtishad al Islamiy : mabadi wa khashais wa ahdaf, Markaz al Iskandariyah li al kitab, 1998, h : 76
[4]  Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, al Maktabah al Taufiqiyah, h : 44
[5]  M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam : pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000, h : 41
[6]  Will Durant, Qishshatu al Hadharah, tarjamah Muhammad Badran, Maktabah al Usrah, Kairo, 2001, jilid 5, h : 374
[7]  Gray, S. A and Thomson, A, The Development of Economic Doctrin, (New York : Longman, Inc. 1980, edisi kedua), h : 28, dikutip dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, penerjemah H. Anshari Thayib, Surabaya, Bina Ilmu, 1997, h : 130
[8]  Austin, John (1790-1859), Lecture on Jurisprudence : or The Philosopy of Positive Law, editor Campbell, Robert, (edisi kelima, revisi, London : J. Murray, 1911), Vol. 2, h : 790, dikutip dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 131
[9]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 131
[10]  Will Durant, Qishshatu al Hadhara..., jilid 4, h : 486
[11]  Jowett, Benjamin, Politics (terjemahan), Buku II (dicetak ulang pada Early Economic Thought, editor Monroe, A. E, Cambridge : Harvard University Press, 1965), h : 24-25, dikutip dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 132
[12]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 134
[13]  Dr. M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi : sebuah tinjauan Islam (penerjemah : Ikhwan Abidin Basri), Jakarta, Gema Insani Press, 2001, h : 17
[14]  Menurut Lock, manusia mempunyai 3 hak kodrat yaitu : hak hidup, kebebasan dan hak milik. Hak milik dapat diperoleh melalui bekerja, sehingga pekerjaan menjadi legitimasi dari setiap hak milik. Batas hak milik yang dapat diperoleh dari alam adalah sejumlah yang dapat dikonsumsi oleh manusia beserta keluarga dan temannya. Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 82
[15]  Adam Smith, Lectures on Jurisprudence, dikutip dari Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 83
[16]  Dr. M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi..., h : ix-x (pengantar)
[17]  Lebih juah lihat Muhammad Baqir Sadr, Iqtishaduna, Dar al Kitab al Islamiy, h : 226
[18]  Karl Marx and Frederick Engels, The Communist Manifesto, (Harmonsworth : Penguin Books, 1974), p : 96,   dikutip dari Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 83
[19]  Ibid, h : 84
[20]  Lihat Muhammad Zarqa, Al-Fiqh al `Am, jilid 1 hal : 258 dalam M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, ibid, hal : 42-43
[21]  M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, ibid, hal : 44
[22]  Ibid, hal : 45
[23]  Ibid, hal : 46
[24]  Lihat Muhammad Zarqa, Al-Fiqh al-`Am, ibid, hal : 26
[25]  M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, ibid, hal : 49
[26]  QS. Al Baqarah : 30
[27]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 136
[28]  Dr. Wahbah az Zuhaili, Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu..., h : 2892
[29]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 137
[30]  Ali al Khafif, Al Milkiyyah fi as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as Syarai` al wadh`iyyah, Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996, h : 18-20
[31]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 138
[32]  ibid, h : 138
[33]  ibid, h : 139
[34] Kewenangan negara dalam membatasi hak milik individu ini, biasanya dibagi berdasrkan 3 kondisi : a. Menjaga keselamatan negara dari ancaman luar, b. Menjaga keamanan dalam negeri, dan c. Merealisasikan prinsip keadilan dalam masyarakat. Lebih lanjut lihat Abdus Salam Dawud Muhamad al `Abbadiy, Al Milkiyyah fi as Syari`ah al Islamiyah, thabi`atuha wa wadzifatuha wa quyuduha, dirasah muqaranah bi al qawanin wa an nudzum al wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar Risalah, 2000, jilid 2, h : 275
[35]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 140
[36]  ibid, h : 142
[37]  Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam : prinsip, dasar dan tujuan, Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004, hal : 85
[38]  Ibid, hal : 90
[39]  Ibid, hal : 91-92
[40]  Ibid, hal : 92-95
[41]  Ibid, hal : 96
[42]  Ibid, hal : 97-125
[43]  ibid, h : 143
[44]  Sunan Ibnu Majah, no : 2566, jilid 7, h : 439
[45]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 144
[46]  Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi, Al Ahkam as Sulthaniyah wa al wilayat al diniyyah, Kairo, Dar al Wafa, 1989, h : 3
[47]  Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 146
[48]  Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam, ibid, hal : 58-67
[49]  Ibid, hal : 68-83
[50]  M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam..., h : 51
[51]  Ibid, hal : 53-55
[52]  Ibid, hal : 57
[53]  Ibid, hal : 57
[54]  Ibrahim bin Musa bin Muhammad Abu Ishaq as Syatibi, Al Muwafaqaat fi Ushul as Syari`ah, Mesir, Ar Rahmaniyah, tt, h : 8
[55]   Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 76
[56]   Sunan Ibnu Majah, no : 2430, jilid 7, h : 240

2 komentar:

  1. kunjungin juga ne gan untuk makalah islam masih ada disini juga lengkap dengan daftar pustakanya..
    http://fiqhmuamalah1.blogspot.com/2012/04/konsep-hak-milik-dalam-islam.html

    BalasHapus