KONSEP HAK MILIK DALAM
SYARIAH
DAN KAITANNYA DENGAN EKONOMI ISLAM
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
Kepemilikan
terhadap harta benda merupakan hal mendasar bagi setiap individu dalam
menjalankan aktivitasnya. Batas batas kepemilikan yang berkaitan dengan jumlah,
pemanfaatan maupun kebebasan dalam pemanfaatan sangat dipengaruhi oleh ajaran
mendasar, baik melalui ajaran agama maupun paham ideologi. Secara umum batasan
yang diperbincangkan adalah kepemilikan umum dan pribadi, penggunaan pada obyek
obyek usaha maupun batas maksimal dari kepemilikan.[1]
Hak
milik dalam Islam selalu dihubungkan dengan keberadaan manusia sebagai khalifah
di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi sebagai manifestasi
pertanggungjawabannya. Hak milik merupakan bagian dari pembahasan harta benda (al
mal), yang merupakan kajian dari Fiqh Mu`amalat.[2] Kedudukan
kepemilikan dalam fiqh mu`amalat menjadi sangat penting karena berkaitan dengan
syarat sahnya sebuah transaksi harta benda. Transaksi dapat dilakukan jika
kepemilikan terhadap harta benda menjadi kepemilikan yang sah dan tidak ada
sebab lain yang menghilangkan haknya dari orang yang melakukan transaksi
tersebut.
Secara mendasar Islam mengajarkan
bahwa kepemilikan yang paling asasi dari seluruh harta adalah Allah, manusia
menjadi pemilik atas harta hanya sebagai amanat dari Allah. Pemanfaatan
kepemilikan oleh manusia sebatas sebagai makhluk yang harus sesuai dengan
ketetapan-Nya, dan untuk tujuan yang yang telah ditetapkan melalui ajaran
agama.[3]
Sejarah kepemilikan
Awal
sejarah kepemilikan sama dengan awal manusia itu sendiri, dengan demikian
banyak teori untuk memahami asal mula terjadinya kepemilikan. Satu hal yang
pasti bahwasannya manusia tidak terlepas dari kepemilikan, sebab dengan hak
memiliki manusia dapat bertahan dan menyambung kehidupannya.
Praktek
kehidupan manusia di awal fase sejarah bersifat kolektif dalam mencari
kehidupan. Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari pihak lain, pada fase itu
kepemilikan pribadi berarti juga kepemilikan keluarga atau milik bersama.
Bahkan seorang manusia berarti milik bagi keluarganya, mereka menjaganya dan
melindunginya dari ancaman pihak lain.[4]
Di periode awal peradaban manusia,
kepemilikan menyangkut kebutuhan pribadi, pakaian dan alat berburu, maka kalau
seseorang mati hal hal tadi dikubur bersama sang pemilik. Kemudian bergulirlah
suatu peradaban, dimana hak milik individu mulai tampak sedikit demi sedikit,
dan sistem kepemilikan kolektif mulai terkikis.[5]
1. Hak Milik dalam Hukum Romawi
Romawi adalah bangsa
yang sangat mementingkan harta benda, sehingga sebagian besar hukum Romawi
adalah hukum tentang hak kepemilikan. Karakteristik utamanya adalah sangat
keras dan tegas dalam melindungi hak hak individu. Para ahli hukum Romawi
cenderung untuk mempertimbangkan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan
atas hak milik pribadinya. Konsep tentang hak milik ini bukan sekedar untuk
memanfaatkan harta benda saja, melainkan juga kebebasan untuk merusaknya.
Logikanya hal semacam itu merupakan hak turun temurun yang tidak bisa
dihalangi.[6]
Di sini, atas dua
prinsip besar tentang hak milik dan kebebasan melakukan kontrak apapun, sistem
hukum Romawi itu meninggalkan sebuah kerancuan kearah individualisme yang tanpa
kekangan dan tak bertanggungjawab, berhadapan dengan kemungkinan tuntutan hak
keluarga, suku atau bangsa.[7]
Bahkan di masa kini,
sejumlah sarjana secara umum mendefinisikan pengertian hak milik berpijak pada
pola hukum Romawi. Misalnya ketika mendefinisikan hak milik, John Austin
berkata : “Jika mengambil pengertian yang keras menunujukkan bahwa sebuah hak
itu tak tertentu cara penggunaannya dan tak terbatas penempatannya, melebihi
sesuatu yang tertentu pengertiannya.[8]
Sesuai dengan definisi
tadi, hak pribadi terhadap sebuah obyek merupakan hak yang tak terlarang dan
tak terbatasi oleh apapun, untuk menggunakan atau menghancurkan, sesuai dengan
keinginan pemiliknya. Tetapi tak seorangpun tetap bertahan pada pendapatnya
saat ini, bahwa hal itu masih menjadi kondisi yang diperlukan dalam hal
kepemilikan. Austin sendiri menganjurkan adanya pembatasan yang perlu
dipaksakan oleh kebiasaan atau pemerintah.[9]
2. Hak Milik dalam Filsafat Yunani
Lembaga hak milik
merupakan subyek yang sangat kontroversial di zaman Yunani Kuno. Plato (430-347
SM), dalam usahanya merealisasikan konsep “masyarakat ideal” (al Madinah al
Fadhilah), membagi masyarakat sesuai dengan tingkat pendidikan yang mereka
terima. Diantaranya kelas ksatria tidak boleh menguasai hak milik di luar
kebutuhannya, bagi mereka diberikan pembayaran tetap tertentu untuk mencukupi
kebutuhannya, tak lebih dari itu. Mereka bahkan tidak mempunyai keluarga atau
istri tertentu bagi mereka, karena dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan
wewenang yang mereka miliki.[10]
Aristoteles (Politics)
mengkritik pandangan komunisme Plato dan membantah bahwa sistem seperti itu
tidak bisa dilaksanakan dan merusak insting kemanusiaan yang alami. Ia
menegaskan bahwa pemilikan hak milik oleh masyarakat akan merusak kebajikan dan
kebebasan. Menurutnya, peraturan yang berlaku saat itu jika bisa dikembangkan
dengan tatanan hukum yang baik, akan memberikan keuntungan pada masyarakat. Hak
milik bisa ditempatkan dalam kerangka akal sehat, lebih dari itu bisa menjadi
tatanan umum bagi pribadi. Idealnya kekayaan itu menjadi hak milik pribadi,
namun digunakan untuk kepentingan umum.[11]
3. Menurut ajaran Kristen dan Filsafat
Skolastik
Pada abad pertengahan
pandangan tradisional yang mengakui hak milik pribadi diterima secara luas,
kepemilikan pribadi dianjurkan dengan berdasarkan pada prinsip efisiensi
ekonomi. Unsur unsur dari pikiran Plato diserap dalam tradisi Kristen pada awal
masa pertumbuhannya. Kemudian pandangan Aristoteles ditemukan kembali pada saat
akhir periode pertengahan di Eropa, melalui medium para sarjana Yahudi dan
pemikir Arab, seperti Ibnu Rusydi (Averroes) dan Ibnu Sina (Avicenna). Umumnya
tokoh Kristen lebih cenderung pada sikap komunistik terhadap hak milik.
Kebijakan tentang
penggunaan hak milik secara bersama berasal dari kepentingan moral. Kebanyakan
poin poin penting dari pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu berpijak
pada pandangan Aristoteles dan melengkapi dasar pemikiran utama untuk menerima
sistem ekonomi pasar bebas sebagai kerangka analisis ekonomi.[12]
Kepemilikan dalam pandangan
Kapitalisme dan Sosialisme
Meskipun secara
historis lahirnya kapitalisme dilandasi semangat keagamaan, akan tetapi dalam
perjalanannya kapitalisme telah mematikan nilai nilai keagamaan dengan
melemahkan nilai nilai etis dari ajaran itu sendiri.
Pada
awalnya, ketika paradigma sekuler masih terbatas pada sekelompok kecil para
akademisi, konflik antara model agama (gereja) dan ilmu tidak mempunyai dampak
yang signifikan pada ekonomi dan masyarakat. Nilai nilai agama tetap
mendominasi, dan mampu mengatasi dampak paradigma sekuler pada mekanisme yang
dipakai. Namun seiring dengan perkembangannya secara gradual, nilai nilai sekuler cenderung meluas.[13]
John
Lock merupakan tokoh yang pertama kali merumuskan liberalisme dalam hak milik,
yang merupakan hak terpenting atas kehidupan dan kebebasan.[14]
Ide liberalisme menguat ketika menggunakan uang sebagai alat tukar, hak milik
menjadi sangat luas dan tidak terbatas, jika memiliki sejumlah uang yang dapat
membeli kepemilikan lain sepanjang tidak merugikan orang lain. Ide kapitalisme
pada diri Lock adalah pada pandangannya terhadap pekerjaan yang harus diukur
dengan nilai tukar komoditas yang ada di masyarakat.
Tokoh
lain sebagai pendukung liberalisme adalah Adam Smith, yang mengikuti tokoh
sebelumnya mengenai pentingnya hak milik pribadi. Ungkapan yang dipergunakan
Smith untuk pentingnya hak milik adalah the sacred rights of private
property. Secara substansi, Smith seperti John Lock menganggap bahwa kerja
merupakan dasar dari hak milik pribadi, tetapi memandang lebih jauh terhadap
kesempurnaan hak milik.[15]
Kuatnya
ide kepemilikan pribadi dengan landasan liberalisme telah membuat jarak
kesenjangan yang jauh antara orang kaya dan miskin. Sistem ini kurang
memperhatikan nasib orang miskin dan orang yang tidak beruntung dalam hidupnya.
Kapitalisme menempatkan manusia pada posisi yang rancu, dan tidak mampu
menempatkan manusia sebagai makhluk individu dalam bingkai sosial. Penekanan
yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan, serta
pengumbaran kepentingan diri sendiri individual. Dari sinilah diantaranya
kenapa ekonomi kapitalis dinilai gagal.[16]
Ekonomi
kapitalis dianggap gagal dalam merumuskan konsep kepemilikan, dimana
kepemilikan diidentikkan dengan hak menguasai suatu hal, padahal kepemilikan
bukan terkait dengan hal yang bersifat materi. Kepemilikan juga tidak bisa
dilihat dari hasil, sebab terdapat kepemilikan yang terjadi tanpa lewat kerja,
misalnya harta warisan. Dengan demikian kepemilikan membutuhkan legalitas
hukum.
Sementara
itu di sisi yang lain, hak milik individu menjadi pusat perhatian Karl Marx
dalam mengembangkan idenya dengan lebih menjadikannya doktrin kebijakan sosio-ekonomi dan politiknya. Pandangan
pandangannya akhirnya mengarah pada ide revolusi untuk mewujudkan impiannya,
yaitu mewujudkan kekuasaan sosial untuk pemerataan.[17]
Marx
menyatakan bahwa manusia dan alam mempunyai hubungan timbal balik yang
diwujudkan dalam sebuah pekerjaan. Dalam perjalanannya hubungan yang harmonis
tersebut terganggu ketika para kaum buruh menjual pekerjaannya sebagai
komoditas kepada para kapitalis dengan upah yang minim secara berkelanjutan. Keadaan
tersebut tidak dapat diperbaiki oleh sistem yang berlaku saat itu, dan para
buruh tidak pernah mempunyai hak milik dari pekerjaannya sendiri. Kondisi
tersebut dianggap sebagai cara berproduksi dan memperoleh kekayaan yang tidak
adil dan mengeksploitasi manusia.
Alasan
alasan itulah yang menjadikan Marx dan Marxisme menolak hak milik pribadi yang
ditegaskan dalam Manifesto Partai Komunis, dengan ungkapan bahwa teori mendasar
Partai Komunis dapat dirumuskan dengan satu kalimat yaitu penghapusan hak
milik.[18]
Secara
khusus, dalam perekonomian kepemilikan yang dihapus adalah kepemilikan terhadap
kapital (modal) yang merupakan sarana produksi, karena kapital merupakan social
power dan bukan hak milik individual. Kapital merupakan sarana pekerjaan
secara kolektif yang memungkinkan seluruh masyarakat dapat bekerja dengan baik
dengan pendapatan yang layak. Lembaga milik pribadi merupakan penindasan dan
eksploitasi kaum pekerja dengan menghisap tenaga kerja orang lain.[19]
Konsep kepemilikan dalam Islam
Memiliki
bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu benda berarti mempunyai hak
mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat larangan dalam syariah. Dengan
kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan suatu benda
tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara manusia dan hartanya berbeda
dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan bukanlah hal
yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari
syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah sebentuk ikatan antara individu
terkait dengan harta, yang pada tahapan
proses kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang disebut asal usul kepemilikan
(asbab al milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan beberapa aturan
dalam pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.[20]
Menimbang
kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi kekuasaan
kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, namun dengan catatan
manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya diberi, maka ia harus
tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud mulai saat manusia
melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semua
harus sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi kehendak Allah. Maka dari
itu Islam mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah, begitu
juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktik investasi yang melanggar aturan,
terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat. Jika perugian terhadap
masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat,
yang sebenarnya dalam pandangan Islam mempunyai hak dalam kepemilikan individu.
Prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang muncul dari cara yang
menyimpang.[21]
Pandangan
Islam ini jelas berbeda dengan undang-undang kepemilikan yang tunduk pada
falsafah dan sosial politik dari ekonomi konvensional. Islam menolak paham kapitalis,
bahwa kepemilikan individu sangat absolut. Islam juga berbeda dengan paham
sosialis bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif, di samping itu, Islam juga
menentang paham bahwa kepemilikan adalah hak bersama. Islam sangat mengakui dan
tidak menentang, bahwa kepentingan umum haruslah dipertimbangkan dan
didahulukan daripada kepentingan kelompok kecil, apalagi kepentingan individu.
Dengan demikian mempertimbangkan kemaslahat umum adalah suatu hal yang harus
diterima dalam rumusan kepemilikan.
Islam
menolak paham bahwa kepemilikan adalah hak milik kolektif, dengan alasan bahwa
hal demikian ini bertentangan dengan milik individu, atau perampasan individu
dari hak miliknya, yang sekaligus memberi ruang kepada masuknya intervensi
pemerintah dalam pembredelan hak milik. Paham ini jelas memposisikan pemerintah
di antara pengatur harta, yang karenanya sah merampas dan selanjutnya memberikan
kepada siapa saja yang diberi pemerintah atas dalih undang-undang.[22]
Islam
tidak menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dan hak
masyarakat lain, keberhakan pemilik dalam pandangan Islam adalah hal yang baku.
Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang, dan
inipun sangat terbatas pada keadaan tertentu yang kaitannya erat dengan target
sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.
Posisi
Islam yang demikian dimaksudkan untuk membantu perimbangan antara hak milik dan
hak intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih demi kesejahteraan umum.
Dalam Islam, hak kepemilikan individu menyangkut hak bersama yang harus
diperhatikan, tanpa sedikitpun mengurangi hak hak-hak pribadi pemilik. Islam
bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur nan sejahtera, tanpa
mengurangi hak milik individu. Menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera
tidak mungkin dibangun tanpa melindungi hak milik individu anggotanya, maka
melindungi hak milik individu anggota masyarakat adalah perangkat utama dalam
usaha mewujudakan masyarakat yang adil dan makmur.[23]
Faktor kepemilikan dalam Islam
Islam
mengakui hak milik, namun dalam waktu yang bersamaan Islam mensyaratkan
beberapa hal, dengan tujuan agar dampak negatif dari kepemilikan individu dapat
dihindarkan dari masyarakat. Diantara syarat kepemilikan dalam Islam, adalah
keharusan sang pemilik tunduk dan patuh pada peraturan syariah, misalnya
kewajiban mengeluarkan sebagian hartanya demi mewujudkan kesejahteraan umum,
dalam menginvestasikan hartanya hendaknya tidak membahayakan atau mengancam
pihak lain, dan lain sebagainya. Kepemilikan yang sah menurut Islam, adalah
yang terlahir dari proses yang sah menurut syariah, diantaranya dalam pandangan
fiqh adalah[24]:
1.
Menjaga
hak umum.
2. Transaksi pemindahan hak.
3.
Penggantian.
Yang dimaksudkan adalah penggantian
posisi dari satu pihak ke pihak lain, dimana dalam prosesnya tanpa perlu ada
persetujuan, baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya harta warisan,
yang otomatis berpindah ke ahli waris tanpa ada syarat persetujuan, sebab
peralihan hak di sini mendapatkan legalitasnya melalui ketentuan syariah dan
bukan kesepakatan manusia.[25]
Dalam Islam pemilik
yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta adalah Allah swt, hanya Allah
yang yang bisa melimpahkan kepada manusia setiap hak atas kepemilikannya. Dia
bisa menekankan pembatasan dan pelarangan atas hak milik, kekuatan manusia
untuk mengatur barang barang yang ada di dunia ini berasal dari perannya sebagai
khalifah Allah. Kesejahteraan tidak berhenti pada benda itu sendiri, tetapi
sebuah tujuan agar manusia bisa secara efektif mempertanggungjawabkan perannya.[26]
Kewajiban
datang lebih dulu, baru kemudian yang kedua adalah hak, setiap individu,
masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu. Individu merupakan titik
utama dari pelaksanaan hak dan kewajiban, dan secara langsung
mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Tetapi sebagai makhluk sosial,
seluruh materi dan aspirasi spiritualnya membutuhkan usaha bersama untuk
mewujudkannya.
Masyarakat
dalam Islam memiliki kepentingan individual tersebut, masyarakat membentuk
fungsinya melalui negara dan lembaga lembaga sosial lainnya. Kemudian muncul
fungsi dan kewajiban negara untuk melindungi kehidupan, martabat dan hak milik
dari anggota masyarakat itu, serta menjamin kebebasan bagi semuanya.[27]
Menurut Wahbah az
Zuhaili, kepemilikan adalah hubungan antara seseorang dengan harta benda yang
disahkan oleh syariah, sehingga orang tersebut menjadi pemilik atas harta benda
itu, dan berhak menggunakannya selama tidak ada larangan terhadap
penggunaannya.[28]
Sedangkan
menurut Ibnu Taimiyah, hak milik adalah sebuah kekuatan yang didasari atas
syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi
bentuk dan tingkatnya. Kadang kekuatan ini sangat lengkap, sehingga pemilik
benda berhak untuk menjual, memberikan, meminjamkan atau menghadiahkan,
mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan produktif. Tetapi kadang kekuatan
tersebut tidak lengkap, sehingga hak pemilik menjadi terbatas.[29]
Sementara
`Ali al Khafif menyebutkan berbagai macam definisi hak milik, sesuai dengan
cara pandang yang berbeda beda. Dari segi arti dan sumbernya, maka hak milik
adalah keterikatan terhadap benda yang menghalangi pihak lain untuk
memanfaatkan benda tersebut. Kriteria ini mencakup hak milik terhadap benda dan
hak milik terhadap manfaatnya saja. Dari segi sifat atau hukum, hak milik
adalah hukum syariat yang ditetapkan pada sebuah benda atau manfaatnya, yang
memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkannya.[30]
Ibnu Taimiyah membagi hak milik
menjadi 3 bagian :[31]
1. Hak milik individual
Tentang akuisisi hak
milik secara individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan dengan
rinci untuk kepentingan yang dibenarkan oleh syariat. Setiap individu memiliki hak
untuk menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif, memindahkannya dan
melindungi dari pemubadziran. Akan tetapi hak tersebut dibatasi oleh sejumlah
limitasi diantaranya : ia tak boleh menggunakannya dengan tabdzir, tidak boleh
menggunakannya dengan semena mena dan tidak boleh bermewah mewahan. Dalam
transaksi, ia tidak boleh menggunakan pemalsuan, penipuan dan curang dalam
timbangan. Juga dilarang mengeksploitasi orang orang yang membutuhkan dengan
cara menimbun barang, dan lain sebagainya.[32]
Kewajiban
terhadap hak milik individu
Terpisah dengan
pembatasan atas hak milik di atas, pemilik juga diharuskan kepada sejumlah
kewajiban tertentu. Kewajiban pokok (fardhu `ain) setiap individu agar
menggunakan hartanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, sedangkan
membantu orang miskin adalah kewajiban sosial dalam kategori fardhu kifayah.
Doktrin Ibnu Taimiyah
menunjukkan bahwa ia cenderung menghargai hak milik atas kekayaan yang
berfungsi sosial. Ketika seorang individu tidak melakukan kewajiban sosial atas
hak miliknya, maka negara berhak melakukan intervensi atas hak milik pribadi
individu tersebut.[33] Lebih
lanjut negara berhak untuk memungut pajak diluar kewajiban zakat, menetapkan
denda, bahkan penyitaan atas hak milik karena pertimbangan kondisi tertentu.[34]
Kewajiban lain atas hak
milik individu adalah kewajiban memberikan pinjaman harta kepada orang lain
yang membutuhkan , baik secara suka rela (bi thariq al tabarru`) ataupun
dengan mengambil keuntungan (bi thariq al ta`widh). Kewajiban finansial
yang tidak memberikan keuntungan terbagi menjadi 4 jenis yaitu : pembayaran
zakat, menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan membantu orang yang
membutuhkan bantuan.[35]
Secara alamiah manusia
cenderung melakukan pertukaran barang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, syariah
tidak menetapkan aturan sepanjang pertukaran tersebut dilakukan dengan
sukarela. Namun bila tidak tercapai kesepakatan dengan suka rela, syariah
menetapkan kewajiban terntentu. Misalnya seseorang berhutang kepada orang lain,
dan ia memiliki barang yang dapat melunasi utang tersebut, maka negara berhak
memaksa orang tersebut agar menjual barangnya untuk melunasi hutangnya. Dengan
cara yang sama, negara dapat mewajibkan seorang individu untuk menjual barang
atau makanan dengan harga yang wajar, yaitu ketika orang lain membutuhkan
barang tersebut, dan pemilik barang menolak menjualnya kecuali dengan harga
yang tinggi. Maka bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kedermawanan harus
dibatasi dengan moral dan hukum sekaligus.[36]
Tujuan kepemilikan
khusus (individu)
Adapun tujuan dari kepemilikan
khusus adalah :
a. Untuk meningkatkan kerjasama
internasional melalui kerjasama antar individu dan kelompok-kelompok non
pemerintah.
b. Untuk merealisasikan kebaikan,
kemakmuran dan kemanfaatan umum melalui persaingan sehat antar produsen.
c. Negara tidak diperkenankan untuk
melakukan intervensi jika hanya akan menghambat kreativitas individu.
d. Untuk memenuhi dan menginvestasikan
naluri cinta materi dalam bidang yang telah ditentukan oleh Allah swt[37].
Jenis-jenis
kepemilikan khusus.
Sesuai
dengan definisi kepemilikan khusus, maka jenis ini dapat dikategorikan ke dalam
tiga macam, yaitu[38] :
a. Kepemilikan pribadi, yaitu kepemilikan
yang manfaatnya hanya berkaitan dengan satu orang saja dan tidak ada orang lain
yang ikut andil dalam kepemilikan itu.
b. Kepemilikan perserikatan, yaitu
kepemilikan yang manfaatnya dapat dipergunakan oleh beberapa orang yang dibentuk
dengan cara tertentu.
c. Kepemilikan kelompok, yaitu kepemilikan
yang menyangkut beberapa hal yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau
kelompok kecil orang.
Sebab-sebab
kepemilikan khusus.
Kategori kegiatan yang dapat
menyebabkan adanya kepemilikan pribadi antara lain[39] :
a. Penguasaan atau peralihan (al
khalafiah), yaitu suatu cara yang mengakibatkan seseorang dapat menguasai harta
orang lain tanpa harus melakukan usaha keras atau perniagaan, seperti warisan
dan wasiat.
b. Kepemilikan barang-barang halal, dimana
seseorang memiliki sesuatu yang belum dimiliki oleh orang lain, seperti mencari
ikan di laut.
c. Transaksi, seperti jual beli, sewa
menyewa, pemberian atau pelepasan barang.
d. Keputusan hakim terhadap perubahan
status kepemilikan umum, seperti tanah dan perkebunan.
e. Zakat, nafkah, hasil denda dan harta
nadzar.
f. Kerja fisik dan hasil intelektual,
termasuk kerja di kantor, menulis, mengarang dan lain sebagainya.
g. Wakaf, yaitu pemanfaatan barang yang
telah diikat sebagai milik Allah.
Batasan
kepemilikan khusus.
Islam tidak menempatkan kepemilikan
khusus sebagai hak absolut tanpa batasan, kepemilikan harus berdasarkan atas
keseimbangan penggunaannya dalam semua sisi. Islam mengatur hirarki kepemilikan
harta individu dan kelompok agar tercipta suasana persaudaraan antar anggota
masyarakat dan berbagai kelompok yang ada di dalamnya. Beberapa batasan
kepemilikan khusus ini antara lain[40] :
a. Untuk memperoleh hak kepemilikan itu
hendaknya dilakukan dengan cara legal, karena cara perolehan harta yang tidak
legal seperti riba, perdagangan barang haram, jual beli yang rusak dan lain
sebagainya adalah bentuk kepemilikan yang tidak sah.
b. Tidak terdapat hal yang secara langsung
dapat membahayakan keselamatan seseorang atau kelompok pada proses kepemilikan,
pengalokasian dan pemanfaatan barang. Seorang hakim diperkenankan untuk
mencabut hak milik khusus dengan memberikan ganti rugi, jika kepemilikan
tersebut dapat menimbulkan kerugian atau bahaya pada pihak lain, atau
dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan dan lain
sebagainya. Dalam kaidah Fiqh dikenal dengan istilah :
"يتحمل
الضرر الخاص لدفع الضرر العام"
c. Menjaga kepentingan umum tanpa
menciptakan kegoncangan di dalamnya, dalam pengalokasian harta kepemilikan
khusus disyaratkan adanya proteksi dan realisasi bagi kepentingan umum. Sebagai
contoh adalah aturan-aturan yang diberlakukan dalam dunia industri untuk
menjaga kepentingan para konsumen dan untuk menjamin hak para pekerja atau
buruh.
d. Alokasi kepemilikan yang tepat, jika
pemilik harta mengalokasikan kekayaannya secara tidak benar, maka seorang hakim
diperkenankan untuk mengeluarkan larangan seperti pemborosan dan
menghambur-hamburkan harta kekayaan (Q: An-Nisa : 5).
Kewajiban
dalam kepemilikan khusus.
Islam memberikan beberapa kewajiban
kepada pemilik harta (QS. Al-Ma`arij : 24-25), diantaranya[41] :
a. Memberikan nafkah kepada mereka yang
berhak seperti istri, anak dan saudara yang membutuhkan.
b. Zakat, sebagai kewajiban dari harta
orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang miskin.
c. Beberapa hak yang harus dilaksanakan
selain zakat, sesuai dengan Hadits Nabi saw :
"إن
في المال حقا سوى الزكاة" (رواه الترمذي)
a. Perniagaan (QS, Al-Baqarah : 275 &
282 ).
b. Upah pekerja.
c. Pertanian (QS, Al-Mulk : 15, Al-Baqarah
: 168).
d. Mengelola tanah mati (tanah yang
terlantar).
e. Keahlian profesi.
f. Mencari kayu.
g. Eksplorasi barang tambang yang berada di
perut bumi, yang tidak masuk dalam kategori kepemilikan umum.
h. Berburu.
i.
Hibah
penguasa.
j.
Pemberian
komisi atas profesi dan hasil perlombaan.
k. Penerimaan hibah, pemberian dan hadiah.
l.
Barang
temuan.
m. Wasiat.
n. Warisan.
o. Mahar dan mas kawin.
p. Harta zakat dan shodaqah yang diperoleh
kelompok dalam masyarakat.
q. Harta yang terambil dari nafkah wajib.
2. Hak milik sosial atau kolektif
Tipe kedua dari hak milik
adalah hak milik sosial atau kepemilikan secara kolektif, hak milik sosial ini
biasanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Jika harta kekayaan dimiliki oleh
dua orang atau lebih, maka mereka bisa menggunakannya sesuai dengan aturan yang
mereka tetapkan. Apabila salah satu pihak berusaha mengembangkan jumlah harta
tersebut untuk kepentingan bersama, maka pihak yang lain harus memberikan
kontribusinya dan bekerja sama untuk itu.
Contoh tentang hak
milik secara kolektif adalah wakaf, yaitu ketika sebuah harta kekayaan
disumbangkan untuk tujuan tertentu atau untuk kelompok masyarakat tertentu,
maka ada kewajiban bahwa harta tersebut harus digunakan sesuai dengan
maksudnya. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta wakaf bisa digunakan
untuk kepentingan lain apabila memberi manfaat yang lebih besar.[43]
Obyek utama dari
kepemilikan bersama adalah anugerah alam semesta, seperti air, rumput dan api,
yang secara khusus disebutkan dalam hadits Rasulullah saw.[44]
Salah satu alasan dari keharusan kepemilikan kolektif terhadap obyek obyek alam
itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah swt secara gratis, dan manusia
tidak mendapatkan kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan yang lain
adalah demi kepentingan umum, jika ada seseorang menguasai salah satu dari
obyek alam tadi, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat.
3. Hak milik negara
Kategori ketiga adalah
hak kepemilikan oleh negara, karena negara membutuhkan hak milik untuk
memperoleh penghasilan, yang pada gilirannya dipakai untuk menjalankan
kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara hukum,
menjaga keamanan dalam negeri, melindungi kepentingan masyarakat dan lain
sebagainya. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sumber utama kekayaan negara adalah
zakat, pajak, wakaf, hadiah, pungutan denda dan harta rampasan perang (ghanimah),
serta barang temuan yang tidak ada pemiliknya.[45]
Kekayaan negara secara
aktual merupakan kekayaan publik, kepala negara hanya bertindak sebagai
pemegang amanah (care taker). Negara berkewajiban memanfaatkannya guna
kepentingan publik, namun demikian tidak diperbolehkan untuk menggunakannya
secara berlebihan. Misalnya zakat harus dibagikan kepada orang orang yang
berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.
Negara mempunyai
kewajiban untuk bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan
sistem keamanan sosial dan mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam distribusi
pendapatan individu. Lebih jauh Imam Mawardi menjelaskan bahwa tugas negara
adalah meneruskan misi Nabi Muhammad saw dalam menjaga agama dan mengemban
amanat kehidupan dunia.[46]
Dari pembagian hak
milik ini, bisa disimpulkan bahwa hak atas harta benda itu bersifat kondisional
dan tidak mutlak. Konsep Islam tentang hak milik ini secara radikal sangat
berbeda dengan pandangan orang Romawi yang kemudian diadopsi oleh para ahli
ekonomi modern. Dalam Islam meskipun setiap individu bebas memiliki kekayaan,
namun demikian harus tunduk dan mengikuti ketentuan syariah dan moral. Pada
dasarnya hak milik pribadi adalah sebagai institusi dasar, dan dalam kondisi
kondisi tertentu negara mempunyai wewenang untuk intervensi terhadap hak milik
individu tersebut. Namun demikian merupakan pemikiran yang salah bila
menyebutkan bahwa hak negara di atas segala galanya.
Di sini konsep
kepemilikan dalam Islam juga berbeda dengan pemikiran kaum sosialis atau
komunis, dimana Islam mengakui hak milik pribadi sebagai sebuah gharizah
atau tabi`at manusia itu sendiri.[47]
Tujuan
hak milik negara (kepemilikan umum)
Kepemilikan umum bertujuan untuk
merealisasikan beberapa tujuan umum, diantaranya[48] :
a. Untuk memberikan kesempatan seluruh
manusia terhadap sumber kekayaan umum yang mempunyai manfaat sosial, baik yang
tergolong dalam kebutuhan primer maupun jenis kebutuhan lain dan diperluas bagi
masyarakat secara umum.
b. Jaminan pendapatan negara, dimana negara
menjaga hak-hak warganya dan bertanggungjawab atas berbagai kewajiban, dengan
menjauhkan dari munculnya bahaya dan kerugian terhadap masyarakat.
c. Pengembangan dan penyediaan semua jenis
pekerjaan produktif yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan.
d. Urgensi kerjasama antar negara dalam
usaha menciptakan kemakmuran bersama.
e. Intervensi harta untuk menciptakan
kemakmuran bersama.
Bidang
dan sumber kepemilikan umum
Sumber-sumber kepemilikan umum
berkisar pada :
a. Wakaf.
b. Proteksi, yang dilakukan pemerintah
terhadap tanah tak bertuan yang diperbolehkan bagi kepentingan umum.
c. Kebutuhan primer, menyangkut kebutuhan
pokok manusia.
d. Barang-barang tambang yang diperoleh
dari hasil eksplorasi.
e. Zakat.
f. Pajak, dalam konsep Islam, pajak
merupakan harta yang diambil dari kelompok masyarakat yang berada dibawah
perlindungan Islam.
g. Pajak bumi, merupakan harta yang
diwajibkan dan kemudian dibagikan pada waktu yang telah ditentukan atas tanah
yang dimiliki oleh masyarakat.
h. Seperlima harta rampasan perang.
i.
Harta
tak bertuan.
j.
Investasi
kepemilikan umum.
k. Sepersepuluh bagian harta[49].
Karakteristik kemasyarakatan dalam
kepemilikan pribadi menurut Islam
Sebagaimana
disimpulkan bahwa hak milik dalam Islam berbeda dengan sistem kapitalis dan
sosialis, unsur pembeda ini adalah karakteristik kepedulian sosial dalam sistem
kepemilikan Islam. Sistem sosialis yang meniadakan kepemilikan individu secara
total, jelas bisa mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak
dari sistem ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat, dan mematikan kiat
kreasi individu. Pada akhirnya sistem sosialis bisa mengancam peradaban
manusia, disamping mengancam perekonomian sendiri.[50]
Target
kepedulian sosial dalam ekonomi Islam dapat dilihat dengan jelas dari Al Quran,
yang membatasi dan memberikan ketentuan khusus berkaitan dengan lingkungannya,
serta sistem operasionalnya di masyarakat. Dalam Al Quran dijelaskan konsep
kekhalifahan manusia, yang berkaitan dengan hak milik dan pertanggungjawabannya
di depan Allah swt. Tiga hal yang membatasi kepemilikan pribadi dalam Islam
adalah[51] :
Pertama
: Pengendalian terhadap perilaku pemilik.
Pengendalian
perilaku pemilik ini berawal dari Hadits Nabi saw riwayat Hakim dari Abi Said
al-Khudriyyi : "لا
ضرر ولا ضرار"
Hadits ini merupakan landasan
syariah yang harus dilaksanakan, yang mana segala bentuk perilaku yang
merugikan orang lain hukumnya adalah haram. Artinya, sekalipun pemilik sendiri
dalam memanfaatkan hartanya harus tetap menjaga kaidah moral yaitu tidak
merugikan dirinya sendiri maupun pihak lain.
Kemudian muncul pertanyaan,
bagaimana hukum merugikan masyarakat yang diakibatkan dari perilaku pemilik
yang tidak mengindahkan kepentingan umum? Hadits di atas jelas melarang segala
bentuk kegiatan yang menimbulkan kerugian kepada kehidupan manusia, dan manusia
yang harus dilindungi dari kerugian ini adalah pemilik harta dan juga
masyarakat. Jika dalam kasus, yang terjadi tarik-menarik antara dua dimensi :
sisi pemilik yang harus berkorban atau sisi masyarakat, maka sesuai kaidah Fiqh
: menyelamatkan bahaya yang meluas lebih penting, "سد
الذرائع"Dengan
demikian, jika terdapat perilaku pemilik yang merugikan masyarakat, dan kalau
dihentikan proyeknya menyebabkan kerugian pada pemilik, maka kepentingan
masyarakat yang diutamakan. Pertimbangannya, jika masyarakat yang dirugikan,
maka bahaya bisa meluas dan lebih sulit diantisipasi. Disini perlu diingat
suatu kaidah Fiqh : kiat antisipasi dari kehancuran atau bahaya harus lebih
mendapat prioritas daripada pengembangan kesejahteraan, "درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح".
Maka dari itu, jika terjadi
pertentangan antara program perwujudan kesejahteraan masyarakat dengan kita
antisipasi kehancuran, maka yang yang harus mendapatkan prioritas dahulu adalah
kiat penanggulangan bahaya atau kehancuran.
Kedua
: kewajiban sosial yang dibebankan kepada pemilik harta.
Kewajiban
sosial berupa sumbangan yang yang harus dilakukan pemilik adalah membayar zakat
tiap tahunnya, yang diserahkan kepada mereka yang berhak (QS : At-Taubah : 60).
Zakat bukanlah satu-satunya sumbangan sosial yang wajib dalam tatanan Islam,
masih ada lagi pembayaran asuransi sosial dan dana penunjang program yang mirip
dengan zakat, dimana bentuk dan formatnya disesuaikan dengan kondisi dan
perubahan sosio kemasyrakatan (QS : Al-Baqarah : 215). Dalam penafsiran ayat
ini, bahwa kebaktian sosial dengan memberikan harta kepada kerabat, anak-anak
yatim, orang miskin dan musafir, ada diluar kewajiban zakat.
Ketiga
: pengambil alihan hak milik pribadi oleh negara dalam keadaan tertentu.
Hukum
dasar dalam kepemilikan adalah tidak sah diganggu gugat oleh pihak manapun
juga, oleh karena itu tidak dibenarkan segala tindakan yang tidak terpuji,
termasuk segala bentuk intervensi terhadap hak milik, tidak terkecuali dari
pemerintah. Pemerintah tidak dibenarkan melakukan penghinaan atau penyiksaan
terhadapa masyarakat menyangkut harta miliknya. Sebab kepemilikan individu
adalah hak yang sah, yang diakui oleh agama, oleh karena itu, siapapun
melakukan tindak kejahatan terhadap harta orang lain, maka akan dijatuhi sanksi
sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Sanksi hukum ini merupakan bentuk
perlindungan terhadap hak milik individu, tanpa penafian sedikitpun terhadap
prinsip peduli sosial masyarakat. Sebab terdapat kasus masalah, dimana hak
kepemilikan pribadi bisa dirampas, jika terdapat ancaman bahaya pada
kesejahteraan umum.
Dalam
Fiqh terdapat contoh pencabutan hak milik individu untuk kepentingan umum,
misalnya syuf`ah, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Nabi
Muhammad saw bersabda : “Pihak yang bertetangga lebih mempunyai hak syuf`ah”.
Syuf`ah inilah yang menjadi dalih sahnya pemerintah mengambil alih hak individu
untuk mewujudkan kesejahteran masyarakat. Sebagai contih, khalifah Umar pernah
mengambil secara paksa kepemilikan tanah di seputar Masjidil Haram, saat itu
Umar berkata : “Kalian ini menempati area milik Ka`bah, ini kan pelataran
Ka`bah, bukan sebaliknya : Ka`bah menempati area bumi kalian”.[52]
Dalam
literatur Fiqh, masih banyak lagi terdapat kasus dimana disahkan
pengambil-alihan hak milik, tanpa perlu persetujuan dari pemilik. Yang perlu
digaris-bawahi adalah, bahwa pengambil-alihan hak ini tidak boleh berdasarkan
motif atau sentimen pribadi penguasa. Pengambilan hak secara paksa tidak sampai
menggugurkan hak pemilik, pemilik mendapatkan ganti rugi yang adil, serta
pemilik mempunyai hak untuk mendapatkan keamanan dan terbebas dari praktik
kedzaliman penguasa.[53]
Kepemilikan
yang diperoleh secara benar dan telah dikeluarkan kewajiban kewajibannya
dijamin oleh agama, bahkan diwajibkan untuk selalu dijaga dari kejahatan orang
lain yang ingin menguasainya secara tidak sah. Legitimasi yang diberikan dalam
ajaran Islam tentang penjagaan harta setara dengan perjuangan yang harus
mengorbankan nyawa. Banyak hadits yang memformulasikan dengan ungkapan mati
syahid ketika orang yang berusaha mempertahankan hartanya meninggal.
Konsep yang bawa oleh
Imam as Syatibi dalam merumuskan kebutuhan primer (ad dharuriyaat)
termasuk di dalamnya adalah menjaga harta.[54]
Kewajiban melindungi harta benda bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi
merupakan kewajiban setiap individu baik terhadap muslim maupun non muslim.
Penutup
Implikasi
ajaran Islam terhadap kepemilikan sangat berpengaruh pada penggunaan,
distribusi dan konsumsi sebuah komoditas.[55]
Penggunaan kepemilikan sebagai sarana produksi tidak dapat dipergunakan secara
bebas terhadap obyek obyek usaha walaupun mendatangkan keuntungan secara riil.
Batasan penggunaan tersebut melihat pada konsep halal dan haram yang merupakan
doktrin mendasar pada ajaran Islam. Islam melarang penggunaan kepemilikan yang
dapat mengakibatkan kerusakan, membahayakan dan merugikan orang lain. Karena
hal tersebut bertentangan dengan konsep dasar pemanfaatan kepemilikan sebagai
wujud amanat dan khalifah Allah.[56]
Konsep
halal haram sebagai implementasi dari kepemilikan merupakan konsep yang sangat
mendasar bagi seorang muslim, dan sebagai etika bisnis yang membedakannya
dengan sistem lain. Hubungan antara kepemilikan dengan konsep halal haram
tersebut menempatkan bisnis bukan sekedar kegiatan dunia, tetapi merupakan
upaya dalam mempraktekkan ajaran yang berorientasi agama.
Secara substansif,
perbedaan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah masuknya nilai nilai
agama dalam setiap kegiatan ekonomi, dengan tidak membatasi unsur produktifitas
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Nilai nilai agama harus
dipahami bukan sebagai penghambat kegiatan perekonomian, tetapi lebih dipahami
sebagai kerangka dasar berpijak untuk mendapatkan barakah yang sekaligus
sebagai tatanan etika dalam usaha.
Konsep barakah
diidentikkan dengan sikap kepuasan batin dalam menjalankan kegiatan ekonomi
sesuai dengan ajaran agama, sehingga akan tercapai kemakmuran. Kesejahteraan
dalam Islam bukan hanya didasarkan pada akumulasi modal, uang dan barang
komoditas, tetapi lebih menekankan pada proses kegiatan ekonomi yang diawali
dengan sebuah i`tikad baik, perilaku dan tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam.
Daftar Pustaka :
Ad
Damuhiy, Hamzah al Jumai`iy, Al Iqtishad fi al Islam, Kairo, Dar al
Anshar, 1979.
Ahmad,
Abdurrahman Yusri, Dirasaat fi `Ilmi al Iqtishad al Islamiy, Mesir, Ad
Dar al Jami`iyah,
2001.
Al
Abbadi, Abdus Salam Dawud Muhammad, Al Milkiyyah fi as Syari`ah al
Islamiyah, thabi`atuha wa wadzifatuha wa quyuduha, dirasah muqaranah bi al
qawanin wa an nudzum al wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar Risalah, 2000.
Al
Khafif, Ali, Al Milkiyyah fi as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as
Syarai` al wadh`iyyah, Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996.
Al
Mawardiy, Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam as Sulthaniyah
wa al wilayat al diniyyah, Kairo, Dar al Wafa, 1989.
Al
Salus, Ali Ahmad, Al Iqtishad al Islamiy wa al qadhaaya al fiqhiyah al
mu`ashirah, Kairo,
Dar
al Taqwa li an nasyr wa al tauzi`, 1998.
An
Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam : pilihan setelah kegagalan sistem
Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press,
Yogyakarta, 2000.
Anwar,
Prof. Dr. Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah : studi tentang teori akad dalam
Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
As
Sadr, Muhammad Baqir, Iqtishaaduna, Dar al Kitab al Islamiy, tt.
As
Syatibiy, Ibrahim bin Musa bin Muhammad Abu Ishaq, Al Muwafaqaat fi Ushul as Syari`ah,
Mesir, Ar Rahmaniyah, tt.
At-Tariqi,
Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam : prinsip, dasar dan tujuan,
Magistra Insania Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, September 2004.
Az
Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus, Dar al
Fikr, cetakan ke-4, 2004.
Chapra,
Dr. M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi : sebuah tinjauan Islam (penerjemah
: Ikhwan Abidin Basri), Jakarta, Gema Insani Press, 2001.
Durant,
Will, Qishshatu al Hadharah, tarjamah Muhammad Badran, Maktabah al
Usrah, Kairo, 2001.
Hanafi,
Syafiq M, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme : relevansi ajaran agama
Islam dalam aktivitas ekonomi, Cakrawala, Maret 2007.
Harahap,
Sofyan Syafri, Menuju Perumusan Teori Akutansi Islam, Pustaka Quantum,
Jakarta, 2005.
Ibnu
Khaldun, Abdurrahman bin Muhammad, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Mesir,
Maktabah Al
Taufiqiyah, tt.
Islahi,
Dr. A. A, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, penerjemah H. Anshari Thayib,
Surabaya, Bina Ilmu, 1997.
Metwally,
Prof. Dr. M. M, Teori dan Model Ekonomi Islam, pengantar dan penerjemah
: M. Husein Sawit, SE. Ph. D, Bangkit Daya Insana, tt.
Qal`ahjiy,
Muhammad Rawwas, Al Mausu`ah al Fiqhiyah al Muyassarah, Dar an Nafais, tt.
Sirriy,
Hasan, Al Iqtishad al Islamiy : mabadi wa khashais wa ahdaf, Markaz al
Iskandariyah li al kitab, 1998.
[1] Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam
& Kapitalisme : relevansi ajaran agama Islam dalam aktivitas ekonomi,
Cakrawala, Maret 2007, h : 73
[2] Dr. Wahbah az Zuhaili membagi teori teori
fiqh menjadi 5 yaitu : teori hak (nadzariyyatu al haq), harta benda (al
amwal), kepemilikan (al milkiyyah), teori perikatan (nadzariyyatu
al `aqd), hukum syariah (al muayyidat as syar`iyyah), dan teori
pembatalan (nadzariyyat al faskh). Lihat Dr. Wahbah az Zuhaili, Al
Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damaskus, 1984, cet. Ke-4,
Jilid 4, h : 2833
[3] Secara teologis kepemilikan
dengan melihat Allah sebagai sentral dan manusia sebagai makhluk-Nya, dibagi
menjadi 2 : a. Kepemilikan absolut (milkiyyatu al azal) yaitu Allah yang
mempunyai kekuasaan penuh atas segala ciptaan-Nya termasuk manusia. Sedangkan
yang b. Kepemilikan relatif atau titipan (milkiyyatu al istikhlaf wa amanah)
yaitu kepemilikan yang dimiliki manusia sebagai amanat dari Allah. Hasan
Sirriy, Al Iqtishad al Islamiy : mabadi wa khashais wa ahdaf, Markaz al
Iskandariyah li al kitab, 1998, h : 76
[4] Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah
Ibnu Khaldun, al Maktabah al Taufiqiyah, h : 44
[5] M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam
: pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa :
Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000, h : 41
[6] Will Durant, Qishshatu al
Hadharah, tarjamah Muhammad Badran, Maktabah al Usrah, Kairo, 2001, jilid
5, h : 374
[7] Gray, S. A and Thomson, A, The
Development of Economic Doctrin, (New York : Longman, Inc. 1980, edisi
kedua), h : 28, dikutip dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah,
penerjemah H. Anshari Thayib, Surabaya, Bina Ilmu, 1997, h : 130
[8] Austin, John (1790-1859), Lecture
on Jurisprudence : or The Philosopy of Positive Law, editor Campbell,
Robert, (edisi kelima, revisi, London : J. Murray, 1911), Vol. 2, h : 790,
dikutip dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 131
[11] Jowett, Benjamin, Politics
(terjemahan), Buku II (dicetak ulang pada Early Economic Thought, editor
Monroe, A. E, Cambridge : Harvard University Press, 1965), h : 24-25, dikutip
dari Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi..., h : 132
[13] Dr. M. Umer Chapra, Masa Depan
Ilmu Ekonomi : sebuah tinjauan Islam (penerjemah : Ikhwan Abidin Basri),
Jakarta, Gema Insani Press, 2001, h : 17
[14] Menurut Lock, manusia mempunyai 3
hak kodrat yaitu : hak hidup, kebebasan dan hak milik. Hak milik dapat
diperoleh melalui bekerja, sehingga pekerjaan menjadi legitimasi dari setiap
hak milik. Batas hak milik yang dapat diperoleh dari alam adalah sejumlah yang
dapat dikonsumsi oleh manusia beserta keluarga dan temannya. Syafiq M. Hanafi, Sistem
Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 82
[15] Adam Smith, Lectures on
Jurisprudence, dikutip dari Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam &
Kapitalisme..., h : 83
[18] Karl Marx and Frederick Engels, The
Communist Manifesto, (Harmonsworth : Penguin Books, 1974), p : 96, dikutip dari Syafiq M. Hanafi, Sistem
Ekonomi Islam & Kapitalisme..., h : 83
[20] Lihat Muhammad Zarqa, Al-Fiqh
al `Am, jilid 1 hal : 258 dalam M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi
Islam, ibid, hal : 42-43
[30] Ali al Khafif, Al Milkiyyah fi
as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as Syarai` al wadh`iyyah,
Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996, h : 18-20
[34] Kewenangan
negara dalam membatasi hak milik individu ini, biasanya dibagi berdasrkan 3
kondisi : a. Menjaga keselamatan negara dari ancaman luar, b. Menjaga keamanan
dalam negeri, dan c. Merealisasikan prinsip keadilan dalam masyarakat. Lebih
lanjut lihat Abdus Salam Dawud Muhamad al `Abbadiy, Al Milkiyyah fi as
Syari`ah al Islamiyah, thabi`atuha wa wadzifatuha wa quyuduha, dirasah
muqaranah bi al qawanin wa an nudzum al wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar
Risalah, 2000, jilid 2, h : 275
[37] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi
Islam : prinsip, dasar dan tujuan, Magistra Insania Press, Yogyakarta,
2004, hal : 85
[43] ibid, h : 143
[46] Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al
Mawardi, Al Ahkam as Sulthaniyah wa al wilayat al diniyyah, Kairo, Dar
al Wafa, 1989, h : 3
[49] Ibid, hal : 68-83
[54] Ibrahim bin Musa bin Muhammad Abu Ishaq as
Syatibi, Al Muwafaqaat fi Ushul as Syari`ah, Mesir, Ar Rahmaniyah, tt, h
: 8
Tugas Makalah
BalasHapusTugas Makalah
Tugas Makalah
Tugas Makalah
kunjungin juga ne gan untuk makalah islam masih ada disini juga lengkap dengan daftar pustakanya..
BalasHapushttp://fiqhmuamalah1.blogspot.com/2012/04/konsep-hak-milik-dalam-islam.html