TEORI
UNCERTAINTY (KETIDAKPASTIAN) DALAM KEUANGAN ISLAM
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
Ekonomi Islam bertujuan mewujudkan
tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan memaksimalkan kesejahteraan
manusia (falah). Falah berarti terpenuhinya kebutuhan individu
masyarakat dengan tidak mengabaikan keseimbangan kepentingan sosial,
keseimbangan ekologi dan tetap memperhatikan nilai-nilai keluarga dan
norma-norma dalam masyarakat.[1]
Sebagai konsekuensinya, diperlukan sejumlah etika pokok dalam ekonomi sehingga falah
itu terwujud. Etika-etika pokok tersebut adalah[2]
: Kesatuan (Tauhid), Keseimbangan/Kesejajaran (Equilibrium), Kehendak
Bebas (Free Will) dan Tanggung-jawab (Responsibility).
Sistem
keuangan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai
kesejahteraan masyarakat. Penghapusan prinsip bunga dalam sistem keuangan Islam
memiliki dampak makro yang cukup signifikan, karena bukan hanya prinsip
investasi langsung saja yang harus bebas dari bunga, namun prinsip investasi
tak langsung juga harus bebas dari bunga. Perbankan sebagai lembaga keuangan
utama dalam sistem keuangan dewasa ini tidak hanya berperan sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediary), namun juga sebagai industri
penyedia jasa keuangan (financial industry), dan instrumen kebijakan moneter
yang utama.[3]
Sistem
keuangan Islam, dengan prinsip bagi hasil sebagai pengganti prinsip bunga,
menempatkan perbankan tidak hanya sebagai lembaga intermediasi keuangan, tetapi
lebih pada lembaga intermediasi investasi (investment intermediary). Hal
ini disebabkan karena hubungan antara bank Islam dengan nasabah lebih dominan
pada hubungan pemodal-pengusaha atau modal ventura daripada kreditur-debitur.
Oleh karenanya, sistem keuangan Islam yang ideal akan ditandai oleh sinergi
antara sektor keuangan dan sektor riil. Melemahnya produktivitas sektor riil
akan secara langsung dirasakan pula oleh sektor keuangan karena bagi hasil yang
akan diterima oleh perbankan akan menurun. Begitu juga, bagi hasil yang akan
diberikan oleh perbankan Islam kepada pemodal juga akan menurun.
Sebaliknya,
jika sektor riil mengalami peningkatan produksi, maka dampaknya akan langsung
dirasakan oleh sektor keuangan. Dengan demikian, jika sistem bagi hasil ini
dapat berjalan dengan efisien, maka pertumbuhan ekonomi semu tidak akan terjadi
dan investasi akan menuju pada proyek-proyek yang profitable. Tentunya hal ini
akan terwujud jika sistem ekonomi didukung oleh budaya masyarakat dan sistem
legal serta administrasi yang sesuai dengan syariah Islam.
Masalah Kajian
Rumusan
masalah yang akan dibahas dapat digambarkan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut
ini :
1. Apa yang
dimaksud dengan teori uncertainty dalam sistem keuangan Islam?
2. Dalam
ruang lingkup apa saja uncertainty dapat terjadi?
Sistem Keuangan Islam
Sebelum
kita membahas teori uncertainty dalam keuangan Islam, akan kita bahas
lebih dulu secara singkat sebagai pengantar sistem keuangan dalam Islam.
Keuangan
Islam adalah sebuah sistem yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta dari
penafsiran para ulama terhadap sumber-sumber wahyu tersebut. Dalam berbagai
bentuknya, struktur keuangan Islam telah menjadi sebuah peradaban yang tidak
berubah selama empat belas abad. Selama tiga dasawarsa terakhir, struktur
keuangan Islam telah tampil sebagai salah satu implementasi modern dari sistem
hukum Islam yang paling penting dan berhasil, dan sebagai ujicoba bagi
pembaruan dan perkembangan hukum Islam pada masa mendatang.
Meskipun
demikian, keuangan Islam tetap menimbulkan berbagai kesalahpahaman di kalangan
orang Islam sendiri maupun di kalangan non-muslim. Misalnya, umum diketahui
bahwa keuangan Islam melarang pengenaan bunga terhadap dana pinjaman, namun
hukum Islam sebenarnya tidak menolak gagasan tentang nilai waktu dalam uang (time
value of money).[4]
Misalnya :
·
Jika uang dipercayakan kepada pihak
lain untuk digunakan selama jangka waktu tertentu, maka besarnya imbalan atas
pembiayaan tersebut tidak boleh ditetapkan di muka berdasarkan persetujuan
pihak lain terhadap kontrak tersebut. Sebagai gantinya, imbalan tersebut
haruslah merupakan bagi hasil dari keuntungan riil usaha tersebut. Uang tidak
diperlakukan sebagai komoditas, sebagaimana di ekonomi konvensional, namun uang
sebagai pembawa resiko sehingga tunduk pada ketidakpastian yang sama dengan
ketidakpastian yang dihadapi oleh mitra lain dalam usaha tersebut.
Dengan
mempertimbangkan cara-cara perolehan imbalan secara sah atas pembiayaan di
atas, istilah keuntungan perbankan (profit banking) merupakan cara yang
sangat membantu untuk menjelaskan sistem perluasan kredit dalam dunia Islam.
Aturan-aturan Islam memperbolehkan kegiatan bisnis untuk memanfaatkan kredit
dan tidak menetapkan bahwa semua kegiatan bisnis harus dibiayai sepenuhnya
dengan modal sendiri.[5]
Sistem
keuangan Islam bertujuan untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada
komunitas muslim, disamping itu juga diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang layak bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya adalah
kesejahteraan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan, kekayaan yang
wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi serta investasi tabungan untuk
pembangunan ekonomi yang mampu
memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil) kepada semua pihak yang terlibat.[6]
Tampaknya,
dimensi religius harus dikemukakan sebagai tujuan terakhir, dalam arti bahwa
peluang untuk melakukan operasi keuangan yang halal jauh lebih penting
dibanding model operasi keuangan itu sendiri. Validitas tujuan-tujuan umum ini
jarang dipersoalkan, namun tak pernah ada kesepakatan tentang struktur ideal
sistem keuangan yang diperlukan untuk mencapai semua tujuan tersebut.[7]
Dari
perspektif Islam, tujuan utama perbankan dan keuangan Islam dapat disimpulkan
sebagai berikut [8] :
a.
Penghapusan bunga dari semua
transaksi keuangan dan pembaruan semua aktivitas bank agar sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.
b.
Distribusi pendapatan dan kekayaan
yang wajar.
c.
Kemajuan dalam bidang pembangunan
ekonomi.
Struktur Ideal Sistem
Keuangan Islam
Literatur
ekonomi Islam mengungkapkan dua model sistem keuangan yang Islami. Salah
satunya diajukan oleh M. Umer Chapra (1985) dan M. Nejatullah Shiddiqi (1983),
sedangkan yang kedua dikemukakan oleh Abdul Halim Ismail (1986). Mereka berbeda
pendapat mengenai perilaku apa yang mestinya ditunjukkan oleh institusi model
masing-masing.[9]
Chapra
mengajukan sebuah sistem yang meliputi beberapa institusi berikut : Bank Sentral,
Bank Komersial, Lembaga Keuangan Non-Bank, Lembaga Kredit Khusus, Korporasi Asuransi
Deposito, dan Korporasi Audit Investasi. Sekilas, struktur ini tidak ada
bedanya dengan struktur sistem keuangan konvensional. Namun Chapra melihat ada
beberapa perbedaan dalam fungsi, ruang lingkup, dan tanggung jawab setiap
institusi. Tiap-tiap institusi dianggap sebagai komponen penting dari suatu
sistem integral yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.[10]
Ciri
utama model keuangan Islam yang dikemukakan Chapra adalah penyebaran tanggung
jawab kesejahteraan sosial dan kepentingan agama ke seluruh komponen sistem
keuangan, dari mulai Bank Sentral sampai fungsi obyektif agen-agen keuangan
Islam.
Penulis
lain yang mengajukan kerangka alternatif bagi sistem keuangan Islam adalah
Abdul Halim Ismail (1986), yang mengusulkan pembagian tanggung jawab yang lebih
cermat. Ia membuat sketsa sistem ekonomi Islam yang terdiri dari tiga sektor :
yaitu sektor politik (pemerintah), yang meliputi dana publik dan Bank Sentral,
sektor sosial, yang bertanggung jawab atas administrasi pajak, dan sektor
komersial, yang meliputi semua aktivitas komersial swasta. Setiap sektor
memiliki beragam bentuk lembaga, yang semuanya bekerja mengikuti prinsip umum
syariah dalam operasi-operasi tertentu. Sistem keuangan Islam menopang
lembaga-lembaga ketiga sektor tersebut.
Menurut
sketsa Ismail, bank-bank komersial Islam jelas termasuk dalam sektor komersial,
tanggung jawab mereka dengan demikian terbatas pada aktivitas-aktivitas
komersial. Mereka tidak dibebani tugas untuk menjamin distribusi pendapatan
yang wajar, karena hal itu merupakan tugas pemerintah. Demikian juga
pengumpulan dan distribusi pajak bukan menjadi tugas bank komersial, melainkan
menjadi tanggung jawab lembaga sosial.
Dengan
demikian, kita melihat ada perbedaan penting antara kedua model tersebut.
Menurut Chapra tiap-tiap lembaga dalam sistem ekonomi Islam bertanggung jawab
memenuhi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial secara umum, kadang-kadang dengan
mengorbankan profitabilitas individu. Konsekuensinya, sistem keuangan Islam
lebih memilih proyek-proyek yang secara sosial menguntungkan, meskipun tidak
demikian secara ekonomi.
Sebaliknya,
menurut model Ismail, bank-bank Islam adalah lembaga komersial yang bertanggung
jawab terutama kepada para pemegang saham dan deposan, mereka melayani
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, memperbesar laba dan
pendapatan, serta distribusi zakat. Akibat yang mungkin muncul dari perbedaan
kedua pendekatan ini adalah bahwa setiap bank dalam masing-masing model akan
menetapkan cara-cara operasi yang berbeda satu sama lain. Meskipun perangkat
operasi dan praktik pendanaan yang sah itu merupakan hal yang lazim untuk kedua
keadaan dan berlaku bagi semua lembaga Islam, beberapa aktivitas bisa jadi
lebih disukai daripada aktivitas lainnya, tergantung pada tujuannya. Karena
itu, penelitian tentang kerja yang sesungguhnya dari praktik bank Islam harus
dikaji seraya memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut.[11]
Teori Uncertainty
dalam Keuangan Islam
Uncertainty
adalah sebuah kondisi dimana terdapat kemungkinan munculnya hasil yang lebih
dari satu, tetapi probabilitas masing-masing hasil tersebut tidak diketahui
besarnya. Ada perbedaan antara uncertainty dengan risiko, karena risiko
mengacu pada situasi dimana kita dapat merinci semua hasil yang akan muncul
beserta masing-masing probabilitasnya, sementara dalam uncertainty
probabilitas dari hasil tersebut tidak diketahui besarnya.[12]
Namun
dalam beberapa hal, istilah uncertainty dan risiko secara bergantian digunakan
untuk maksud yang sama. Istilah uncertainty sering diterjemahkan dari kata
Bahasa Arab taghrir (غرر – تغرير), yang berarti : akibat, bencana, bahaya,
risiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah Fiqih Mu`amalat, taghrir
berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi,
atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko,
tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa
memikirkan konsekuensinya.[13]
الغرر لغةً : الخطر
الغرر اصطلاحاً :
ما يكون مجهولَ العاقبةِ لا يدري أيكون أم لا...(التعريفات للجرجاني)
وقيل : ما له ظاهر
تُؤْثِره، وباطن تكرهه، فظاهره يغر المشتري، وباطنه مجهول (جامع الأصول في أحاديث
الرسول صلى الله عليه وسلم : 1/527-528)
وأعم من هذا
التعريف أن يقال : كل بيع كان المعقود عليه فيه مجهولا، أو معجوزا عنه، غير مقدور
عليه فهو غرر (شرح السنة للبغوي : 8/132).[14]
Taghrir sama seperti tadlis,
keduanya terjadi karena adanya incomplete information. Namun berbeda
dengan tadlis, dimana incomplete information ini hanya dialami
oleh satu pihak saja (unknown to one party, misalnya pembeli saja atau
penjual saja), sementara dalam taghrir, incomplete information
ini dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli maupun penjual). Karena itu
kasus taghrir terjadi bila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan
kedua belah pihak (uncertain to both parties).
Dalam ilmu ekonomi, taghrir
lebih dikenal sebagai ketidakpastian (uncertainty) atau risiko. Dalam
situasi kepastian (certainty), hanya ada satu hasil atau kejadian yang
akan muncul dengan probabilitas sebesar 1, (probabilitas mengacu pada besarnya
kemungkinan suatu kejadian akan muncul). Di pihak lain, dalam situasi
ketidakpastian (uncertainty), ada lebih dari satu hasil atau kejadian
yang mungkin akan muncul dengan probabilitas yang berbeda-beda. Dengan demikian
terjadi distribusi probabilitas, seperti dalam gambar berikut ini[15] :
Gambar
Kepastian : Hasil Tunggal, A (Single Outcome)
Probabilitas
1,0
0,0 A Hasil
|
Sumbu vertikal menyatakan besaran
probabilitas, sedangkan sumbu horizontal menyatakan hasil kejadian. Gambar ini
memperlihatkan situasi kepastian (certainty), dimana hanya ada satu
kejadian yang muncul (yaitu A), dengan probabilitas sebesar 1, dengan demikian
kita mengetahui bahwa kejadian A pasti akan muncul.
Gambar
Ketidakpastian : Hasil Lebih Dari Satu, A, B dan C (multiple)
Probabilitas
0,5
0,25
Hasil
0,0
A B C
|
Gambar ini memperlihatkan situasi
ketidakpastian (uncertainty), dimana terdapat tiga hasil yang mungkin
akan muncul, yakni : A, B dan C. Tiga hasil tersebut memiliki kemungkinan
muncul yang berbeda-beda, kemungkinan A muncul adalah 0,25, B muncul adalah
0,5, sedangkan C muncul adalah 0,25. Jumlah masing-masing probabilitas tersebut
adalah 1.[16]
Macam-macam
taghrir
Sebagaimana tadlis, taghrir
terjadi dalam empat bentuk[17] :
1.
Taghrir
dalam kuantitas. Contohnya adalah sistem ijon, dimana
seorang petani sepakat untuk menjual hasil panennya (misalnya beras dengan
kualitas A) kepada tengkulak dengan harga Rp. 750.000,00 padahal pada waktu
kesepakatan dilakukan, tanaman padi petani belum dapat dipanen. Dengan
demikian, kesepakatan jual beli dilakukan tanpa menyebutkan spesifikasi
mengenai berapa kuantitas yang dijual (berapa ton, berapa kuintal), padahal
harga sudah ditetapkan. Maka terjadi ketidakpastian dalam hal ini, menyangkut
kuantitas barang obyek transaksi.
2.
Taghrir
dalam kualitas. Contohnya adalah menjual anak sapi yang masih dalam kandungan
induknya. Penjual sepakat untuk menyerahkan anak sapi tersebut segera setelah
lahir, seharga Rp. 1.000.000,00. Dalam hal ini, baik penjual maupun pembeli
tidak dapat memastikan kondisi fisik anak sapi tersebut bila sudah lahir.
Apakah akan lahir normal, atau cacat, atau bahkan lahir dalam keadaan mati.
Dengan demikian terjadi ketidakpastian menyangkut kualitas barang obyek
transaksi.
3.
Taghrir
dalam harga. Contohnya adalah seorang penjual menyatakan bahwa ia akan menjual
satu unit panci merk A seharga Rp. 10.000,00 bila dibayar tunai, atau Rp.
50.000,00 bila dibayar dengan kredit selama 5 bulan, kemudian pembeli setuju.
Ketidakpastian muncul karena adanya dua harga dalam satu akad, tidak jelas
harga mana yang berlaku, Rp. 10.000,00 atau Rp. 50.000,00. Misalkan ada pembeli
yang membayar lunas pada bulan ke-3, berapa harga yang berlaku? Bagaimana
menentukan harga bila dibayar lunas sehari sebelum akhir bulan ke-5?. Dalam
kasus ini, walaupun kuantitas dan kualitas barang sudah ditentukan, tetapi
terjadi ketidakpastian dalam harga barang, karena penjual dan pembeli tidak
menyepakati satu harga tertentu dalam akad.
4.
Taghrir
menyangkut waktu penyerahan. Contoh : Samir kehilangan sepeda motor Suzuki
Shogun-125-nya, Ali kebetulan sudah lama ingin memiliki motor seperti milik
Samir, dan karenanya ingin membelinya. Akhirnya Samir dan Ali membuat
kesepakatan untuk menjual motor tersebut seharga Rp. 8.000.000,00, sedangkan
harga pasaran motor tersebut adalah Rp.13.000.000,00. Motor tersebut akan
diserahkan kepada Ali segera setelah ditemukan. Dalam contoh ini terjadi
ketidakpastian menyangkut waktu penyerahan barang, karena barang yang dijual
tidak diketahui keberadaannya. Mungkin motor tersebut akan ditemukan 1 bulan
lagi, 1 tahun lagi, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan sama sekali.
Ruanglingkup
Teori Uncertainty dalam Keuangan Islam
Gambar teori ketidakpastian[18] :
UnUn
|
Secara umum, ketidakpastian dapat
terjadi pada empat hal, yaitu : dalam pertukaran, dalam hasil permainan, dalam
bisnis atau investasi, dan dalam risiko murni.[19]
1.
Ketidakpastian
dalam Pertukaran
Berdasarkan tingkat kepastian dari
hasil yang diperolehnya, akad/kontrak dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu[20] :
a.
Natural
Certainty Contracs
b.
Natural
Uncertainty Contracs.
Natural Certainty Contracs
adalah akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi
jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Cash flow-nya
bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah
pihak yang bertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara `sunnatullah`
(by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti, jadi
sifatnya fixed and predetermined. Obyek pertukarannya (baik barang
maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik dari segi
kuantitasnya, kualitasnya, harganya dan waktu penyerahannya. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah : kontrak jual beli, upah mengupah, sewa menyewa dan
lain-lain.
Dalam kontrak jenis ini, pihak-pihak
yang bertransaksi saling bertukar asetnya (baik real assets maupun financial
assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri dan tidak saling
bercampur membentuk usaha baru, sehingga tidak terjadi penanggungan risiko
bersama. Misalnya A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B
menyerahkan uang ke A, di sini barang ditukar dengan uang, sehingga terjadi
kontrak jual-beli. Kontrak-kontrak natural certainty ini dapat
dijelaskan dengan sebuah teori umum yang diberi nama teori pertukaran (the
theory of exchange).
Di lain pihak, natural
uncertainty contracs adalah akad dalam bisnis yang tidak memberikan
kepastian return (pendapatan), baik dari segi jumlah maupun waktunya.
Tingkat return-nya bisa positif, negatif, atau nol. Yang termasuk dalam
kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi, karena kontrak-kontrak investasi
secara sunnatullah (by their nature) tidak menawarkan return
yang tetap dan pasti, maka sifatnya tidak fixed and predetermined. Dalam
kontrak jenis ini, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan,
dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuantungan. Di
sini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Natural uncertainty
contracs ini juga dapat dijelaskan oleh teori umum yang disebut teori
percampuran (the theory of venture).
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa karakter kontrak pertukaran adalah memberikan kepastian, baik dari segi
jumlah maupun waktu. Maka jika di dalamnya mengandung aksi spekulasi, suatu
pertukaran akan menghasilkan ketidakpastian, karena akan menghasilkan tiga
kemungkinan, yaitu : untung, rugi, dan tidak untung dan tidak rugi (impas).
Ketidakpastian yang timbul dari aksi spekulasi dalam suatu pertukaran inilah
yang disebut dengan taghrir (gharar)
dan dilarang dalam Islam.
2.
Ketidakpastian
dalam permainan.
Permainan dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga hal, yaitu : permainan peluang, permainan ketangkasan dan permainan
atas suatu peristiwa alamiah. Dalam ketiga permainan tersebut, faktor
ketidakpastian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, dengan kata lain,
pada dasarnya suatu permainan akan selalu memberikan ketidakpastian : menang,
kalah, atau bahkan seri (draw). Jika mengandung zero sum game,
yaitu salah satu pihak harus menanggung kerugian material, sementara pihak yang
lainnya memperoleh keuntungan, permainan tersebut dikategorikan sebagai
tindakan perjudian (maysir), yang dilarang dalam Islam. Adapun jika
tidak ada satu pihak yang dirugikan secara material (non-zero sum game),
permainan tersebut diperbolehkan dalam Islam, dan pemberian yang diberikan
kepada pemenang dikategorikan sebagai hadiah.
3.
Ketidakpastian
dalam bisnis atau investasi.
Bisnis atau
investasi pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang tidak bisa terlepas
dari suatu ketidakpastian (uncertainty contracs). Dalam kerja sama
bisnis atau investasi, para pelaku pasti akan menghadapi salah satu dari tiga
kemungkinan yang ada, yaitu : untung, rugi, dan tidak untung dan tidak rugi.
Jika keuntungaan atau kerugian dari aktivitas bisnis atau investasi ini sejak
awal ditetapkan hanya ditanggung oleh salah satu pihak, aktivitas ini dapat
dikategorikan sebagai aktivitas ribawi, karena memperlakukan suatu
kontrak yang berkarakter tidak pasti (uncertainty contracs) menjadi
pasti (certainty contracs), dan dilarang oleh Islam. Namun jika kedua
belah pihak bersepakat sejak awal untuk melakukan sharing terhadap
risiko dan keuntungan, maka aktivitas bisnis ini sah dan diperbolehkan oleh
Islam.
4.
Ketidakpastian
dalam risiko murni.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia
akan menghadapi berbagai risiko murni. Risiko-risiko tersebut bersifat tidak
pasti, bisa menimpa manusia, bisa juga tidak. Dengan demikian, outcome
dari ketidakpastian risiko ini adalah hanya loss atau no loss,
dan tidak ada profit. Orang yang bepergian ke suatu daerah misalnya,
hanya akan menghadapi dua kemungkinan risiko : selamat sampai tujuan atau
tidak. Jika selamat, dia tidak memperoleh keuntungan, tetapi hanya terhindar
dari musibah (no loss). Sebaliknya, jika tidak bisa berhasil selamat
sampai tujuan atau tertimpa kecelakaan, berarti dia menderita kerugian (loss).
Dalam menghadapi risiko ini, manusia dapat menanggungnya secara individual dan
dapat pula secara bersama-sama. Dalam hal menanggung risiko secara
bersama-sama, mereka dapat melakukan kerjasama yang bersifat saling menolong
(non-komersial), yaitu setiap individu mendonasikan dananya (tabarru`)untuk
digunakan membantu diantara mereka yang tertimpa musibah.[21]
Kepastian
dan Ketidakpastian dalam Akad-Akad Bank Syariah
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa
dalam Natural Certainty Contracs (NCC), kedua belah pihak saling
mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu obyek pertukarannya (baik
barang maupun jasa) harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya
(quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu
penyerahannya (time of delivery). Dengan demikian kontrak-kontrak ini
secara alamiah (sunnatullah) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual beli, upah mengupah,
sewa menyewa, dan lain-lain yaitu sebagai berikut :
A.
Akad
Jual-Beli
Dalam akad jual-beli, pihak-pihak
yang bertransaksi saling menukarkan asetnya (baik real assets maupun financial
assets). Maka masing-masing pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling
bercampur untuk membentuk usaha baru), sehingga tidak ada penanggungan risiko
bersama, dan tidak ada percampuran aset dari kedua belah pihak. A menyerahkan
barang ke B, sementara B menggantinya dengan meyerahkan uang kepada A, barang
ditukar dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (bai`). Pada
dasarnya ada lima bentuk akad jual-beli, yaitu :
1.
Al-Bai`
Naqdan
2.
Al-Bai`
Muajjalan
3.
Al-Bai`
Taqshitan (bit taqshit)
4.
Salam
5.
Istishna`
B.
Akad
Sewa-Menyewa
Ada dua macam akad sewa-menyewa
yaitu :
1.
Ijarah
2.
Ijarah
Muntahiyah bit-tamlik.
Sementara dalam Natural
Uncertainty Contracs (NUC), pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan
asetnya (real assets atau financial assets) menjadi satu
kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan. Di sini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama, oleh karena itu
jenis kontrak ini tidak memberikan kepastian return, baik dari segi
jumlah maupun waktunya. Yang termasuk dalam kontrak-kontrak ini adalah kontrak
investasi, dimana investasi secara alamiah `sunnatullah`, tidak
menawarkan return yang tetap dan pasti, maka sifatnya tidak fixed and
predetermined.
Contoh-contoh Natural Uncertainty
Contracs adalah :
1.
Musyarakah
(syirkah : wujuh, `inan, abdan, mufawadhah dan mudharabah)
2.
Muzara`ah
3.
Musaqah
Kesimpulan
Dalam hukum syariah, ada dua macam
kaidah, yaitu dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah, kaidah hukum yang
berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya dalam
Al-Quran atau Sunnah. Sedangkan dalam muamalah, semua hal diperbolehkan kecuali
ada dalil yang melarangnya. Hal ini berarti ketika ada suatu transaksi baru
yang muncul, dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi
tersebut dianggap dapat diterima, kecuali bila terdapat implikasi dari Al-Quran
dan Sunnah yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian untuk
mengidentifikasi transaksi-transaksi yang dilarang oleh Islam, dapat
dikelompokkan menjadi tiga faktor sebagai berikut :
1.
Haram
dzat atau barangnya (haram li-dzatihi), meliputi :
·
Babi
·
Minuman
keras
·
Bangkai
·
Darah
2.
Haram
selain dzatnya (haram li-ghairihi), mencakup :
·
Tadlis
·
Taghrir
(Gharar)
·
Ihtikar
(monopoli)
·
Bai`
Najasy
·
Riba
·
Maysir
·
Risywah
(suap-menyuap).
3.
Tidak
sah (lengkap) akadnya, mencakup :
·
Rukun
dan syaratnya tidak terpenuhi
·
Terjadi
ta`alluq atau ketergantungan suatu akad dengan akad yang lain
·
Terjadi
“two in one”.[23]
Dalam mengidentifikasi transaksi
yang diharamkan oleh Islam, ada pula beberapa pengelompokan yang berdasarkan
jual-beli ghara (bai` gharar), yaitu diantaranya :
1.
Bai`
al-Mulamasah, yaitu model jual beli tanpa
menyaksikan obyek akadnya, akan tetapi hanya menyentuhnya atau memegangnya
saja, maka begitu pembeli menyentuh barang, jual-beli pun terjadi.
2.
Bai`
al-Munabadzah, yaitu jual-beli dengan cara
melempar barang, jika seorang penjual melempar barangnya kepada pembeli, maka
akad jual beli terjadi.
3.
Bai`
al-Hashat, yaitu jual-beli dengan cara
melempar batu kecil atau kerikil, jual-beli ini lazimnya terjadi bila obyek
akadnya adalah tanah, penjual mengatakan kepada pembeli bahwa sejauh mana
lemparan kerikil dia, maka tanah tersebut menjadi milik pembeli (yang melempar
kerikil).
4.
Bai`
al-Muzabanah, adalah jual-beli buah-buahan
(kurma atau anggur) yang masih berada dalam pohonnya, dijual untuk memperoleh
kurma atau anggur kering.
5.
Bai`
al-Muhaqhalah, adalah menjual tanaman (gandum
misalnya) yang masih belum dipanen, untuk memperoleh atau ditukar dengan hasil
panenan yang sudah kering.
6.
Bai`
dharbati al-Qanish, yaitu seseorang yang menjual
hasil buruan atau hasil memancing ikan yang belum diketahui dengan pasti
hasilnya.
7.
Bai`
dharbati al-Ghaish, adalah seorang penyelam yang
menjual barang yang ada di dalam lautan, tetapi belum diambil.
8.
Bai`
an-Najis wa al-Mutanajjis, yaitu semua obyek
jual-beli yang termasuk dalam kategori haram dzatnya.[24]
Daftar
Pustaka :
Adiwarman
A. Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press,
Jakarta, Cetakan Ketiga, Maret 2007.
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo & Nastangin,
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Agus
Sartono, Manajemen Keuangan : Teori dan Aplikasi, Bpfe, Yogyakarta,
Edisi Keempat, Maret, 2001.
Ahmad
Hasan, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam,
Penerjemah : Saifurrahman barito dan Zulfikar Ali, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Ali
Muhyiddin Ali Al-Qarhdaghi, Buhuts Fi Fiqh Al-Mu`amalaat al-maliyah
al-Mu`ashirah, Daar Al-Basyar al-Islamiyah, Beirut, At-taba`ah al-Ula,
2001.
Bramantyo
Djohanputro, Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi, Memastikan Keamanan dan
Kelanggengan Perusahaan Anda, PPM, Jakarta, Januari 2006.
Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi :
Sebuah Tinjauan Islam, Penerjemah : Ikhwan Abidin Bashri, Gema Insani
Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2001.
Chapra,
M. Umer, Sistem Moneter Islam, Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri, Gema
Insani Press, Jakarta, Cetakan Pertama, November 2000.
Frank
E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam : Konsep, Teori dan
Praktik, Nusamedia, Bandung, Cetakan 1, Juli 2007.
Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi,
Edisi 2, Ekonisia, Yogyakarta, 2003.
Mamduh
M. Hanafi, Manajemen Risiko, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, Cetakan Pertama,
Juli 2006.
Mervyn
K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan
Prospek, Penerjemah : Burhan Subrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
Cetakan 1, Oktober 2007.
Muhammad,
Manajemen Bank Syariah, Edisi Revisi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, Februari
2005.
Sa`ad
ad-Din Muhammad al-Kibbi, Al-Mu`amalaat al-Maaliyah al-Mu`ashirah fi Dhaui
al-Islam, Al-Maktab al-Islami, Beirut, At-Thaba`ah al-Ula, 2002.
Syed
Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah : M. Saiful
Anam dan M. Ufuqul Mubin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Wahbah
Zuhaili, Al-Mu`amalaat al-Maliyah al-Mu`ashirah, Daar al-Fikr
al-Mu`ashir, Beirut, Cetakan 1, 2002.
[1] M. Umer Chapra, Masa Depan
Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam, Penerjemah : Ikhwan Abidin Bashri,
Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2001, h : 100
[2] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas
Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah : M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, h : 37
[3] Heri Sudarsono, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 2, Ekonisia,
Yogyakarta, 2003, h : 5
[4] Frank E. Vogel dan Samuel L.
Hayes, III, Hukum Keuangan Islam : Konsep, Teori dan Praktik, Nusamedia,
Bandung, Cetakan 1, Juli 2007, h : 14. Adiwarman A. Karim membantah validitas
konsep time value of money yang merupakan argumen dasar penerapan bunga
dalam teori keuangan konvensional. Adiwarman menawarkan sebuah konsep yang
disebutnya economic value of time, dalam memberikan argumentasi ekonomi
atas pelarangan riba dalam Islam, lihat Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A.,
M.A.E.P, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h : 375-387.
[5] Ibid, h : 14
[6] M. Umer Chapra, Sistem
Moneter Islam, Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Press,
Jakarta, Cetakan Pertama, November 2000, h : 2
[7] Mervyn K. Lewis dan Latifa M.
Algoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan Prospek, Penerjemah :
Burhan Subrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, Cetakan 1, Oktober 2007, h : 123
[8] Ibid, h : 123-131
[9] Ibid, h : 131-132
[10] M. Umer Chapra, Sistem
Moneter Islam, ibid, h : 101-130
[11] Mervyn K. Lewis dan Latifa M.
Algoud, Perbankan Syariah, ibid, h : 134-135
[12] Frank Knight membedakan antara uncertainty
dengan resiko, dilihat dari probabilitas hasil yang tidak bisa diketahui
besarnya (uncertainty) dan yang bisa diketahui besarnya (resiko). Lihat
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, h : 199-200
[13] Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo & Nastangin, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1995, Jilid 3, h : 161
[14] Sa`ad ad-Din Muhammad al-Kibbi,
Al-Mu`amalaat al-Maaliyah al-Mu`ashirah fi Dhaui al-Islam, Al-Maktab
al-Islami, Beirut, At-Thaba`ah al-Ula, 2002, h : 181
[15] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Mikro Islami, ibid, h : 200-201
[16] Ibid, h : 200-201
[17] Ibid, h : 201-207
[18] Ir. Adiwarman A. Karim, S.E.,
M.B.A., M.A.E.P, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, ibid, h : 79-81
[19] Ibid, h : 80
[20] Ibid, h : 51-64
[21] Ibid, h : 81
[22] Muzara`ah adalah bentuk
kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian dalam setahun, Mukhabarah
adalah bentuk kontrak bagi hasil dalam pertanian dimana bibitnya berasal dari
pemilik tanah. Sedangkan Musaqat adalah bentuk kontrak bagi hasil yang
diterapkan dalam tanaman pertanian tahunan, dimana hasil pertanian dibagi
antara pemilik tanah dan pengelola tanah. Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Mu`amalaat
al-Maliyah al-Mu`ashirah, Daar al-Fikr al-Mu`ashir, Beirut, Cetakan 1,
2002, h : 117-122
[23] Two in one adalah kondisi
dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi
ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang berlaku atau harus digunakan.
Dalam terminologi Fiqh, hal ini dikenal dengan nama bai`ataini fi bai`atin
atau shafqataini fi shafqatin. Wahbah Zuhaili, Al-Mu`amalaat
al-Maliyah al-Mu`ashirah, ibid, h : 35
[24] Ibid, h : 31-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar