Sabtu, 02 Juni 2012

Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi


Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam bidang ekonomi : Dual Education System (Islamic Studies and Modern Science)

Pendahuluan
            Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap sisi sisi lain dari peradaban, khususnya dalam bidang epistemologi. Tampaknya, “Westernisasi ilmu pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini dipahami dengan baik, maka tema “Islamisasi ilmu pengetahuan” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi ilmu pengetahuan tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemologis yang melanda dunia Islam dan tantangan yang menjadi sumbernya.
Ketika Barat masih dalam kegelapan, mereka mengambil ilmu pengetahuan dari negara Islam, dan mereduksi nilai nilai etika Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan pandangan hidup mereka. Sehingga berkembang sebuah ilmu baru yang sekuler, yang memberikan kontribusi yang penting dalam kehidupan manusia. Saat ini di berbagai perguruan tinggi di negara Islam diajarkan buku buku, ideologi dan pandangan hidup barat. Masyarakat muslim mengalami sebuah proses westernisasi. Keadaan ini harus berubah, dan kewajiban seorang muslim adalah menguasai ilmu pengetahuan modern, memahaminya dengan sempurna, untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang dulu telah diambil oleh barat.[1] 
            Secara keseluruhan, reaksi reaksi kaum muslim terhadap penjajahan epistimologi Barat adalah lambat. Mengingat tradisi kuat dari kritik epistimologi dalam Islam klasik – hampir setiap sarjana ternama pada masa ini menghasilkan sebuah klasifikasi pengetahuan dan menguraikan konsep nilai ilmu – ini agak mengherankan. Dalam tahun enam puluhan dan awal tujuh puluhan, Syed Hossein Nasr merupakan satu-satunya sarjana yang mengetengahkan suatu perspektif Sufi yang terang terangan, mengenai krisis epistimologi dalam peradaban Barat di dalam karya seperti Encounter of Man and Nature.[2] Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, suatu usaha yang mendapat persetujuan dari banyak pihak telah dilakukan untuk menemukan kembali unsur unsur utama epistimologi Islam.
            Obsesi utama umat Islam setelah Perang Dunia ke-2 adalah mempercepat upaya untuk merebut kembali kejayaan Islam pada masa silam dan meraih kemenangan dalam skala internasional. Hal ini merupakan poin penting untuk mencapai hasil akhir dari Islamisasi ilmu pengetahuan, yang dipelopori oleh dua sarjana terkemuka ; Syed Mohammad Naquib Al-Attas dan Isma`il Raji al-Faruqi menggagas ide tersebut pada tahun 1982.[3] Proyek tersebut bisa disebut sebagai kunci untuk membuka pintu menuju proyek yang lebih nyata yaitu membawa dan mengeluarkan umat Islam dari keterbelakangan.
            Makalah Al-Attas, `The Dewesternisation of Knowledge`, adalah salah satu kritik yang mengena terhadap epistimologi Barat.[4] Al-Attas beragumen bahwa skeptikisme yang mencakup keseluruhan sistem pengetahuan Barat, yang tidak mengenal batas-batas etika dan nilai, merupakan antitesis dari epistimologi Islam. Di sini Al-Attas bukan beragumen melawan keraguan dan skeptikisme per se; dia bahkan setuju dengan filosof dan ahli epistimologi muslim Al-Ghazali (450-505H), yang mengatakan bahwa `tak seorang pun yang benar-benar meyakini sesuatu sebelum dia meragukannya` dan bahwa skeptikisme yang sehat itu penting bagi kemajuan intelektual.
            Tetapi argumen Al-Attas bertentangan dengan kerangka pengetahuan yang mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya demi skeptikisme. Al-Attas menggambarkan;
`Tampaknya perlu ditekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan benar-benar dapat ditanamkan dengan satu sifat lalu dinyatakan sebagai pengetahuan. Toh dalam kenyataannya, secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan yang sejati, melainkan penafsirannya melalui prisma, pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologis dari peradaban itulah yang kini memainkan peranan menentukan dalam perumusan dan penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang telah diisi dengan sifat dan kepribadian dari peradaban itu – pengetahuan yang dikemukakan dan diterima sebagai pengetahuan dalam penyamaran itu secara cermat sekali dileburkan dengan yang asli, sehingga pihak-pihak lain secara tak sadar benar-benar menganggapnya sebagai pengetahuan sejati per se`.[5]
            Al-Attas, sebagaimana para pengkritik muslim masa kini lainnya atas epistimologi Barat, menyamakan nilai-nilai masa Pencerahan, gerakan filsafat Prancis abad ketujuh belas, sebagai nilai-nilai asal dari sains dan teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam memberi sumbangan yang sangat penting, pada tahap awal evolusinya, pada sains dan teknologi Barat, tetapi pengetahuan dan semangat ilmiah rasionalnya telah dituang dan dicetak kembali untuk disesuaikan dengan wadah kebudayaan Barat, sehingga mereka lebur dan tercampur dengan semua unsur lainnya yang membentuk sifat  dan kepribadian peradaban Barat.[6]
            Peleburan dan percampuran ini telah menghasilkan suatu dualisme yang khas dalam pandangan dunia dan nilai-nilai sistem pengetahuan Barat; suatu dualisme yang tidak dapat diubah menjadi kesatuan yang selaras, karean dia terbentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan, filsafat, dogma doktrin dan teologi yang saling bertentangan, yang kesemuanya mencerminkan suatu bayangan realitas dan kebenaran dualistik yang terperangkap di dalam perjuangan yang sia-sia. Dualisme ini telah menghasilkan suatu ketegangan batin yang kekal dalam kebudayaan dan peradaban Barat, yang pada gilirannya menghasilkan keinginan yang tak habis-habisnya untuk mencari dan memulai perjalanan penemuan yang abadi. Menurut Al-Attas, perubahan, perkembangan dan kemajuan merupakan hasil dari pencarian yang tak habis-habisnya dan perjalanan yang abadi ini, yang dipacu oleh keraguan dan ketegangan batin.[7]
            Intisari dari argumen Al-Attas adalah; karena para sarjana dan ilmuwan muslim bekerja mengikuti sistem pengetahuan Barat, maka mereka hanya dapat mengetengahkan nilai-nilai dan ketegangan-ketegangan batin kebudayaan dan peradaban Barat. Lembaga pengetahuan dan sains semacam itu tidak dapat benar-benar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim atau mengambil akar sosial di dalam dunia muslim.[8]
            Sementara Al-Faruqi telah membawa seluruh proses itu beberapa langkah ke depan dengan jalan menyarankan suatu rencana sistematis untuk menemukan suatu epistimologi Islam masa kini. Program Islamisasi ilmu pengetahuannya merupakan hasil dari usaha yang telah bertahun-tahun dan perdebatan serta pembahasan dalam sejumlah seminar internasional yang diikutinya.[9] Islamization of Knowledge mengetengahkan suatu proses bertahap bagi peng-Islaman ilmu pengetahuan.
            Al-Faruqi beragumen bahwa `keresahan umat` hanya dapat dihilangkan dengan suntikan epistimologi. Tugas yang dihadapi umat adalah memecahkan masalah pendidikan, yaitu pemuda-pemuda muslim harus diisi visi Islam dengan jalan memperkenalkan peradaban Islam sebagai kajian wajib. Banyak sarjana muslim lain yang telah mengemukakan pikiran serupa, dan dalam beberapa kasus bahkan jauh lebih gigih dibandingkan Al-Faruqi. Tetapi di dalam Islamisasi ilmu pengetahuan modern, yang merupakan bagian dari seluruh skema perubahan sistem pendidikan muslim, sumbangan Al-Faruqi tampil ke depan. Al-Faruqi bukan hanya menginginkan perubahan atas seluruh warisan pengetahuan manusia dari sudut pendidikan Islam. Dia juga menawarkan suatu metodologi dan program tindakan untuk melaksanakan hal itu.[10]
            Dalam setiap bidang ilmu pengetahuan, para sarjana muslim masa klasik bekerja dalam pengetahuan dan paradigma-paradigma perilaku yang didefinisikan secara jelas. Dengan demikian mereka mampu memadukan sains dari peradaban lain yang mereka warisi. Begitu sains-sains ini berada di bawah paradigma-paradigma yang dikembangkan oleh para sarjana muslim, diubah menjadi suatu bentuk yang baru.
            Beginilah seharusnya cara para sarjana dan ilmuwan muslim mengadakan pendekatan terhadap masalah penting dalam Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan memisahkan etika dan moralitas dari epistimologinya, peradaban Barat telah menghasilkan seperangkat ilmu pengetahuan yang tidak mengaitkan dirinya dengan kepentingan Islam menyangkut perwakilan manusia, kesucian alam, keadilan sosial, kepentingan umum dan usaha menggapai ridha Allah swt. Perangkat ilmu pengetahuan ini dan disiplin-disiplin yang berhubungan dengannya tentu saja akan mendahulukan kepentingan-kepentingan dan kesejahteraan peradaban Barat dan sulit untuk dapat di-Islamkan.
            Tugas yang dihadapi cendekiawan muslim karenanya adalah mengembangkan – dengan menggunakan epistimologi Islam – paradigma-paradigma alternatif bagi ilmu pengetahuan, baik untuk ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial dan menyusun serta mencetak disiplin-disiplin yang paling relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim masa kini. Setelah paradigma-paradigma Islam yang khas dan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya berhasil dikembangkan, barulah para sarjana muslim dapat merenungkan cara-cara untuk mencapai perpaduan di atas landasan yang kuat dengan ilmu pengetahuan yang diciptakan peradaban Barat.[11]

Keresahan umat Islam dalam bidang ekonomi                 
            Saat ini umat Islam berada dalam level terbawah bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, umat Islam mengalami kekalahan yang bertubi-tubi. Akibat dari kekalahan beruntun ini, umat Islam ditindas dengan berbagai macam penindasan; dibunuh, diambil harta kekayaannya, diusir dari tanah kelahirannya dan direkayasa sedemikian rupa agar tidak mempunyai harapan dalam hidup.[12] Semua bentuk penindasan ini berada dibalik imperialisme Barat, dengan segala bentuknya.
            Di dalam kekejaman imperialisme ini juga terdapat pemaksaan kehendak terhadap umat Islam untuk mempercayai atau mengikuti suatu doktrin atau ideologi tertentu. Umat Islam sengaja dijauhkan dari kebudayaan, peradaban dan lebih jauh dari identitas mereka, inilah realitas umat Islam – yang dulu pernah menjadi pelopor kemajuan umat manusia. Tidak cukup sampai di sini saja, musuh-musuh Islam dengan sengaja merendahkan umat Islam dengan cara mendistorsikan sejarah Islam yang penuh dengan kegemilangan, menjadi gambaran yang sangat keji dan menakutkan. Sekedar contoh bahwa saat ini pers Barat dengan sangat mudah mendiskripsikan seorang muslim dengan sebutan `teroris`, radikal, out of law, primitif dan lain sebagainya.[13]
            Secara umum, umat Islam saat ini menjadi sasaran kebencian dan sifat iri dengki dari hampir seluruh non muslim, baik mereka yang berada di negara maju maupun negara berkembang, negara kapitalis maupun sosialis. Dunia Islam saat ini identik dengan peperangan, perpecahan dalam negeri, perang saudara, yang pada gilirannya dianggap membahayakan dan menjadi ancaman nyata terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Lebih dari itu, dunia Islam dianggap sebagai `orang yang sakit` dalam sebuah komunitas masyarakat dunia modern, dan agama Islam dituduh sebagai akar permasalahan dari segala malapetaka tersebut.[14]
            Ada beberapa fenomena dari malaise of ummah yang dihadapi umat Islam saat ini, diantaranya;[15]
1.      Kemunduran Politik dan Moral.
            Setelah mencapai puncak kebesarannya, masyarakat muslim kehilangan momentumnya karena masalah kemunduran politik dan moral. Yang pertama kali runtuh adalah institusi kekhalifahan, yang mencerminkan sistem politik Islam dalam bentuknya yang ideal. Secara umum ia digantikan oleh otokrasi dan pemerintahan berdasarkan keturunan, yang hanya sedikit sekali mempraktekkan ketentuan demokrasi Islam mengenai syura, dan yang menghimpun sepanjang masa semua keburukan penguasa. Sekalipun ikatan emosional kepada keimanan tetap ada, akan tetapi ketaatan kepada ajaran Islam terus berkurang.[16]
2.      Kemunduran Ekonomi.
            Dengan melemahnya persaudaraan dan persamaan sosial, masyarakat muslim menjadi semakin terstruktur dan berorientasi status. Keadilan sosio-ekonomi, tanda yang menonjol dari masyarakat muslim sejati, menjadi korban utama dan peluang untuk bangkit secara vertikal benar-benar telah menurun. Kemungkinan memperoleh imbalan yang adil atas kerja keras dan sungguh-sungguh dan memperoleh pengakuan yang semestinya, telah dihapus, hilang bersamanya sebagian besar orang-orang yang cakap dan berkemampuan, desakan untuk menjadi kreatif dan bekerja keras demi kemajuan. Sebaliknya korupsi dan penggunaan sarana yang tidak semestinya untuk memperoleh segala sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan atau memenuhi tuntutan dari kebiasaan yang tidak sehat dan gaya hidup mahal menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan begitu korupsi semakin merajalela.[17]
            Dalam persaingan dengan produktifitas negara Islam, negara asing selalu mencari dan selalu berhasil membuka peluang pasar. Ketika suatu industri berkembang dengan bantuan negara asing, maka akan menghasilkan sesuatu yang sangat bergantung kepada bahan bahan mentah yang dimiliki oleh negara asing tersebut. Dengan demikian negara asing bertambah kuat dan terjadi hegemoni terhadap negara negara Islam.
            Sebagai contoh, di sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian utama kebanyakan negara-negara muslim, para petani penyewa tanah dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian, yang berpotensi untuk menjadi wiraswastawan yang dinamis, benar-benar menjadi budak dari para tuan tanah, yang kebanyakan telah memperoleh bagian tanah yang luas melalui tipu daya dan loyalitas mereka kepada penjajah dan penguasa setempat. Mereka tidak mempunyai modal untuk meningkatkan penghasilan, bahkan mereka juga tidak punya sarana untuk melakukan investasi yang diperlukan, karena itulah sektor pertanian tidak mengalami kemajuan dan tetap terbelakang.[18]
            Dalam sektor industri, para pengrajin telah dimiskinkan oleh kebijakan-kebijakan para penguasa kolonial, dimana kekuasaan penjajah menjadikan negara-negara jajahan sebagai pasar untuk produksi industri perusahaan mereka. Dan kekuasaan penjajah sengaja mengambil langkah-langkah tertentu untuk menghambat dan menghalangi pertumbuhan industri pribumi. Para petani, pengrajin dan buruh adalah sama rasionalnya, baik di negara-negara muslim maupun dimana saja dan dapat menanggapi insentif ekonomi. Kekurangan motivasi, kreatifitas, kesungguhan, efisiensi dan produktivitas yang tinggi bukan merupakan watak masyarakat muslim, akan tetapi ini semua ditanamkan dalam diri mereka oleh lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang tidak adil.[19]
3.      Kemunduran Kebudayaan.
            Kebodohan, mitos dan buta huruf yang melanda umat Islam sebagai akibat dari keterbelakangan dan kemunduran selama berabad-abad, membuat masyarakat muslim menyerah dalam formalitas iman yang kaku, dan terlena pada dogma agama tanpa memahami sumber legalitasnya (al-taqlid al-a`ma). Hal inilah yang mengakibatkan kelemahan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi tantangan dan pengaruh dunia luar. Ketidakberdayaan ini mendorong mereka untuk mencari solusi ideal atas permasalahan yang mereka hadapi, mereka tanpa kesadaran dan pemahaman yang benar, mengadopsi pemikiran dan pengalaman Barat dan menganggapnya sebagai tongkat sihir yang bisa merubah keadaan mereka dalam sekejap.[20]

Kontroversi seputar Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi.
            Sarjana muslim mengunakakan definisi beragam mengenai Islamisasi pengetahuan sekaligus proses bagaimana melakukan Islamisasi pengetahuan. Walaupun ada juga yang tidak setuju dengan upaya untuk Islamisasi pengetahuan, seperti halnya Fazlur  Rahman, dalam the America Journal of Islamic Social Science (AJISS) dengan judul Islamization of knowledge: A Response. Ia berpendapat bahwa pengetahuan kontemporer itu mereflesksikan etos Barat, namun dengan tegas ia berpendapat  bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau memerinci  suatu strategi untuk mencapai pengetahuan Islami.[21] Menurutnya, satu-satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat Islam.
            Sementara bagi banyak di antara sarjana muslim yang mendukung Islamisasi pengetahuan mengunakan pemikiran Ismail Raji al Faruqi yang tertuang dalam  Islamization of Knowledge: General Principles  and Work Plan. Faruqi mengungkapkan  dua faktor yang menyebabkan kondisi umat yang tidak menguntungkan secara terus menerus – kondisi yang dia sebut dengan malaise of ummah yakni arus dualitas sekuler religius sistem pendidikan dalam masyarakat muslim dan tidak adanya pandangan yang jelas untuk menunjukkan dan mengarahkan tindakan umat Islam.[22] Menurutnya peremajaan umat kembali tergantung pada integrasi  ilmu-ilmu Islam dan sekuler, secara singkat, mengakhiri dualitas pendidikan.  
            Ada kontroversi seputar Islamisasi ilmu pengetahuan, dimana ada dua kelompok besar [23]. Kelompok pertama adalah pendukung Islamisasi ilmu pengetahuan. Sedangkan kelompok kedua adalah yang menentang gagasan ini. Ismail al Faruqi dan The International Institute of Islamic Thought (IIIT)-nya adalah pencetus gagasan besar ini. Sedangkan Ziauddin Sardar dan “Ijmali” nya mewakili kelompok yang tidak sependapat dengan ide tersebut [24].
            Bagi Ziauddin Sardar Islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa diartikan sebagai Islamisasi ilmu ekonomi atau Islamisasi disiplin ilmu yang lain, selama masih memakai metodologi barat atau metodologi lain. Berarti ekonomi Islam tidak boleh bertentangan dengan interpretasi klasik dari syariah, asumsinya adalah terciptanya masyarakat Islam yang diakui eksistensinya. Islamisasi ilmu pengetahuan harus menghasilkan bentuk ekonomi Islam yang murni.
Menurut Zubeir Hasan kedua pendapat ini tidak ada yang salah, dan semuanya berguna dalam proses pengembangan ekonomi Islam. Ismail al Faruqi melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan bisa dilakukan tahap demi tahap atau dengan evolutionary approach. Dengan cara memodifikasi ilmu pengetahuan sekuler secara bertahap, dan dengan membuka kembali pintu ijtihad sesuai dengan kebutuhan kehidupan modern. Hal ini bertentangan dengan Sardar yang berpendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan harus dilakukan secara menyeluruh atau tidak sama sekali, yaitu dengan memakai pure approach.[25]
            Tidak ada yang lebih baik dari yang lain dari semua pendapat tadi, karena setiap teori hanya berguna bagi tujuan dan target dari teori tersebut. Sulit untuk bisa menilai mana yang benar atau salah dari kedua kelompok tersebut. Yang lebih penting untuk dikaji adalah bagaimana mencari kemungkinan yang paling tepat untuk menerapkan nilai syariah untuk ilmu ekonomi dan ilmu ilmu yang lain.
Kesimpulannya bahwa tujuan akhir dari Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk generalisasi ilmu ekonomi Islam yang murni, dan jalan untuk menuju hal tersebut masih panjang. Dalam perkembangan teorinya, meminjam alat analisa ilmu ekonomi barat penting, tetapi hal itu tidak cukup. Muhammad Arief menambahkan penggabungan berbagai teori dengan menggunakan Methodology of Scientific Research Programme (MSRP) penting, sehingga ketergantungan terhadap natural sciences bisa dihilangkan, atau setidaknya bisa dikurangi. Arief menawarkan penggabungan antara wahyu dengan scientific research, agar ulama muslim terbebas dari epistimologi barat yang menyesatkan [26].

Permasalahan seputar Islamisasi ilmu ekonomi.
Ada 3 hal yang perlu dibahas dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi ; Pertama, perbedaan pandangan hidup, Kedua, hubungan antara wahyu dan akal, dan Ketiga adalah pertanyaan seputar metodologi [27]. Ada hal lain yang tidak termasuk dalam tiga hal diatas yaitu pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi dan outline tentang langkah kongkret.
Pandangan hidup orang barat memisahkan urusan dunia dari agama, sebaliknya pandangan hidup orang Islam menggabungkan antara dunia dan agama. Hal inilah yang membuat perbedaan antara Islam dengan barat dalam hal tujuan, ruang lingkup dan prinsip ekonomi.
Akal adalah kebenaran mutlak, dan dijadikan sebagai dasar atau rujukan bagi teori ekonomi sekuler. Sedangkan Islam menganjurkan orang untuk menggunakan akal dalam menganalisa, mengobservasi dan membuat kongklusi, sehingga bisa menemukan kebenaran. Dalam hubungannya dengan syari’ah, akal tidak boleh menyimpang dari wahyu. Namun demikian dalam kenyataannya prosedur dan aplikasi suatu teori terkadang sama antara ekonomi Islam dan ekonomi sekuler.
Metodologi ekonomi sekuler lebih menitikberatkan kepada perkembangan ilmu selanjutnya. Dan ini sangat bervariasi bila dilihat secara rasional apa sebenarnya yang sudah dihasilkan oleh ilmu ekonomi dalam beberapa abad terakhir. Sehingga hal ini menguatkan doktrin yang berkembang pada kalangan mereka tentang kebebasan bertindak (free enterprise) [28]. Sebaliknya dalam ekonomi Islam doktrin yang digunakan sudah ada dalam wahyu, maka tugas kita adalah menggali kembali wahyu tersebut dan bukan untuk menemukan wahyu yang baru. Hal inilah sebenarnya yang menjadi ketetapan dalam metodologi ekonomi Islam. Tidak seperti kebebasan yang dianut oleh Barat, perbedaannya adalah mereka berangkat dari metodologi, kemudian menuju ilmu ekonomi dan bukan sebaliknya.
A.    Perbedaan worldview
            Bagi barat, pandangan hidup diartikan secara konstektual, dan tidak bisa diterangkan, kecuali dengan memberikan spesifikasi pandangan hidup siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Pembahasan tentang pandangan hidup selalu merujuk kepada persepsi seseorang dalam memandang dunia. Manusia mendapatkan berbagai macam pandangan hidup dalam sebuah masyarakat sesuai dengan jumlah komunitas masyarakat tersebut, sehingga hal semacam ini tidak bisa dijadikan disiplin ilmu. Maka manusia hendaknya memahami perbedaan pandangan hidup dan perbedaan sistem sosial yang ada dalam sebuah komunitas. Setiap individu bisa tetap bertahan dengan pandangan hidup yang bermacam macam, akan tetapi mereka harus mengikuti pandangan hidup dan norma norma yang berlaku di masyarakat.
Sementara dalam Islam pandangan hidup dibentuk oleh wahyu sehingga menjadi fleksibel, akan tetapi bukan berarti bisa digantikan atau dirubah. Sebaliknya barat mempunyai apa yang disebut scientific view yang berdasarkan akal dan bisa dirubah.[29] Islam tidak membatasi persepsi individu yang sesuai dengan keinginannya, hanya saja Islam mewajibkan individu untuk menjalankan kepentingan duniawi berdasarkan keimanan dan menjalankan syariah yang sudah ditetapkan. Karena semua yang dilakukan oleh individu akan dihisab di akherat, setiap individu akan menerima pahala dan hukuman sesuai tindakannya. Islam memberi kebebasan kepada individu dan mengajarkan untuk hidup bahagia di dunia dan akherat. Pandangan hidup Islam memisahkan antara hidup di dunia dan di akherat, dan akherat adalah arti kehidupan yang sebenarnya. Sementara kehidupan dunia adalah persiapan untuk kehidupan di akherat, segala sesuatu dalam Islam berujung kepada kehidupan akherat, tanpa harus meninggalkan urusan duniawi [30].
B.     Hubungan antara wahyu dan akal.
Hubungan antara wahyu dan akal mungkin bisa ditinjau dalam dua segi, yang pertama menurut Islam ; penggunaan akal dengan tujuan untuk memahami wahyu, dan yang kedua menurut barat adalah penggunaan akal sebagai alat untuk menolak wahyu. Arti akal ada dua perbedaan, yang pertama pandangan monistic Islam, yaitu mengunakan akal dalam bingkai agama dan ilmu. Yang kedua pandangan sekuler, yaitu menolak penyatuan agama dan ilmu. Bagi barat agama dan ilmu adalah sesuatu yang terpisah, barat hanya memakai akal dan menolak keberadaan agama dalam akal [31].
Menurut Islam, akal adalah kemampuan yang diberikan oleh Allah kepada individu untuk memahami alam semesta beserta isinya. Akal membuat perbedaan antara manusia dan alam ghaib, dengan akal manusia seharusnya bisa menemukan tujuan hidupnya. Dalam Islam ada dasar dasar pemikiran tentang konsep Allah, seperti yang telah tertera dalam wahyu, tidak seperti barat yang mengagungkan akal. Islam tidak melihat alam hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi Islam memandang alam semesta lebih dalam (deeper significance). Dalam Al Quran alam semesta adalah dunia dan isinya, manusia dituntut untuk memahami, berfikir dan mengambil kesimpulan dari hikmah keberadaan alam semesta [32].
Akal adalah berkah, sinar pencerah (cosmic relevance) dan simbul adanya Tuhan, sehingga manusia lebih mengerti dan menerima keberadaan Tuhan melalui ciptaan-Nya. Akal meminta individu untuk beriman dan mengagungkan nilai nilai seperti keindahan, cinta, al ihsan dan pengorbanan. Hal ini membuktikan bahwa akal memperhatikan semua aspek kehidupan, tidak hanya rasionalitas. Contoh bahwa akal menuntut individu untuk beriman tatkala Nabi Ibrahim tanpa keraguan menceburkan diri ke dalam api yang di depan raja Namrad. Contoh dari cinta, raja Edward VIII yang merelakan tahtanya hanya untuk menikah dengan wanita yang dicintai, contoh pengorbanan adalah Neitzche filosuf terkemuka, rela mengorbankan diri untuk melindungi seekor kuda yang tidak berdaya karena kebrutalan tuannya. Dengan demikian akal menciptakan idealisme, sistem dan revolusi, dan dalam Islam kebijaksanaan yang agung (the divine wisdom) terwujud dalam satu kesatuan [33].
Dalam ekonomi Islam individu yang mengeluarkan zakat (shadaqah) sebenarnya mendapatkan keuntungan, meskipun menurut akal keuntungan tersebut dipandang sebagai sebuah kehilangan. Hal ini bisa dilihat dalam Al Quran 30 : 39 [34].
C.    Metodologi
            Metodologi ekonomi meliputi beberapa kriteria, aturan dan prosedur yang sudah dikembangkan oleh para ahli filsafat dalam beberapa abad terakhir. Pengembangan metodologi ekonomi meliputi arti, ruang lingkup dan hasil yang bisa dicapai. Metodologi ekonomi adalah bagian dari ilmu ekonomi yang memiliki hubungan yang erat seperti halnya hubungan  antara ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh. Namun demikian tidak seperti hubungan antara Ushul Fiqh dan Fiqh, hubungan antara metodologi ekonomi dan ilmu ekonomi masih rancu (tidak beraturan).  Diperkirakan kerancuan tadi terjadi karena kegagalan dalam menjaga tema tema seputar metodologi yang melenceng dari metode [35].
            Metodologi harus memperhatikan metode, tetapi tidak termasuk dalam kategori metode itu sendiri. Metodologi merupakan rangkuman singkat untuk mencari dan mengolah data yang berasal dari luar ilmu ekonomi. Metodologi juga merupakan cara untuk memilih metode apa yang paling sesuai untuk digunakan dalam ilmu ekonomi, bagaimana menjalankannya, dan apa yang bisa dihasilkan dari suatu metode tadi. Sekelompok individu yang melakukan penelitian bisa jadi memakai metode yang sama, akan tetapi metodologi yang mereka pakai berbeda. Sebaliknya bisa juga metodologi mereka sama tapi metode yang mereka pakai berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena ada perbedaan cara pandang terhadap suatu masalah, maka penting untuk dicatat adanya penyimpangan dalam metodologi.
            Prinsip pengembangan metodologi di barat bertujuan untuk membentuk ekonomi apa yang bisa diterapkan setelah menganalisa apa saja yang sudah dihasilkan oleh ekonomi dalam beberapa abad (posterior evolution). Sedangkan dalam Islam, metodologi yang benar tergantung kepada jawaban atas pertanyaan : What do we know? What is the source of our knowledge? How do we know that what we know is correct?. Dari sini bisa dilihat perbedaan metodologi dari topik topik ekonomi dan kontribusi Islam yang muncul dari perbedaan jawaban atas pertanyaan pertanyaan di atas [36].

Problem metodologi dan Islamisasi ekonomi
Dalam suatu makalah yang dipresentasikan dalam International Conference on Islamic Metodologi and Behavioural and Education Science ke-4 yang diselenggarakan  di Khartoum, Sudan  pada tahun 1987 dan kemudian di terbitkan oleh IIIT. Muhammad Said al Butti berpendapat bahwa metode ilmiah  adalah suatu fakta  (haqiqah) yang memiliki dunia objektif. Sebagaimana seluruh material ia memiliki watak yang pasti, bersifat independent secara sempurna  baik dalam struktur  maupun esksitensinya dari pemikiran  dan penalaran manusia. Menurut  al Buti, objektivitas  dan sifat permanen  metode ilmiah ditentukan oleh fungsinya. Karena metode ilmiah merupakan suatu instrumen, suatu skala untuk memastikan  kekuatan dan kebenaran pemikiran, maka validitas mestinya terlepas dari proses berpikir itu sendiri. Oleh karena itu al Buti berkesimpulan  bahwa metode ilmiah dapat  dimodifikasi  dan atau diubah  oleh akal.[37]
Pernyataan al Buti seolah menjawab problem yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Abu Sulayman  dalam Islamization  of Knowledge, ia mengkaitkan krisis intelektual muslim modern  dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa  pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir  yang semata-mata linguistik dan legalistik. Menurut Abu Sulayman, krisis (pemikiran Islam) juga terletak dalam karakter metode penelitian Islami kita yang dibatasi pada studi-studi tekstual atas bahasa, tradisi-tradisi dan juga jurisprudensi ortodok. Dua sikap itu terwujud  dalam kecenderungan kita menganggap faqih (jurist) dalam pengertian  historis  sebagai orang yang mampu memecahkan krisis pemikiran, kebudayaan dan pengetahuan.[38]
Kemudian, untuk menemukan metodologi ekonomi Islam telah dilakukan oleh beberapa sarjana dengan mengunakan berbagai pendekatan. Semua pemikiran yang disumbangkan oleh sarjana muslim tersebut kebanyakan baru sebatas upaya mengolah idealita. Dalam sebuah makalah  yang berjudul the Islamiation of Knowledge  and some methodological issue in Paradigm Building. Muhammad Arif memaparkan  dan sekaligus menerapkan prosedur  untuk membangun  suatu paradigma  atau pandangan Islami. Arif menyatakan bahwa usaha untuk mengembangkan  hubungan wahyu ke dalam  penelitian ilmiah  guna membebaskan sarjana muslim dari paksaan epistomologi Barat.  Karena epistomologi yang ditawarkan al Faruqi terlalu luas, Arif mengakui perlunya derivasi serangkaian prinsip yang lebih  spesifik yang dapat mengarahkan  penelitian ekonomi.[39]
Sementara itu Muhammad Anas Zarqa dalam  Islamization of Economics: The Concept and Methodology mengungkapkan bahwa Islamisasi ekonomi merupakan relasi antara Islam dan ekonomi. Dimana Islam sebagai pernyataan normatif yang berperan sebagai petunjuk di dalam berbagai disiplin akademi.[40]
Sarjana lain yang mengungkapkan model pendekatan Islamisasi ekonomi adalah Mannan(1983),[41] yang mengunakan 7 (tujuh) langkah dalam mengembangkan teori dan praktek ekonomi Islam, Mannan memulai dengan menidentifikasi  tiga dasar fungsi ekonomi; konsumsi, produksi dan distribusi, sedangkan langkah akhir dari formula Mannan adalah adalah melakukan evaluasi dari proses keberlangsungan langkah sebelumnya. Sementara Siddiqi (2001),[42] mengungkapkan bahwa Islamic economists  should be more heedful in their critism to neoclassical economics.  It is noted  that a familiarity with the critical literature on neoclassic economica emanating from witthin  the western world may provide important  insights that could  be helpful in finding aur own solutions.
            Pramanik(2005)[43] dalam Islamization of Economics; with Special Emphasis on the Operational Aspect menyatakan pandangannya mengenai teori dan dasar ekonomi idea dilihat dari  sekular wordview dan Islamic worldview.  Pembahasan mendalam mengenai Islamic World View di dalam ekonomi terdapat dalam tulisan Zubair Hasan (1998), Zubair menyatakan bahwa the Islamic worldview links inseparably the life in this world (al-dunya) with the life in the hereafter (al-akhirah), the latter being of ultimate significance. The dunya aspect of human life is seen as a preparation for its akhirah aspect. "Everything in Islam is ultimately focused on the akhirah aspect without thereby implying any attitude of neglect or being unmindful of the dunya aspect."[44] The notion centers around the Islamic concepts of tawhid, vicegerency, and al-‘adl.

Kritikan Terhadap Islamisasi Ilmu
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dari beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi [45]. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diIslamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penyalahgunaaan. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. 
Fazlur Rahman tepat dengan menyatakan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaimanapun, Fazlur Rahman tampaknya mengabaikan jika konsep dasar mengenai ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.
Selain itu pemikiran sekular tampaknya juga hinggap dalam pemikiran Fazlur Rahman [46]. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu mencapai tingkat final yaitu keyakinan. Ia menyatakan: “Jelas bukan suatu keharusan penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu diterima; akan selalu ada ruang dan keharusan untuk penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”
Berbeda dengan Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek-aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Kritikan terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebenaran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independent dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa di-Islamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa di-Islamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa di-Islamkan; (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa di-Islamkan [47].
Pandangan-alam yang terkandung dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah realitas sebagai sebuah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in the sense that there is something permanent whereby change occurs.
Islamisasi ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) local untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi.  Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang  universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.

Kesimpulan
            Perbandingan metodologi ekonomi Islam dan ekonomi sekuler dalam berbagai topik ada pada perbedaan nilai etika yang mengilhami masing masing, metodologi ekonomi sekuler dan juga ilmu ilmu sekuler yang lain tidak mempunyai nilai etika. Barat lebih terfokus kepada materialistic worldview dan paradigma beberapa abad. Puncaknya pembahasan tentang metodologi mereka di Vienna circle. Metodologi mereka merujuk kepada unity of science, yang menerapkan prinsip prinsip metodologi ilmu alam ke dalam ilmu-ilmu sosial seperti ilmu ekonomi [48].
            Perjalanan metodologi ilmu ekonomi sekuler menunjukkan perkembangan yang baik setengah abad setelah ilmu ekonomi muncul. Kemudian memperoleh pengakuan beberapa abad setelah itu. Sebaliknya metodologi Islam berdasarkan ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh yang muncul hampir bersamaan sejak Islam muncul. Metodologi ilmu ekonomi Islam sangat menjunjung tinggi keberadaan nilai. Beberapa tokoh ulama dari berbagai macam kelompok/madzhab menggunakan metodologi yang sesuai dengan perkembangan zaman mereka. Namun demikian metodologi yang mereka pakai sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan modern. Sehingga perlu adanya metodologi yang baru dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan demikian studi tentang sejarah Islam penting.
            Meskipun demikian pengaruh filsafat Yunani tidak dapat dihindarkan. Sejarah Islam membuktikan bahwa metodologi Islam berhasil diterapkan oleh para ulama dengan membedakan ilmu ilmu Islam dari ilmu Yunani. Ibnu Sina (‘Ilmu al tadbiri al Manzili)  the Science of House Administration adalah salah satu contoh karya yang berpengaruh kepada karya Aristoteles dalam Aristotle’s Politics [49].
            Untuk mencapai kondisi yang ideal maka perlu pemahaman tentang fondasi etika Islam dan juga metodologi ilmu ekonomi sekuler. Dan perlu kiranya selalu mengikuti perkembangan ilmu ekonomi Islam dan metodologinya, disamping keharusan untuk selalu merujuk kepada sejarah pemikiran ilmu ekonomi Islam.
والله الموفق إلى الصواب






Daftar Pustaka :

            Ahmad, Abdurrahman Yusri, Dirasaat fi ‘ilmi al Iqtishad al Islami, al Daar al Jami’iyah, Iskandariyah, Mesir, 2001

            Al ‘Alwani, Thoha Jabir, Ibn Taimiyah wa Islamiyyatul Ma’rifah, al Ma’had al ‘Alami Li al Fikri al Islami, Virginia, USA, 1994

            Al Faruqi, Isma’il Raji, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan, International Institute of Islamic Thought, 1402 H/1982 M

            As Salus, Ali Ahmad, Al Iqtishad al Islami wal Qadhaya al Fiqhiyah al Mu’ashirah, Daar al Taqwa li an Nasyr wa al Tauzi’, Kairo, Mesir, 1998

            Chapra, Mohamed Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya, 1999

            Chapra, Mohamed Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam, Gema Insani, Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2001

            Haneef, Mohamed Aslam, A Critical Survey of Islamization of Knowledge, International Islamic University Malaysia, 2005

            Journal of the Islamic Economic Forum for Indonesian Development, ISEFID Review, Volume 3, No 3, Jakarta, Desember 2004

            Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 2, Nomor 1, April 2001

            Khan, Muhammad Akram, Islamics Economics, The Islamic Foundation, Leicester, 1991

            Moehammad, Goenawan, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, P3EI UII Yogyakarta, 1999
            Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember 2003

            Nomani, Farhad and Ali Rahnema, Islamic Economic Systems, Business Information Press, Kuala Lumpur, 1995

            Safi, Louay, The Foundation of Knowledge : A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, International Islamic University Malaysia, 1996

            Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam, Pustaka, Bandung, Cetakan 1, 1987

            Siddiqi, Muhammad Nejatulah, Some Aspects of The Islamic Economy, Islamic Publications Ltd, Lahore, Pakistan, 1970

            Sirry, Syeikh Hasan, Al Iqtishad al Islami : mabadi khoshois wa ahdaf, Markaz al Iskandariyah lil Kitab, Iskandariyah, Mesir, 1998

            Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics : Issues and Agenda, IIUM Journal of Economics and Management, Volume 6, No. 2, 1998

            Khalil, `Imaduddin, Madkhal ila Islamiyyati al-Ma`rifah, ma`a mukhathat muqtarah li Islamiyyati `ilmi at-Tarikh, Al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr al-Islami, Cetakan ketiga, Virginia, 2000

            Metwally, M. M, Teori dan Model Ekonomi Islam, pengantar dan penerjemah : M. Husein Sawit, Bangkit Daya Insana, 1995

            Zarqa, Muhammad Anas, Islamization of Economics : The Concept and Methodology, J.KAU : Islamic Economy, Vol. 16, No. 1, 2003


[1]  Isma’il Raji al Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan, International Institute of Islamic Thought, 1402/1982, h : 13-14
[2]   Lihat Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, terjemahan dari Islamic Future : The Shape of Ideas to Come, Pustaka, Bandung,  Cetakan 1, 1987.
[3]  Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan', itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Culture.
[4]  Dalam Islam, Secularisme and the Philosophy of the Future, Mansell, London, 1985.

[5]  Ibid, hal : 127
[6]  Ibid, hal : 128
[7]  Ibid, hal : 130
[8]  Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, ibid, hal : 95
[9]  Ismail al Faruqi mencetuskan ide mendirikan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) bersama dengan Syeikh Thoha Jabir al `Alwani dan Dr. Abdul Hamid Abu Sulaiman, pada tahun 1981, dan mulai aktif pada tahun 1982. Lembaga yang berdiri di Herndon, Virginia, Amerika Serikat itu, kini mempunyai cabang di beberapa negara Islam. Isma`il Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowldge : General Principles and Workplan, International Institute for Islamic Thought, Washington, 1982.
[10]  Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, ibid, hal : 95-96.
[11]  Ibid, hal : 105-106.
[12]  Islamiyyat al-Ma`rifat : Al-Mabadi al-`Amah, Khittat al-`Amal, al-Injazat, Al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr al-Islami, Washington, 2000, hal : 23
[13]  Ibid, hal : 24
[14]  Ibid, hal : 24
[15]  Lihat Islamiyyat al-Ma`rifat, ibid, hal : 24-31 dan M.Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal : 253
[16]  Ibid, hal : 253-254
[17]  Ibid, hal : 255
[18]  Ibid, hal : 255-256
[19]  Ibid, hal : 256

[20]  Islamiyyat al-Ma`rifat, ibid, hal : 28-29.
[21]  Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Response. American Journal of Islamic Social Science (5:1) (1998): 3-11
[22]  Ismail R. Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, ibid, hal : 9
[23] Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics : Seculer Versus Islamic, Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 2, Nomor 1, April 2001, h : 22.
[24]  Diantara yang mengkritik Islamisasi ilmu pengetahuan selain Ziauddin Sardar adalah : Fazlur Rahman, Yasien Muhamed, Seyyed Vali Nasr, dan Hadi Sharifi. Lebih lanjut lihat Mohamed Aslam Haneef, A Critical Survey of Islamization of Knowledge, International Islamic University Malaysia, First Edition, 2005, h : 9.
[25]  Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics : Issues and Agenda, IIUM Journal of Economics and Management, Volume 6, No. 2, 1998, h : 4
[26]  Louay Safi, The Foundation of Knowledge : A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, International Islamic University Malaysia Press, 1996, h : 14.
[27]  Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics..., h : 6.
[28]  Ibid
[29]  Ibid, h : 7
[30]  Al Quran 28 : 77
[31]  Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics..., h : 12.
[32]  Al Quran 88 : 17-20.
[33]  Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics..., h : 12.
[34]  “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. Al Quran 30 : 39.

[35]  Metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari metode yang digunakan dalam suatu kegiatan ilmiah tertentu guna mencapai suatu asas dan kebijakan. Sedangkan metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan. Lihat Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, P3EI FE UII, Yogyakarta, 1999, h : 6-8
[36]  Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in Economics..., h : 18
[37]  Louay Safi, The Foundation of Knowledge, ibid, hal : 15
[38] Abdul Hamid Abu Sulayiman, Islamization of Knowledge with Special reference to Polictical  science, American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 2, no.2, Desember (1985): 263-289
[39]  Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge and Some Methodological Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Science with a Special  Focus on Economics”, American Journal of  Islamic Social Sceince, vol. 4, no. 1, September (1987): 51-57

[40] Muhammad Anas Zarqa, “Islamization of Economics: The Concept and Methodology”, JKAU: Islamic Economic, vol. 16, no 1 (2003): 3-42.
[41] Muhammad Abdul Mannan, “Islamic Economics as a Social Science: Some Methodology Issues” J. Res. Islamic Economics, , vol 1 no 1 (1983): 41-50.
[42]  Shamim Ahmad Siddiqi, “ Suggested Methodology for the Polictical Economy of Islam”, JKAU: Islamic Economic, vol 13, (2001): 3-37.
[43]  Ataul Haq Pramanik, Islamization of Economics: with sSpecial Emphasis on the Operational Aspect.
[44] Sebagaimana diambil dalam Syed Muhammad Naquib al Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam,  An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam Malaysia: International Institute of , Islamic Thought and Civilization, (1995): 1

[45]  Lihat kritikan Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Sorush dan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu Pengetahuan di dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 395-420.
[46]  ibid
[47]  ibid
[48]  Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics...,h : 23
[49]  Ibid, h : 24

1 komentar:

  1. Best Hotels in St. Louis, MO - Mapyro
    Casinos 목포 출장마사지 in St. Louis are: 3 (15) – 7 (11) · 8 (8) · 9 (6) · 10 (15) · 17 진주 출장마사지 (17) · 18 (16) · 19 (17) · 20 (22) · 21 (22) 김해 출장안마 · 하남 출장샵 23 (24) · 24 양주 출장마사지 (26) · 25 (44)

    BalasHapus