Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dalam bidang ekonomi : Dual Education System (Islamic
Studies and Modern Science)
Pendahuluan
Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific
worldview) telah membawa dampak negatif terhadap sisi sisi lain dari peradaban, khususnya dalam bidang epistemologi. Tampaknya, “Westernisasi ilmu
pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini.
Jika hal ini dipahami dengan baik, maka tema “Islamisasi ilmu pengetahuan”
bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek
yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi ilmu
pengetahuan tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan
persoalan epistemologis yang melanda dunia Islam dan tantangan yang menjadi
sumbernya.
Ketika Barat masih dalam kegelapan, mereka mengambil ilmu pengetahuan dari
negara Islam, dan mereduksi
nilai nilai etika Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan pandangan
hidup mereka. Sehingga berkembang sebuah ilmu baru yang sekuler, yang memberikan kontribusi
yang penting dalam kehidupan manusia. Saat ini di berbagai perguruan tinggi di
negara Islam diajarkan buku buku, ideologi dan pandangan hidup barat.
Masyarakat muslim mengalami sebuah proses westernisasi. Keadaan ini harus
berubah, dan kewajiban seorang muslim adalah menguasai ilmu pengetahuan modern,
memahaminya dengan sempurna, untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang dulu telah
diambil oleh barat.[1]
Secara keseluruhan, reaksi reaksi kaum
muslim terhadap penjajahan epistimologi Barat adalah lambat. Mengingat tradisi
kuat dari kritik epistimologi dalam Islam klasik – hampir setiap sarjana
ternama pada masa ini menghasilkan sebuah klasifikasi pengetahuan dan
menguraikan konsep nilai ilmu – ini agak mengherankan. Dalam tahun enam puluhan
dan awal tujuh puluhan, Syed Hossein Nasr merupakan satu-satunya sarjana yang
mengetengahkan suatu perspektif Sufi yang terang terangan, mengenai krisis
epistimologi dalam peradaban Barat di dalam karya seperti Encounter of Man
and Nature.[2]
Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, suatu usaha yang mendapat persetujuan dari
banyak pihak telah dilakukan untuk menemukan kembali unsur unsur utama
epistimologi Islam.
Obsesi utama umat Islam setelah
Perang Dunia ke-2 adalah mempercepat upaya untuk merebut kembali kejayaan Islam
pada masa silam dan meraih kemenangan dalam skala internasional. Hal ini merupakan
poin penting untuk mencapai hasil akhir dari Islamisasi ilmu pengetahuan, yang
dipelopori oleh dua sarjana terkemuka ; Syed Mohammad Naquib Al-Attas dan Isma`il
Raji al-Faruqi menggagas ide tersebut pada tahun 1982.[3] Proyek
tersebut bisa disebut sebagai kunci untuk membuka pintu menuju proyek yang
lebih nyata yaitu membawa dan mengeluarkan umat Islam dari keterbelakangan.
Makalah Al-Attas, `The Dewesternisation of Knowledge`,
adalah salah satu kritik yang mengena terhadap epistimologi Barat.[4]
Al-Attas beragumen bahwa skeptikisme yang mencakup keseluruhan sistem
pengetahuan Barat, yang tidak mengenal batas-batas etika dan nilai, merupakan
antitesis dari epistimologi Islam. Di sini Al-Attas bukan beragumen melawan
keraguan dan skeptikisme per se; dia bahkan setuju dengan filosof dan
ahli epistimologi muslim Al-Ghazali (450-505H), yang mengatakan bahwa `tak
seorang pun yang benar-benar meyakini sesuatu sebelum dia meragukannya` dan
bahwa skeptikisme yang sehat itu penting bagi kemajuan intelektual.
Tetapi argumen Al-Attas bertentangan dengan kerangka
pengetahuan yang mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya demi skeptikisme.
Al-Attas menggambarkan;
`Tampaknya
perlu ditekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan benar-benar dapat
ditanamkan dengan satu sifat lalu dinyatakan sebagai pengetahuan. Toh dalam
kenyataannya, secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan yang sejati, melainkan
penafsirannya melalui prisma, pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi
psikologis dari peradaban itulah yang kini memainkan peranan menentukan dalam
perumusan dan penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah
pengetahuan yang telah diisi dengan sifat dan kepribadian dari peradaban itu –
pengetahuan yang dikemukakan dan diterima sebagai pengetahuan dalam penyamaran
itu secara cermat sekali dileburkan dengan yang asli, sehingga pihak-pihak lain
secara tak sadar benar-benar menganggapnya sebagai pengetahuan sejati per se`.[5]
Al-Attas, sebagaimana para pengkritik muslim masa kini
lainnya atas epistimologi Barat, menyamakan nilai-nilai masa Pencerahan,
gerakan filsafat Prancis abad ketujuh belas, sebagai nilai-nilai asal dari
sains dan teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam memberi sumbangan yang
sangat penting, pada tahap awal evolusinya, pada sains dan teknologi Barat,
tetapi pengetahuan dan semangat ilmiah rasionalnya telah dituang dan dicetak
kembali untuk disesuaikan dengan wadah kebudayaan Barat, sehingga mereka lebur
dan tercampur dengan semua unsur lainnya yang membentuk sifat dan kepribadian peradaban Barat.[6]
Peleburan dan percampuran ini telah
menghasilkan suatu dualisme yang khas dalam pandangan dunia dan nilai-nilai
sistem pengetahuan Barat; suatu dualisme yang tidak dapat diubah menjadi
kesatuan yang selaras, karean dia terbentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan,
kepercayaan, filsafat, dogma doktrin dan teologi yang saling bertentangan, yang
kesemuanya mencerminkan suatu bayangan realitas dan kebenaran dualistik yang
terperangkap di dalam perjuangan yang sia-sia. Dualisme ini telah menghasilkan
suatu ketegangan batin yang kekal dalam kebudayaan dan peradaban Barat, yang
pada gilirannya menghasilkan keinginan yang tak habis-habisnya untuk mencari
dan memulai perjalanan penemuan yang abadi. Menurut Al-Attas, perubahan,
perkembangan dan kemajuan merupakan hasil dari pencarian yang tak
habis-habisnya dan perjalanan yang abadi ini, yang dipacu oleh keraguan dan
ketegangan batin.[7]
Intisari dari argumen Al-Attas
adalah; karena para sarjana dan ilmuwan muslim bekerja mengikuti sistem
pengetahuan Barat, maka mereka hanya dapat mengetengahkan nilai-nilai dan
ketegangan-ketegangan batin kebudayaan dan peradaban Barat. Lembaga pengetahuan
dan sains semacam itu tidak dapat benar-benar memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat muslim atau mengambil akar sosial di dalam dunia muslim.[8]
Sementara Al-Faruqi telah membawa
seluruh proses itu beberapa langkah ke depan dengan jalan menyarankan suatu
rencana sistematis untuk menemukan suatu epistimologi Islam masa kini. Program
Islamisasi ilmu pengetahuannya merupakan hasil dari usaha yang telah
bertahun-tahun dan perdebatan serta pembahasan dalam sejumlah seminar
internasional yang diikutinya.[9] Islamization
of Knowledge mengetengahkan suatu proses bertahap bagi peng-Islaman ilmu
pengetahuan.
Al-Faruqi beragumen bahwa `keresahan
umat` hanya dapat dihilangkan dengan suntikan epistimologi. Tugas yang dihadapi
umat adalah memecahkan masalah pendidikan, yaitu pemuda-pemuda muslim harus
diisi visi Islam dengan jalan memperkenalkan peradaban Islam sebagai kajian
wajib. Banyak sarjana muslim lain yang telah mengemukakan pikiran serupa, dan
dalam beberapa kasus bahkan jauh lebih gigih dibandingkan Al-Faruqi. Tetapi di
dalam Islamisasi ilmu pengetahuan modern, yang merupakan bagian dari seluruh
skema perubahan sistem pendidikan muslim, sumbangan Al-Faruqi tampil ke depan.
Al-Faruqi bukan hanya menginginkan perubahan atas seluruh warisan pengetahuan
manusia dari sudut pendidikan Islam. Dia juga menawarkan suatu metodologi dan
program tindakan untuk melaksanakan hal itu.[10]
Dalam setiap bidang ilmu pengetahuan,
para sarjana muslim masa klasik bekerja dalam pengetahuan dan
paradigma-paradigma perilaku yang didefinisikan secara jelas. Dengan demikian
mereka mampu memadukan sains dari peradaban lain yang mereka warisi. Begitu
sains-sains ini berada di bawah paradigma-paradigma yang dikembangkan oleh para
sarjana muslim, diubah menjadi suatu bentuk yang baru.
Beginilah seharusnya cara para
sarjana dan ilmuwan muslim mengadakan pendekatan terhadap masalah penting dalam
Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan memisahkan etika dan moralitas dari
epistimologinya, peradaban Barat telah menghasilkan seperangkat ilmu
pengetahuan yang tidak mengaitkan dirinya dengan kepentingan Islam menyangkut
perwakilan manusia, kesucian alam, keadilan sosial, kepentingan umum dan usaha
menggapai ridha Allah swt. Perangkat ilmu pengetahuan ini dan disiplin-disiplin
yang berhubungan dengannya tentu saja akan mendahulukan kepentingan-kepentingan
dan kesejahteraan peradaban Barat dan sulit untuk dapat di-Islamkan.
Tugas yang dihadapi cendekiawan
muslim karenanya adalah mengembangkan – dengan menggunakan epistimologi Islam –
paradigma-paradigma alternatif bagi ilmu pengetahuan, baik untuk ilmu-ilmu alam
maupun ilmu-ilmu sosial dan menyusun serta mencetak disiplin-disiplin yang
paling relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim masa kini. Setelah
paradigma-paradigma Islam yang khas dan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengannya berhasil dikembangkan, barulah para sarjana muslim
dapat merenungkan cara-cara untuk mencapai perpaduan di atas landasan yang kuat
dengan ilmu pengetahuan yang diciptakan peradaban Barat.[11]
Keresahan
umat Islam dalam bidang ekonomi
Saat ini umat Islam berada dalam
level terbawah bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, umat Islam
mengalami kekalahan yang bertubi-tubi. Akibat dari kekalahan beruntun ini, umat
Islam ditindas dengan berbagai macam penindasan; dibunuh, diambil harta
kekayaannya, diusir dari tanah kelahirannya dan direkayasa sedemikian rupa agar
tidak mempunyai harapan dalam hidup.[12]
Semua bentuk penindasan ini berada dibalik imperialisme Barat, dengan segala
bentuknya.
Di dalam kekejaman imperialisme ini
juga terdapat pemaksaan kehendak terhadap umat Islam untuk mempercayai atau
mengikuti suatu doktrin atau ideologi tertentu. Umat Islam sengaja dijauhkan dari
kebudayaan, peradaban dan lebih jauh dari identitas mereka, inilah realitas
umat Islam – yang dulu pernah menjadi pelopor kemajuan umat manusia. Tidak
cukup sampai di sini saja, musuh-musuh Islam dengan sengaja merendahkan umat Islam
dengan cara mendistorsikan sejarah Islam yang penuh dengan kegemilangan,
menjadi gambaran yang sangat keji dan menakutkan. Sekedar contoh bahwa saat ini
pers Barat dengan sangat mudah mendiskripsikan seorang muslim dengan sebutan
`teroris`, radikal, out of law, primitif dan lain sebagainya.[13]
Secara umum, umat Islam saat ini
menjadi sasaran kebencian dan sifat iri dengki dari hampir seluruh non muslim,
baik mereka yang berada di negara maju maupun negara berkembang, negara
kapitalis maupun sosialis. Dunia Islam saat ini identik dengan peperangan,
perpecahan dalam negeri, perang saudara, yang pada gilirannya dianggap
membahayakan dan menjadi ancaman nyata terhadap keamanan dan perdamaian dunia.
Lebih dari itu, dunia Islam dianggap sebagai `orang yang sakit` dalam sebuah
komunitas masyarakat dunia modern, dan agama Islam dituduh sebagai akar permasalahan
dari segala malapetaka tersebut.[14]
Ada beberapa fenomena dari malaise
of ummah yang dihadapi umat Islam saat ini, diantaranya;[15]
1. Kemunduran Politik dan Moral.
Setelah mencapai puncak
kebesarannya, masyarakat muslim kehilangan momentumnya karena masalah
kemunduran politik dan moral. Yang pertama kali runtuh adalah institusi
kekhalifahan, yang mencerminkan sistem politik Islam dalam bentuknya yang
ideal. Secara umum ia digantikan oleh otokrasi dan pemerintahan berdasarkan
keturunan, yang hanya sedikit sekali mempraktekkan ketentuan demokrasi Islam
mengenai syura, dan yang menghimpun sepanjang masa semua keburukan
penguasa. Sekalipun ikatan emosional kepada keimanan tetap ada, akan tetapi
ketaatan kepada ajaran Islam terus berkurang.[16]
2. Kemunduran Ekonomi.
Dengan melemahnya persaudaraan dan
persamaan sosial, masyarakat muslim menjadi semakin terstruktur dan
berorientasi status. Keadilan sosio-ekonomi, tanda yang menonjol dari
masyarakat muslim sejati, menjadi korban utama dan peluang untuk bangkit secara
vertikal benar-benar telah menurun. Kemungkinan memperoleh imbalan yang adil
atas kerja keras dan sungguh-sungguh dan memperoleh pengakuan yang semestinya,
telah dihapus, hilang bersamanya sebagian besar orang-orang yang cakap dan
berkemampuan, desakan untuk menjadi kreatif dan bekerja keras demi kemajuan.
Sebaliknya korupsi dan penggunaan sarana yang tidak semestinya untuk memperoleh
segala sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan atau memenuhi tuntutan dari
kebiasaan yang tidak sehat dan gaya hidup mahal menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat. Dengan begitu korupsi semakin merajalela.[17]
Dalam persaingan dengan
produktifitas negara Islam, negara asing selalu mencari dan selalu berhasil
membuka peluang pasar. Ketika suatu industri berkembang dengan bantuan negara
asing, maka akan menghasilkan sesuatu yang sangat bergantung kepada bahan bahan
mentah yang dimiliki oleh negara asing tersebut. Dengan demikian negara asing
bertambah kuat dan terjadi hegemoni terhadap negara negara Islam.
Sebagai contoh, di sektor pertanian
yang merupakan mata pencaharian utama kebanyakan negara-negara muslim, para
petani penyewa tanah dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian, yang berpotensi
untuk menjadi wiraswastawan yang dinamis, benar-benar menjadi budak dari para
tuan tanah, yang kebanyakan telah memperoleh bagian tanah yang luas melalui
tipu daya dan loyalitas mereka kepada penjajah dan penguasa setempat. Mereka
tidak mempunyai modal untuk meningkatkan penghasilan, bahkan mereka juga tidak
punya sarana untuk melakukan investasi yang diperlukan, karena itulah sektor
pertanian tidak mengalami kemajuan dan tetap terbelakang.[18]
Dalam sektor industri, para
pengrajin telah dimiskinkan oleh kebijakan-kebijakan para penguasa kolonial, dimana
kekuasaan penjajah menjadikan negara-negara jajahan sebagai pasar untuk
produksi industri perusahaan mereka. Dan kekuasaan penjajah sengaja mengambil
langkah-langkah tertentu untuk menghambat dan menghalangi pertumbuhan industri
pribumi. Para petani, pengrajin dan buruh adalah sama rasionalnya, baik di
negara-negara muslim maupun dimana saja dan dapat menanggapi insentif ekonomi.
Kekurangan motivasi, kreatifitas, kesungguhan, efisiensi dan produktivitas yang
tinggi bukan merupakan watak masyarakat muslim, akan tetapi ini semua
ditanamkan dalam diri mereka oleh lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang
tidak adil.[19]
3. Kemunduran Kebudayaan.
Kebodohan, mitos dan buta huruf yang
melanda umat Islam sebagai akibat dari keterbelakangan dan kemunduran selama
berabad-abad, membuat masyarakat muslim menyerah dalam formalitas iman yang
kaku, dan terlena pada dogma agama tanpa memahami sumber legalitasnya (al-taqlid
al-a`ma). Hal inilah yang mengakibatkan kelemahan dan ketidakberdayaan
dalam menghadapi tantangan dan pengaruh dunia luar. Ketidakberdayaan ini
mendorong mereka untuk mencari solusi ideal atas permasalahan yang mereka
hadapi, mereka tanpa kesadaran dan pemahaman yang benar, mengadopsi pemikiran
dan pengalaman Barat dan menganggapnya sebagai tongkat sihir yang bisa merubah
keadaan mereka dalam sekejap.[20]
Kontroversi
seputar Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi.
Sarjana
muslim mengunakakan definisi beragam mengenai Islamisasi pengetahuan sekaligus
proses bagaimana melakukan Islamisasi pengetahuan. Walaupun ada juga yang tidak
setuju dengan upaya untuk Islamisasi pengetahuan, seperti halnya Fazlur
Rahman, dalam the America Journal of Islamic Social Science (AJISS)
dengan judul Islamization of knowledge: A Response. Ia berpendapat bahwa
pengetahuan kontemporer itu mereflesksikan etos Barat, namun dengan tegas ia
berpendapat bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau
memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahuan Islami.[21] Menurutnya, satu-satunya harapan umat Islam untuk
menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat Islam.
Sementara
bagi banyak di antara sarjana muslim yang mendukung Islamisasi pengetahuan
mengunakan pemikiran Ismail Raji al Faruqi yang tertuang dalam Islamization
of Knowledge: General Principles and Work Plan. Faruqi
mengungkapkan dua faktor yang menyebabkan kondisi umat yang tidak
menguntungkan secara terus menerus – kondisi yang dia sebut dengan malaise
of ummah yakni arus dualitas sekuler religius sistem pendidikan dalam
masyarakat muslim dan tidak adanya pandangan yang jelas untuk menunjukkan dan
mengarahkan tindakan umat Islam.[22] Menurutnya peremajaan umat kembali tergantung pada
integrasi ilmu-ilmu Islam dan sekuler, secara singkat, mengakhiri
dualitas pendidikan.
Ada kontroversi seputar Islamisasi
ilmu pengetahuan, dimana ada dua kelompok besar [23].
Kelompok pertama adalah pendukung Islamisasi ilmu pengetahuan. Sedangkan
kelompok kedua adalah yang menentang gagasan ini. Ismail al Faruqi dan The
International Institute of Islamic Thought (IIIT)-nya adalah pencetus gagasan
besar ini. Sedangkan Ziauddin Sardar dan “Ijmali” nya mewakili
kelompok yang tidak sependapat dengan ide tersebut [24].
Bagi Ziauddin Sardar Islamisasi ilmu
pengetahuan tidak bisa diartikan sebagai Islamisasi ilmu ekonomi atau
Islamisasi disiplin ilmu yang lain, selama masih memakai metodologi barat atau
metodologi lain. Berarti ekonomi Islam tidak boleh bertentangan dengan
interpretasi klasik dari syariah, asumsinya adalah terciptanya masyarakat Islam
yang diakui eksistensinya. Islamisasi ilmu pengetahuan harus menghasilkan
bentuk ekonomi Islam yang murni.
Menurut Zubeir Hasan kedua pendapat
ini tidak ada yang salah, dan semuanya berguna dalam proses pengembangan
ekonomi Islam. Ismail al Faruqi melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan bisa
dilakukan tahap demi tahap atau dengan evolutionary approach. Dengan
cara memodifikasi ilmu pengetahuan sekuler secara bertahap, dan dengan membuka
kembali pintu ijtihad sesuai dengan kebutuhan kehidupan modern. Hal ini
bertentangan dengan Sardar yang berpendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
harus dilakukan secara menyeluruh atau tidak sama sekali, yaitu dengan memakai pure
approach.[25]
Tidak ada yang lebih baik dari yang
lain dari semua pendapat tadi, karena setiap teori hanya berguna bagi tujuan
dan target dari teori tersebut. Sulit untuk bisa menilai mana yang benar atau
salah dari kedua kelompok tersebut. Yang lebih penting untuk dikaji adalah
bagaimana mencari kemungkinan yang paling tepat untuk menerapkan nilai syariah
untuk ilmu ekonomi dan ilmu ilmu yang lain.
Kesimpulannya bahwa tujuan akhir
dari Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk generalisasi ilmu ekonomi Islam
yang murni, dan jalan untuk menuju hal tersebut masih panjang. Dalam
perkembangan teorinya, meminjam alat analisa ilmu ekonomi barat penting, tetapi
hal itu tidak cukup. Muhammad Arief menambahkan penggabungan berbagai teori
dengan menggunakan Methodology of Scientific Research Programme (MSRP)
penting, sehingga ketergantungan terhadap natural sciences bisa
dihilangkan, atau setidaknya bisa dikurangi. Arief menawarkan penggabungan
antara wahyu dengan scientific research, agar ulama muslim terbebas dari
epistimologi barat yang menyesatkan [26].
Permasalahan seputar Islamisasi ilmu ekonomi.
Ada
3 hal yang perlu dibahas dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi
;
Pertama,
perbedaan pandangan hidup, Kedua,
hubungan antara wahyu dan akal, dan Ketiga adalah pertanyaan seputar metodologi
[27].
Ada hal lain yang tidak termasuk dalam tiga hal diatas yaitu pentingnya
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi dan outline tentang langkah
kongkret.
Pandangan
hidup orang barat memisahkan urusan dunia dari agama, sebaliknya pandangan
hidup orang Islam menggabungkan antara dunia dan agama. Hal inilah yang membuat
perbedaan antara Islam dengan barat dalam hal tujuan, ruang lingkup dan prinsip
ekonomi.
Akal
adalah kebenaran mutlak, dan dijadikan sebagai dasar atau rujukan bagi teori
ekonomi sekuler. Sedangkan Islam menganjurkan orang untuk menggunakan akal
dalam menganalisa, mengobservasi dan membuat kongklusi, sehingga bisa menemukan
kebenaran. Dalam hubungannya dengan syari’ah, akal tidak boleh
menyimpang dari wahyu. Namun demikian dalam kenyataannya prosedur dan aplikasi
suatu teori terkadang sama antara ekonomi Islam dan ekonomi sekuler.
Metodologi
ekonomi sekuler lebih menitikberatkan kepada perkembangan ilmu selanjutnya. Dan
ini sangat bervariasi bila dilihat secara rasional apa sebenarnya yang sudah
dihasilkan oleh ilmu ekonomi dalam beberapa abad terakhir. Sehingga hal ini
menguatkan doktrin yang berkembang pada kalangan mereka tentang kebebasan
bertindak (free enterprise) [28].
Sebaliknya dalam ekonomi Islam doktrin yang digunakan sudah ada dalam wahyu,
maka tugas kita adalah menggali kembali wahyu tersebut dan bukan untuk
menemukan wahyu yang baru. Hal inilah sebenarnya yang menjadi ketetapan dalam
metodologi ekonomi Islam. Tidak seperti kebebasan yang dianut oleh Barat,
perbedaannya adalah mereka berangkat dari metodologi, kemudian menuju ilmu
ekonomi dan bukan sebaliknya.
A. Perbedaan worldview
Bagi
barat,
pandangan hidup diartikan secara konstektual, dan tidak bisa diterangkan,
kecuali dengan memberikan spesifikasi pandangan hidup siapa, kapan dan dengan
tujuan apa. Pembahasan tentang pandangan hidup selalu merujuk kepada persepsi
seseorang dalam memandang dunia. Manusia mendapatkan berbagai macam pandangan
hidup dalam sebuah masyarakat sesuai dengan jumlah komunitas masyarakat
tersebut, sehingga hal semacam ini tidak bisa dijadikan disiplin ilmu. Maka
manusia hendaknya memahami perbedaan pandangan hidup dan perbedaan sistem
sosial yang ada dalam sebuah komunitas. Setiap individu bisa tetap bertahan
dengan pandangan hidup yang bermacam macam, akan tetapi mereka harus mengikuti
pandangan hidup dan norma norma yang berlaku di masyarakat.
Sementara
dalam Islam pandangan hidup dibentuk oleh wahyu sehingga menjadi fleksibel,
akan tetapi bukan berarti bisa digantikan atau dirubah. Sebaliknya barat
mempunyai apa yang disebut scientific view yang berdasarkan akal dan
bisa dirubah.[29]
Islam tidak membatasi persepsi individu yang sesuai dengan keinginannya, hanya
saja Islam mewajibkan individu untuk menjalankan kepentingan duniawi
berdasarkan keimanan dan menjalankan syariah yang sudah ditetapkan. Karena
semua yang dilakukan oleh individu akan dihisab di akherat, setiap individu
akan menerima pahala dan hukuman sesuai tindakannya. Islam memberi kebebasan kepada
individu dan mengajarkan untuk hidup bahagia di dunia dan akherat. Pandangan
hidup Islam memisahkan antara hidup di dunia dan di akherat, dan akherat adalah
arti kehidupan yang sebenarnya. Sementara kehidupan dunia adalah persiapan
untuk kehidupan di akherat, segala sesuatu dalam Islam berujung kepada
kehidupan akherat, tanpa harus meninggalkan urusan duniawi [30].
B. Hubungan antara wahyu dan akal.
Hubungan
antara wahyu dan akal mungkin bisa ditinjau dalam dua segi, yang pertama menurut
Islam ; penggunaan akal dengan tujuan untuk memahami wahyu, dan yang kedua menurut
barat adalah penggunaan akal sebagai alat untuk menolak wahyu. Arti akal ada
dua perbedaan, yang pertama pandangan monistic Islam, yaitu mengunakan akal
dalam bingkai agama dan ilmu. Yang kedua pandangan sekuler, yaitu menolak
penyatuan agama dan ilmu. Bagi barat agama dan ilmu adalah sesuatu yang
terpisah, barat hanya memakai akal dan menolak keberadaan agama dalam akal [31].
Menurut
Islam,
akal adalah kemampuan yang diberikan oleh Allah kepada individu untuk memahami
alam semesta beserta isinya. Akal membuat perbedaan antara manusia dan alam
ghaib, dengan akal manusia seharusnya bisa menemukan tujuan hidupnya. Dalam
Islam ada dasar dasar pemikiran tentang konsep Allah, seperti yang telah
tertera dalam wahyu, tidak seperti barat yang mengagungkan akal. Islam tidak
melihat alam hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi Islam memandang alam semesta
lebih dalam (deeper significance). Dalam Al Quran alam semesta
adalah dunia dan isinya, manusia dituntut untuk memahami, berfikir dan
mengambil kesimpulan dari hikmah keberadaan alam semesta [32].
Akal
adalah berkah, sinar pencerah (cosmic relevance) dan simbul adanya Tuhan,
sehingga manusia lebih mengerti dan menerima keberadaan Tuhan melalui
ciptaan-Nya. Akal meminta individu untuk beriman dan mengagungkan nilai nilai
seperti keindahan, cinta, al ihsan dan pengorbanan. Hal ini membuktikan bahwa
akal memperhatikan semua aspek kehidupan, tidak hanya rasionalitas. Contoh
bahwa akal menuntut individu untuk beriman tatkala Nabi Ibrahim tanpa keraguan
menceburkan diri ke dalam api yang di depan raja Namrad. Contoh dari cinta,
raja Edward VIII yang merelakan tahtanya hanya untuk menikah dengan wanita yang
dicintai, contoh pengorbanan adalah Neitzche filosuf terkemuka, rela
mengorbankan diri untuk melindungi seekor kuda yang tidak berdaya karena
kebrutalan tuannya. Dengan demikian akal menciptakan idealisme, sistem dan
revolusi, dan dalam Islam kebijaksanaan yang agung (the divine wisdom) terwujud
dalam satu kesatuan [33].
Dalam
ekonomi Islam individu yang mengeluarkan zakat (shadaqah) sebenarnya
mendapatkan keuntungan, meskipun menurut akal keuntungan tersebut dipandang
sebagai sebuah kehilangan. Hal ini bisa dilihat dalam Al Quran 30 : 39 [34].
C. Metodologi
Metodologi ekonomi meliputi beberapa
kriteria, aturan dan prosedur yang sudah dikembangkan oleh para ahli filsafat
dalam beberapa abad terakhir. Pengembangan metodologi ekonomi meliputi arti,
ruang lingkup dan hasil yang bisa dicapai. Metodologi ekonomi adalah bagian
dari ilmu
ekonomi yang memiliki hubungan yang erat seperti halnya hubungan antara ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh. Namun
demikian tidak seperti hubungan antara Ushul Fiqh dan Fiqh, hubungan antara
metodologi ekonomi dan ilmu
ekonomi masih rancu (tidak beraturan).
Diperkirakan kerancuan tadi terjadi karena kegagalan dalam menjaga tema
tema seputar metodologi yang melenceng dari metode [35].
Metodologi harus memperhatikan
metode, tetapi tidak termasuk dalam kategori metode itu sendiri. Metodologi
merupakan rangkuman singkat untuk mencari dan mengolah data yang berasal dari
luar ilmu ekonomi. Metodologi juga merupakan cara untuk memilih metode apa yang
paling sesuai untuk digunakan dalam ilmu ekonomi, bagaimana menjalankannya, dan
apa yang bisa dihasilkan dari suatu metode tadi. Sekelompok individu yang
melakukan penelitian bisa jadi memakai metode yang sama, akan tetapi metodologi
yang mereka pakai berbeda. Sebaliknya bisa juga metodologi mereka sama tapi
metode yang mereka pakai berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena ada
perbedaan cara pandang terhadap suatu masalah, maka penting untuk dicatat
adanya penyimpangan dalam metodologi.
Prinsip pengembangan metodologi di
barat bertujuan untuk membentuk ekonomi apa yang bisa diterapkan setelah
menganalisa apa saja yang sudah dihasilkan oleh ekonomi dalam beberapa abad
(posterior evolution). Sedangkan dalam Islam, metodologi yang benar tergantung
kepada jawaban atas pertanyaan : What do we know? What is the source of our
knowledge? How do we know that what we know is correct?. Dari sini bisa
dilihat perbedaan metodologi dari topik topik ekonomi dan kontribusi Islam yang
muncul dari perbedaan jawaban atas pertanyaan pertanyaan di atas [36].
Problem
metodologi dan Islamisasi ekonomi
Dalam suatu makalah yang dipresentasikan dalam International
Conference on Islamic Metodologi and Behavioural and Education Science ke-4
yang diselenggarakan di Khartoum, Sudan pada tahun 1987 dan
kemudian di terbitkan oleh IIIT. Muhammad Said al Butti berpendapat bahwa
metode ilmiah adalah suatu fakta (haqiqah) yang memiliki
dunia objektif. Sebagaimana seluruh material ia memiliki watak yang pasti,
bersifat independent secara sempurna baik dalam struktur maupun
esksitensinya dari pemikiran dan penalaran manusia. Menurut al
Buti, objektivitas dan sifat permanen metode ilmiah ditentukan oleh
fungsinya. Karena metode ilmiah merupakan suatu instrumen, suatu skala untuk
memastikan kekuatan dan kebenaran pemikiran, maka validitas mestinya
terlepas dari proses berpikir itu sendiri. Oleh karena itu al Buti
berkesimpulan bahwa metode ilmiah dapat dimodifikasi dan atau
diubah oleh akal.[37]
Pernyataan al Buti seolah menjawab problem yang dikemukakan
oleh Abdul Hamid Abu Sulayman dalam Islamization of Knowledge,
ia mengkaitkan krisis intelektual muslim modern dengan ketidakcukupan
metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang
memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata
linguistik dan legalistik. Menurut Abu Sulayman, krisis (pemikiran Islam) juga
terletak dalam karakter metode penelitian Islami kita yang dibatasi pada
studi-studi tekstual atas bahasa, tradisi-tradisi dan juga jurisprudensi
ortodok. Dua sikap itu terwujud dalam kecenderungan kita menganggap faqih
(jurist) dalam pengertian historis sebagai orang yang mampu
memecahkan krisis pemikiran, kebudayaan dan pengetahuan.[38]
Kemudian, untuk menemukan metodologi ekonomi Islam
telah dilakukan oleh beberapa sarjana dengan mengunakan berbagai pendekatan.
Semua pemikiran yang disumbangkan oleh sarjana muslim tersebut kebanyakan baru
sebatas upaya mengolah idealita. Dalam sebuah makalah yang berjudul the
Islamiation of Knowledge and some methodological issue in Paradigm
Building. Muhammad Arif memaparkan dan sekaligus menerapkan
prosedur untuk membangun suatu paradigma atau pandangan
Islami. Arif menyatakan bahwa usaha untuk mengembangkan hubungan wahyu ke
dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana muslim dari
paksaan epistomologi Barat. Karena epistomologi yang ditawarkan al Faruqi
terlalu luas, Arif mengakui perlunya derivasi serangkaian prinsip yang
lebih spesifik yang dapat mengarahkan penelitian ekonomi.[39]
Sementara itu Muhammad Anas Zarqa dalam Islamization
of Economics: The Concept and Methodology mengungkapkan bahwa Islamisasi
ekonomi merupakan relasi antara Islam dan ekonomi. Dimana Islam sebagai
pernyataan normatif yang berperan sebagai petunjuk di dalam berbagai disiplin
akademi.[40]
Sarjana lain yang mengungkapkan model pendekatan
Islamisasi ekonomi adalah Mannan(1983),[41]
yang mengunakan 7 (tujuh) langkah dalam mengembangkan teori dan praktek ekonomi
Islam, Mannan memulai dengan menidentifikasi tiga dasar fungsi ekonomi;
konsumsi, produksi dan distribusi, sedangkan langkah akhir dari formula Mannan
adalah adalah melakukan evaluasi dari proses keberlangsungan langkah
sebelumnya. Sementara Siddiqi (2001),[42]
mengungkapkan bahwa Islamic economists should be more heedful in their
critism to neoclassical economics. It is noted that a familiarity with the
critical literature on neoclassic economica emanating from witthin the
western world may provide important insights that could be helpful
in finding aur own solutions.
Pramanik(2005)[43]
dalam Islamization of Economics; with Special Emphasis on the Operational
Aspect menyatakan pandangannya mengenai teori dan dasar ekonomi idea
dilihat dari sekular wordview dan Islamic worldview. Pembahasan
mendalam mengenai Islamic World View di dalam ekonomi terdapat dalam tulisan
Zubair Hasan (1998), Zubair menyatakan bahwa the Islamic worldview links
inseparably the life in this world (al-dunya) with the life in the hereafter
(al-akhirah), the latter being of ultimate significance. The dunya aspect of
human life is seen as a preparation for its akhirah aspect. "Everything in
Islam is ultimately focused on the akhirah aspect without thereby implying any
attitude of neglect or being unmindful of the dunya aspect."[44]
The notion centers around the Islamic concepts of tawhid, vicegerency, and al-‘adl.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dari beberapa pemikir
Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul
Karim Soroush dan Bassam Tibi [45].
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diIslamkan karena tidak ada
yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penyalahgunaaan. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua
kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati
dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar
ketika memperolehnya.
Fazlur Rahman tepat dengan menyatakan ilmu pengetahuan akan tergantung
kepada cara menggunakannya. Bagaimanapun, Fazlur Rahman tampaknya mengabaikan
jika konsep dasar mengenai ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas
pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan
dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang
ilmu pengetahuan.
Selain itu pemikiran sekular tampaknya juga hinggap dalam pemikiran Fazlur
Rahman [46]. Hal ini tampak jelas,
ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu mencapai tingkat final yaitu keyakinan. Ia
menyatakan: “Jelas bukan suatu keharusan penafsiran tertentu sekali diterima
harus selalu diterima; akan selalu ada ruang dan keharusan untuk
penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”
Berbeda dengan Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan ilmu
pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk
direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru
hanya benar terkait dengan aspek-aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Kritikan terhadap
Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Sorush. Ia
menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin
(the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge).
Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebenaran untuk
hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, Sains
sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Para
filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam.
Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage).
Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode
metafisis, empiris atau logis adalah independent dari Islam atau agama apa pun.
Metode tidak bisa di-Islamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa di-Islamkan. Kebenaran
adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa di-Islamkan; (3)
Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari
kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan
presupposisi dalam sains tidak bisa di-Islamkan [47].
Pandangan-alam yang terkandung dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah
realitas sebagai sebuah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian
terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah.
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both
permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in the sense that there is
something permanent whereby change occurs.
Islamisasi ilmu pengetahuan juga dianggap
sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam
Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim
universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali
(nilai-nilai) local untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi. Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi
sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi
bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan
Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis
dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan
Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal
yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan
disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain.
Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga
mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam
Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan
lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Kesimpulan
Perbandingan metodologi ekonomi
Islam dan ekonomi sekuler dalam berbagai topik ada pada perbedaan nilai etika
yang mengilhami masing masing, metodologi ekonomi sekuler dan juga ilmu ilmu
sekuler yang lain tidak mempunyai nilai etika. Barat lebih terfokus kepada materialistic
worldview dan paradigma beberapa abad. Puncaknya pembahasan tentang
metodologi mereka di Vienna circle.
Metodologi mereka merujuk kepada unity of science, yang menerapkan prinsip prinsip metodologi
ilmu
alam
ke dalam
ilmu-ilmu
sosial seperti ilmu
ekonomi
[48].
Perjalanan metodologi ilmu ekonomi
sekuler menunjukkan perkembangan yang baik setengah abad setelah ilmu ekonomi
muncul. Kemudian memperoleh pengakuan beberapa abad setelah itu. Sebaliknya
metodologi Islam berdasarkan ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh yang muncul hampir
bersamaan sejak Islam muncul. Metodologi ilmu ekonomi Islam sangat menjunjung
tinggi keberadaan nilai. Beberapa tokoh ulama dari berbagai macam kelompok/madzhab
menggunakan metodologi yang sesuai dengan perkembangan zaman mereka. Namun
demikian metodologi yang mereka pakai sudah tidak sesuai dengan perkembangan
ilmu dan pengetahuan modern. Sehingga perlu adanya metodologi yang baru dalam
bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan demikian studi tentang sejarah Islam
penting.
Meskipun demikian pengaruh filsafat
Yunani tidak dapat dihindarkan. Sejarah Islam membuktikan bahwa metodologi
Islam berhasil diterapkan oleh para ulama dengan membedakan ilmu ilmu Islam
dari ilmu Yunani. Ibnu Sina (‘Ilmu al tadbiri al Manzili) the Science of House Administration
adalah salah satu contoh karya yang berpengaruh kepada karya Aristoteles dalam Aristotle’s
Politics [49].
Untuk mencapai kondisi yang ideal
maka perlu pemahaman tentang fondasi etika Islam dan juga metodologi ilmu
ekonomi sekuler. Dan perlu kiranya selalu mengikuti perkembangan ilmu ekonomi
Islam dan metodologinya, disamping keharusan untuk selalu merujuk kepada
sejarah pemikiran ilmu ekonomi Islam.
والله الموفق إلى الصواب
Daftar
Pustaka :
Ahmad,
Abdurrahman Yusri, Dirasaat fi ‘ilmi al Iqtishad al Islami, al Daar al
Jami’iyah, Iskandariyah,
Mesir, 2001
Al
‘Alwani, Thoha Jabir, Ibn Taimiyah wa Islamiyyatul Ma’rifah, al Ma’had
al ‘Alami Li
al Fikri al Islami, Virginia, USA, 1994
Al
Faruqi, Isma’il Raji,
Islamization of Knowledge : General Principles and
Workplan, International Institute of Islamic
Thought, 1402 H/1982 M
As Salus, Ali Ahmad, Al Iqtishad
al Islami wal Qadhaya al Fiqhiyah al Mu’ashirah, Daar al Taqwa li an
Nasyr wa al Tauzi’, Kairo, Mesir, 1998
Chapra,
Mohamed Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti,
Surabaya, 1999
Chapra, Mohamed Umer, Masa Depan
Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam, Gema Insani, Jakarta, Cetakan
Pertama, Desember 2001
Haneef,
Mohamed Aslam, A Critical Survey of Islamization of Knowledge,
International Islamic
University Malaysia, 2005
Journal
of the Islamic Economic Forum for Indonesian Development, ISEFID Review, Volume
3, No 3, Jakarta, Desember 2004
Jurnal
Ekonomi & Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 2,
Nomor 1, April 2001
Khan,
Muhammad Akram, Islamics Economics, The Islamic Foundation, Leicester, 1991
Moehammad, Goenawan, Metodologi
Ilmu Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, P3EI UII Yogyakarta, 1999
Naqvi,
Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, Desember
2003
Nomani,
Farhad and Ali Rahnema, Islamic Economic Systems, Business Information
Press, Kuala
Lumpur, 1995
Safi,
Louay, The Foundation of Knowledge : A Comparative Study in Islamic and
Western Methods
of Inquiry, International Islamic University
Malaysia, 1996
Sardar, Ziauddin, Masa Depan
Islam, Pustaka, Bandung, Cetakan 1, 1987
Siddiqi, Muhammad Nejatulah, Some
Aspects of The Islamic Economy, Islamic Publications Ltd, Lahore, Pakistan,
1970
Sirry,
Syeikh Hasan, Al Iqtishad al Islami : mabadi khoshois wa ahdaf, Markaz
al Iskandariyah
lil Kitab, Iskandariyah, Mesir, 1998
Zubeir
Hasan, Islamization of Knowledge in Economics : Issues and Agenda, IIUM
Journal of Economics
and Management, Volume 6, No. 2, 1998
Khalil, `Imaduddin, Madkhal ila
Islamiyyati al-Ma`rifah, ma`a mukhathat muqtarah li Islamiyyati `ilmi at-Tarikh,
Al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr al-Islami, Cetakan ketiga, Virginia, 2000
Metwally, M. M, Teori dan Model
Ekonomi Islam, pengantar dan penerjemah : M. Husein Sawit, Bangkit Daya
Insana, 1995
Zarqa, Muhammad Anas, Islamization
of Economics : The Concept and Methodology, J.KAU : Islamic Economy, Vol.
16, No. 1, 2003
[1] Isma’il Raji al Faruqi, Islamization
of Knowledge : General Principles and Workplan, International Institute of
Islamic Thought, 1402/1982, h : 13-14
[2] Lihat Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam,
terjemahan dari Islamic Future : The Shape of Ideas to Come, Pustaka,
Bandung, Cetakan 1, 1987.
[3] Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk
memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar
'Islamisasi ilmu pengetahuan', itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di
majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai
bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah
dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical
Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue
of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas
of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Culture.
[4] Dalam Islam, Secularisme and the
Philosophy of the Future, Mansell, London, 1985.
[6] Ibid, hal : 128
[7] Ibid, hal : 130
[9] Ismail al Faruqi mencetuskan ide mendirikan The
International Institute of Islamic Thought (IIIT) bersama dengan Syeikh
Thoha Jabir al `Alwani dan Dr. Abdul Hamid Abu Sulaiman, pada tahun 1981, dan
mulai aktif pada tahun 1982. Lembaga yang berdiri di Herndon, Virginia, Amerika
Serikat itu, kini mempunyai cabang di beberapa negara Islam. Isma`il Raji
Al-Faruqi, Islamization
of Knowldge : General Principles and Workplan, International Institute for
Islamic Thought, Washington, 1982.
[10] Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, ibid,
hal : 95-96.
[11] Ibid, hal : 105-106.
[12] Islamiyyat al-Ma`rifat :
Al-Mabadi al-`Amah, Khittat al-`Amal, al-Injazat, Al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr
al-Islami, Washington, 2000, hal : 23
[13] Ibid, hal : 24
[14] Ibid, hal : 24
[15] Lihat Islamiyyat al-Ma`rifat, ibid, hal : 24-31 dan
M.Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal : 253
[17] Ibid, hal : 255
[18] Ibid, hal : 255-256
[20] Islamiyyat al-Ma`rifat, ibid, hal :
28-29.
[21] Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A
Response. American Journal of Islamic Social Science (5:1) (1998): 3-11
[23]
Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics : Seculer Versus Islamic,
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 2, Nomor 1, April 2001, h : 22.
[24] Diantara yang mengkritik Islamisasi ilmu
pengetahuan selain Ziauddin Sardar adalah : Fazlur Rahman, Yasien Muhamed,
Seyyed Vali Nasr, dan Hadi Sharifi. Lebih lanjut lihat Mohamed Aslam Haneef, A
Critical Survey of Islamization of Knowledge, International Islamic
University Malaysia, First Edition, 2005, h : 9.
[25] Zubeir Hasan, Islamization of Knowledge in
Economics : Issues and Agenda, IIUM Journal of Economics and Management, Volume 6, No. 2, 1998, h :
4
[26] Louay Safi, The Foundation of
Knowledge : A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry,
International Islamic University Malaysia Press, 1996, h : 14.
[34] “Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. Al Quran 30 : 39.
[35] Metodologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari metode yang digunakan dalam suatu kegiatan ilmiah
tertentu guna mencapai suatu asas dan kebijakan. Sedangkan metode adalah cara
yang teratur dan terpikir baik baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan.
Lihat Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam : Suatu Pengantar,
P3EI FE UII, Yogyakarta, 1999, h : 6-8
[37] Louay Safi, The Foundation of Knowledge,
ibid, hal : 15
[38] Abdul Hamid
Abu Sulayiman, Islamization of Knowledge with Special reference to
Polictical science, American Journal of Islamic Social Sciences. Vol.
2, no.2, Desember (1985): 263-289
[39] Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge and Some
Methodological Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Science
with a Special Focus on Economics”, American Journal of Islamic
Social Sceince, vol. 4, no. 1, September (1987): 51-57
[40] Muhammad Anas Zarqa, “Islamization of Economics: The
Concept and Methodology”, JKAU: Islamic Economic, vol. 16, no 1 (2003):
3-42.
[41] Muhammad
Abdul Mannan, “Islamic Economics as a Social Science: Some Methodology Issues”
J. Res. Islamic Economics, , vol 1 no 1 (1983): 41-50.
[42] Shamim Ahmad Siddiqi, “ Suggested Methodology for the
Polictical Economy of Islam”, JKAU: Islamic Economic, vol 13, (2001):
3-37.
[43] Ataul Haq Pramanik, Islamization of Economics: with
sSpecial Emphasis on the Operational Aspect.
[44] Sebagaimana diambil dalam Syed Muhammad Naquib al
Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam Malaysia: International
Institute of , Islamic Thought and Civilization, (1995): 1
[45] Lihat kritikan
Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Sorush dan Bassam Tibi
terhadap Islamisasi ilmu Pengetahuan di dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy, 395-420.
[46] ibid
Best Hotels in St. Louis, MO - Mapyro
BalasHapusCasinos 목포 출장마사지 in St. Louis are: 3 (15) – 7 (11) · 8 (8) · 9 (6) · 10 (15) · 17 진주 출장마사지 (17) · 18 (16) · 19 (17) · 20 (22) · 21 (22) 김해 출장안마 · 하남 출장샵 23 (24) · 24 양주 출장마사지 (26) · 25 (44)