Harta
dalam Perspektif Islam dan Kaitannya dengan Hak Cipta
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
Sikap Islam terhadap harta adalah bagian dari sikapnya
terhadap kehidupan dunia. Dalam memandang dunia, Islam bersikap moderat dan
seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak,
yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan.
Sebagaimana yang kita dapatkan dalam ajaran-ajaran Brahma dalam Hindu,
Budha, Manuwiyah, Ruwaqiyah, prinsip rahib atau
kependetaan dalam Kristen dan lain sebagainya.
Islam juga tidak condong kepada paham yang menjadikan
dunia sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.[1] Paham
ini menjadikan dunia sebagai inti dari kehidupan, manusia dapat berbuat apa
saja untuk dunia. Ini adalah paham yang dianut materialisme yang terus
berkembang sesuai dengan tempat dan waktu. Materialisme sebagai sebuah
konsekuensi logis dari penolakan atas Tuhan, berpendirian bahwa benda adalah
unsur primordial dari alam, yang tidak diatur oleh intelegensia, tujuan atau
sebab-sebab final (final causes). Segala sesuatu harus diterangkan dalam
bentuk entitas-entitas atau proses-proses material. Dengan demikian, kekayaan,
kepuasan jasmani dan kesenangan perasaan adalah satu-satunya nilai yang ingin
dicapai seseorang.[2]
Berdasarkan pemahaman Islam yang benar ini, kita ketahui
bahwa kehidupan para sahabat sesuai dengan pandangan moderat tersebut. Diantara
mereka terdapat pedagang yang sukses dan kaya seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman
bin Affan. Ada pula yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abu Darda dan lainnya.[3]
Definisi Harta (Maal)
a.
Definisi maal secara bahasa
Kata maal (harta) secara bahasa digunakan untuk
menunjukkan setiap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Ibnu Al-Atsir
mengatakan bahwa, maal pada dasarnya adalah setiap apa yang dimiliki
berupa emas dan perak, kemudian digunakan untuk menunjukkan setiap sesuatu yang
diperoleh dan dimiliki dari berbagai macam benda. Dan kata maal paling
banyak digunakan pada bangsa Arab untuk menunjukkan unta, karena unta menjadi
kekayaan harta mereka.[4]
Dengan demikian, harta adalah apa yang dimiliki oleh
manusia secara nyata dari segala sesuatu. Setiap yang bisa menjadi obyek
kepemilikan adalah harta, baik berupa benda maupun manfaat, dan yang bisa
dimanfaatkan menurut syariah atau tidak. Adapun sesuatu yang tidak dimiliki
manusia dan tidak diperolehnya secara nyata, secara bahasa tidak disebut harta,
seperti burung di udara, ikan dalam air, pohon yang ada di hutan dan barang
tambang yang ada di bumi.[5]
b.
Definisi maal menurut
Al-Fuqaha
Sulit untuk mendefinisikan harta secara tepat dan baku,
karena harta memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, dan akibat yang
berbeda pula sesuai dengan cara pandang yang dipakai. Para ulama dulu
mendefinisikan harta sebagai segala sesuatu yang dicintai watak manusia, dapat
disimpan dan mempunyai nilai. Definisi ini jelas tidak lengkap dan tidak
kongkret, sebab yang disukai manusia aneka ragam macamnya, dan bukan semua
harta dapat disimpan.[6]
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta
dan hukum-hukumnya, secara umum pendapat mereka terbagi menjadi dua :
1.
Definisi harta menurut Madzhab Hanafi
Para ulama madzhab Hanafi menyebutkan beberapa definisi
harta yang maknanya saling berdekatan, beberapa diantaranya :
Ibnu Abidin menyatakan bahwa harta adalah apa yang
diminati secara normal dan bisa disimpan untuk saat yang diperlukan, baik yang
bergerak maupun tetap.[7]
Ibnu Najim menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi yang
bukan manusia, diciptakan untuk kepentingan manusia, dan bisa diperoleh dan
dipergunakan sesuai pilihan.[8]
Disebutkan juga bahwa harta adalah benda yang terjadi
padanya persaingan dan pengeluaran. Tidak termasuk apa yang bukan harta,
seperti sebutir gandum, segenggam tanah, seteguk air, demikian juga tidak
termasuk bangkai dan darah.[9]
Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan bahwa :
a.
Harta adalah setiap yang diminati
secara normal, karena itu setiap yang tidak diminati seperti bangkai dan darah,
tidak termasuk harta. Maksud minat di sini adalah minat orang secara umum, dan
bukan minat seseorang tertentu.
b.
Harta adalah apa yang mungkin
diperoleh dan disimpan untuk waktu yang diperlukan. Maka hal-hal yang non
materi, yang secara alami tidak bisa bertahan dan disimpan, seperti manfaat
(jasa), tidak termasuk harta. Misalnya tinggal di sebuah rumah, naik sebuah
mobil, dan lain sebagainya.
c.
Harta adalah segala sesuatu yang bisa
dimanfaatkan pada umumnya, maka hal-hal yang tidak bisa dimanfaatkan seperti
daging bangkai, makanan beracun dan segenggam tanah, tidak termasuk harta.
Hal-hal yang kecil seperti sebutir gandum, setetes air dan lain sebagainya,
tidak dianggap sebagai harta. Pemanfaatan harta harus berlangsung secara terus
menerus, dan dalam kondisi wajar pada umumnya, maka pemanfaatan harta dalam
kondisi yang terpaksa (dharurah), tidak menjadikannya harta. Sebagai
contoh, daging bangkai yang dimakan dalam kondisi terpaksa, sebagai sebuah
keadaan pengecualian.
d.
Manusia dan budak tidak termasuk
harta, sekalipun terdapat makna harta padanya, tetapi bukan harta pada makna
yang sebenarnya.
Catatan terhadap definisi fuqaha Madzhab Hanafi :[10]
a.
Menjadikan naluri manusia sebagai
tolak ukur untuk mengartikan hakikat harta tidak akurat, karena naluri manusia
berbeda-beda.
b.
Sebagian harta tidak diinginkan oleh
naluri manusia secara umum, seperti obat-obatan yang pahit dan racun, padahal
hal tersebut termasuk harta yang berharga.
c.
Definisi harta sebagai sesuatu yang
bisa disimpan untuk waktu yang diperlukan tidak tepat, karena sebagian harta
tidak bisa disimpan seperti sayur-sayuran dan lain sebagainya.
d.
Sumber daya alam, seperti pohon-pohon
di hutan, ikan di air dan burung di udara dapat disebut harta, meskipun belum
dikuasai dan dimiliki oleh seseorang.
Unsur-unsur harta menurut
Madzhab Hanafi :[11]
a.
Kebendaan, yaitu bahwa sesuatu itu
ada di alam nyata. Setiap sesuatu yang tidak ada materi dan wujudnya di alam
nyata, tidak dianggap sebagai harta. Seperti menempati rumah, naik mobil dan
lain-lain dari manfaat mendatang yang tidak diterima langsung. Demikian juga
hak-hak murni, seperti hak makan dan minum, tidak termasuk harta, namun hal itu
termasuk kepemilikan.
b.
Tradisi (`urf), bahwa harta
adalah apa yang berlaku dalam tradisi manusia, semua atau sebagian, menyatakan
kehartaan suatu benda, memperolehnya, bersaing padanya, dan mengeluarkan uang
sebagai gantinya. Apa yang tidak berlaku dalam tradisi manusia, tidak termasuk
harta meskipun berbentuk materi. Menurut Madzhab Hanafi, sesuatu yang berharga
menurut sebagian orang, meskipun tidak diperbolehkan dalam syariah, tetap
disebut sebagai harta. Seperti minuman keras dan daging babi, karena berharga
bagi non-muslim.[12]
Sumber nilai harta menurut
Madzhab Hanafi
Sumber nilai kehartaan dari sesuatu adalah tradisi, baik
tradisi secara umum seperti pengakuan mayoritas manusia terhadap harta, maupun
tradisi khusus seperti pengakuan sebagian orang terhadap harta (minuman keras
dan daging babi). Pengakuan dan tradisi manusia, memberikan sifat harta kepada
segala sesuatu.
Sementara kebendaan adalah syarat sesuatu menjadi harta,
tetapi tidak menjadi sumber kehartaan karena kehartaan tidak bersumber dari
sifatnya sebagai benda. Sebutir gandum bersifat benda dan bentuknya nyata, namun
demikian tidak termasuk harta karena tidak ada nilainya menurut tradisi.
Dalam menjelaskan masalah ini, Ibnu Abidin menegaskan
bahwa sifat harta menjadi tetap dengan pengakuan sebagai harta oleh manusia
seluruhnya atau sebagian. Nilai hartanya juga tetap dengan pengakuan tersebut,
dan dengan pemanfaatan yang dibolehkan menurut syariah. Segala sesuatu yang
dianggap sebagai harta namun tidak boleh dimanfaatkan, tidak termasuk bernilai
(mutaqawwim), seperti minuman keras.[13]
Sumber nilai harta (taqawwum)
Menurut madzhab Hanafi, sesuatu memiliki nilai apabila
terdapat dua hal :
Pertama, ada pengakuan terhadap
kehartaan suatu benda, yaitu adanya nilai materi yang dipersaingkan padanya dan
dikeluarkan harta untuk mendapatkannya. Kedua, ketetapan syariah
terhadap pemanfaatan benda tersebut. Dengan demikian, menurut madzhab Hanafi
harta terbagi menjadi dua jenis :
a.
Harta sempurna, apabila mencakup du
syarat : pengakuan manusia dan legalitas syariah terhadap manfaatnya.
b.
Harta tidak sempurna, apabila
mendapat pengakuan manusia terhadap manfaatnya, namun tidak diperbolehkan
menurut syariah.
2.
Definisi harta menurut Jumhur Fuqaha
Al-Suyuthi mengutip definisi Imam Syafi`i, bahwa harta
adalah sesuatu yang memiliki nilai dan dapat dijual meskipun sedikit, dan apa
yang tidak dibuang oleh manusia.[14]
Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa harta adalah apa yang
dimanfaatkan, atau mungkin untuk dimanfaatkan, yang meliputi benda dan manfaat.[15]
Al-Muqaddasi menyatakan bahwa harta adalah apa yang
diperbolehkan manfaatnya secara mutlak, atau boleh memperolehnya tanpa hajat
dan dharurat.[16]
Dengan demikian, menurut jumhur fuqaha harta adalah segala
sesuatu yang bernilai, jika merusaknya diwajibkan mengganti, dan pemanfaatannya
dibolehkan oleh syariah.[17]
Jumhur fuqaha sepakat dengan madzhab Hanafi, bahwa segala
sesuatu yang tidak ada nilainya tidak termasuk harta. Jumhur tidak mensyaratkan
bahwa harta harus ada wujudnya, maka manfaat-manfaat, hak-hak murni dan hutang
termasuk harta menurut mereka.
Sumber nilai harta menurut
Jumhur Fuqaha
Sumber nilai harta terkandung pada apa yang mempunyai nilai
menurut manusia dan pemanfaatannya diperbolehkan oleh syariah. Apa yang tidak
dimanfaatkan karena sedikit, tidak disebut harta karena tidak ada nilainya dalam
tradisi manusia. Dan apa yang tidak diperbolehkan menurut syariah, sekalipun
dianggap harta oleh sebagian orang (minuman keras), maka tidak termasuk harta.
Dengan demikian, nilai harta menurut jumhur fuqaha
terdapat dalam dua unsur : Pertama, pengakuan tradisi manusia bahwa sesuatu
mempunyai nilai, baik berupa benda maupun manfaat. Kedua, ketetapan syariah
yang membolehkan pemanfaatan apa yang sudah menjadi tradisi manusia, pada
kondisi lapang dan tidak terpaksa (ikhtiyar).[18]
Perbedan antara istilah
Madzhab Hanafi dan Jumhur Fuqaha
Perbedaan ini terlihat pada dua hal :
1.
Perbedaan dalam memandang manfaat
sebagai harta atau bukan.
Madzhab
Hanafi berpendapat bahwa manfaat tidak termasuk harta. Alasan mereka adalah
sifat harta harus tetap dan tamawwul, yakni mendapatkan sesuatu dan
mengeluarkannya. Maka setiap yang tidak bisa dikeluarkan dan diperoleh, tidak
disebut harta.
Sementara jumhur fuqaha melihat bahwa manfaat termasuk
harta. Harta mencakup benda dan manfaat, karena naluri manusia menerima atau
menginginkan manfaat, dan mereka mengeluarkan harta untuk mendapatkannya. Dan
pada hakikatnya kemashlahatan berada pada manfaat sesuatu, bukan pada bendanya.
2.
Perbedaan cara pandang terhadap
barang yang dilarang oleh syariah.
Madzhab Hanafi melihat bahwa minuman keras dan daging
babi adalah harta bagi non-muslim, karena menurut mereka barang tersebut tidak
haram. Dan kita diperintahkan untuk membiarkan ahlu dzimmah menjalankan
agama mereka.
Sedangkan jumhur fuqaha memandang bahwa barang-barang
yang dilarang menurut syariah tidak disebut harta, bagi muslim mapun
non-muslim.
Dengan demikian, madzhab Hanafi tidak menjadikan bolehnya
pemanfaatan menurut syariah sebagai unsur harta, tetapi melihatnya sebagai
unsur nilai (taqawwum). Sementara jumhur fuqaha menjadikan bolehnya
pemanfaatan menurut syariah sebagai unsur harta, maka setiap yang tidak
diperbolehkan menurut syariah tidak termasuk harta.
Perbedaan pendapat antara madzhab Hanafi dan jumhur
fuqaha ini mempunyai implikasi pada beberapa hal, diantaranya ghasab, mirats
dan ijarah.[19]
a.
Orang yang meng-ghasab suatu
barang kemudian memanfaatkannya selama beberapa saat, kemudian mengembalikan
barang tersebut kepada pemiliknya, menurut madzhab Hanafi, dia tidak wajib
membayar ganti rugi. Akan tetapi menurut jumhur fuqaha, dia wajib membayar
ganti rugi.
b.
Dalam sewa-menyewa, menurut madzhab
Hanafi, akad ini berakhir dengan sendirinya dengan kematian pihak penyewa,
karena manfaat tidak termasuk harta yang bisa diwariskan. Sementara menurut
jumhur fuqaha, akad sewa-menyewa tidak berakhir secara otomatis dengan kematian
pihak penyewa, akan tetapi akan berakhir sesuai dengan akadnya.
c.
Hak-hak tidak dapat diwariskan
menurut madzhab Hanafi, sedangkan menurut jumhur fuqaha hak-hak dapat
diwariskan.
Pembagian harta menurut
syariah
Pembagian harta berdasarkan beberapa segi, terbagi
menjadi :
1.
Menurut haram dan halal
pemanfaatannya, terbagi menjadi : bernilai (mutaqawwim) dan tidak
bernilai (ghairu mutaqawwim). Mutaqawwim adalah sesuatu yang
sudah didapatkan dan boleh dimanfaatkan secara syariah. Sedangkan ghairu
mutaqawwim adalah sesuatu yang belum didapatkan/dikuasai, atau yang tidak
dibolehkan menurut syariah, seperti ikan di laut, minuman keras dan daging
babi.
2.
Menurut kesamaan bagian atau
tidaknya, terbagi menjadi : mitsly (similar/sama) dan qimiy
(valuation/taksiran). Al-Mal al-Mitsly adalah sesuatu yang ada
padanannya. Ada empat macam mitsly yaitu : al-makiilaat (gandum),
al-mauzunaat (kapas), al-`adadiyaat (telur), dan al-dzira`iyaat
(yang dijual dengan ukuran depa/meter). Sedangkan al-mal al-qimiy adalah
yang tidak ada padanannya, seperti hewan, pohon dan lain-lain.
3.
Menurut tetapnya di suatu tempat atau
tidak tetapnya, terbagi menjadi : harta tetap (`aqar), (seperti rumah
dan tanah) dan harta bergerak (manqul). Al-Manqul seperti barang
dagangan, hewan, dan lain sebagainya.
4.
Menurut tetap tidaknya benda ketika
dipergunakan, terbagi menjadi : konsumtif (istihlaki) dan bersifat
pemakaian (isti`mali). Istihlaki adalah barang yang
pemanfaatannya dengan cara mengkonsumsinya, seperti makanan dan minuman.
Sementara Isti`mali adalah barang yang bisa dimanfaatkan tanpa
mengkonsumsinya, atau barang tersebut tetap ada wujudnya, seperti rumah, mobil
dan lain-lain.[20]
Konsep harta dalam syariah
Islam memandang harta dengan acuan dasar akidah, yakni
dengan mempertimbangkan kesejahteraan manusia, alam masyarakat dan hak milik.
Pandangan ini berdasar kepada keyakinan bahwa Allah pengatur segala hal dan
Maha Kuasa atas segalanya. Hubungan manusia dengan lingkungannya dibatasi oleh berbagai
kewajiban, manusia sekaligus mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Harta sebagai perantara manusia dalam kehidupan dunia,
manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, dan tanpa menimbulkan penderitaan
pada pihak lain.[21]
Selanjutnya ada beberapa kaidah dasar yang merupakan aturan penggunakan harta,
diantaranya larangan pemborosan (israf) dan kikir,[22] larangan
pengembangan harta dengan cara menyengsarakan masyarakat, dan juga larangan
memakan harta orang lain dengan tidak sah.[23]
Dari sejumlah anjuran ini, dapat digarisbawahi bahwa,
Islam memandang harta terkait erat dengan pemiliknya, namun bersamaan dengan
itu pula terkait unsur masyarakat sebagai pihak ketiga. Baik dalam kegiatan
berkarya atau bekerja, berinfak atau konsumsi, dan dalam kegiatan investasi. Kaidah
ini tidak hanya bersifat normatif saja, tetapi bersifat aktif-positif. Selain
fungsi syariah yang telah memberikan batasan-batasan di atas, diperlukan
aturan-aturan formal untuk mendukung pelaksanaan hukum tersebut.[24]
Al-Quran ketika menegaskan konsep kekhalifahan manusia di
atas bumi, juga mengembangkannya ke dalam wilayah penanganan harta, dengan
memberikan banyak aturan dan ketentuan dalam bekerja, distribusi maupun
investasi. Larangan tentang penimbunan harta, tindakan monopoli yang merugikan
pihak lain, kewajiban mengeluarkan zakat, sadaqah kepada pihak yang
membutuhkan, dan lain sebagainya adalah aturan-aturan yang harus dijalankan
oleh masyarakat.
Diantara prinsip-prinsip penting tentang harta adalah :
1.
Menghindari sentralisasi modal pada
segelintir orang atau kelompok. Aturan ini bertujuan untuk memberdayakan umat,
dengan mengambil kewajiban zakat dari kelompok kaya, dan membagikannya kepada
kelompok miskin. Zakat ini dimaksudkan untuk menghindari sentralisasi harta
pada segelintir orang atau kelompok saja. Karena kalau hal itu terjadi akan
menimbulkan kesenjangan sosial, yang pada gilirannya akan berakibat kepada
tidak terciptanya keadilan sosial.
2.
Mengembangkan yayasan-yayasan
kemanusiaan dengan orientasi kemasyarakatan. Hal ini dapat kita lihat dari
pengakuan Islam terhadap berbagai konsep tentang harta yang bertujuan humanisme
dan kebaikan, seperti bait al-mal, wakaf dan wasiat. Pada masa kejayaan
Islam, harta wakaf sangat berperan dalam pemberdayaan masyarakat. Harta wakaf
mampu menjadi penggerak kehidupan sosial, pendidikan, dan pendirian
lembaga-lembaga sosial yang hasilnya masih bisa dirasakan sampai saat ini.[25]
3.
Pemanfaatan harta sesuai dengan
aturan-aturan syariah. Islam melarang harta yang tidak difungsikan, seperti
tanah yang dibiarkan tidak ditanami. Cara-cara pemanfaatannya juga harus sesuai
dengan aturan-aturan syariah, dengan pemanfaatan yang memberikan manfaat bagi
orang banyak, dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain.
4.
Harta adalah perhiasan dunia dan sarana
untuk memperoleh kebaikan, maka segala sarana untuk memperoleh kebaikan adalah
baik. Islam tidak memandang harta sebagai penghalang untuk mencapai derajat
tertinggi dan taqarrub kepada Allah. Pentingnya harta menurut Islam tampak dari
kenyataan bahwa, ayat terpanjang dalam Al-Quran berisi peraturan tentang
keuangan, cara penggunaannya, anjuran untuk menggunakan penulisan dalam akad,
dan perlunya saksi.[26]
5.
Islam memerangi kemiskinan, hal ini
menunjukkan bahwa harta mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi dalam Islam.
Karena kemiskinan bisa menyebabkan terjadinya kejahatan, maka banyak sekali
hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk menjauhi kemiskinan.
6.
Harta sebagai ujian dan cobaan, harta
bukan merupakan ukuran mulia atau hinanya seseorang. Harta hanyalah kenikmatan
dari Allah sebagai ujian buat manusia, apakah ia bersukur atau menjadi kufur.
Maka kelapangan harta atau kekuarangan harta, merupakan cobaan buat manusia,
dan bukan sumber kemuliaan ataupun kehinaan. Manusia menjadi mulia bukan karena
hartanya, tetapi karena amal ibdahnya.
7.
Norma spiritual lebih baik dan lebih
kekal dari harta. Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa,
dan penopang kemajuan dan kebangkitannya. Namun harta juga bisa membahayakan
etika spiritual manusia, jika mereka menjadikannya sebuah prioritas dalam
hidup. Bencana yang ditimbulkan harta bukan disebabkan oleh pengumpulannya
sesuai dengan syariah, tetapi karena kecintaan dan kerakusan manusia
terhadapnya.
8.
Ekonomi yang baik menjadi sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Islam tidak pernah melupakan unsur
materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi, dan meningkatkan taraf hidup
manusia. Namun Islam selalu menekankan bahwa kehidupan ekonomi yang baik
hanyalah sarana dalam kehidupan, dan bukan tujuan akhir. Doktrin ini merupakan
garis merah antara Islam dan paham materialisme, sosialisme dan kapitalisme.[27]
Hak Cipta dalam perspektif
Islam
Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah
kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu
mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan
antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia.
Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas
antar manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah
melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; ditemukannya
mesin cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468) pada tahun 1436, mesin pintal
atau tekstil oleh Sir Richard Arkwrigt (1732-1792) dan Jemes Hargreves
(?-1778), mesin uap oleh James Watt (1736-1819), teori grafitasi, kalkulus, dan
spectrum cahaya oleh Isaac Newton (1642-1727), dan lain sebagainya.[28]
Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru
tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan
atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang
ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa
yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual
(HAKI). Pada abad Kuno, hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun
banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta dianggap
sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan (Gesetez). Mereka menganggap bahwa hak cipta
tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti; rumah,
tanah, atau benda lainnya.[29]
Adalah Corpus Juris yang pertama kali menyadari kehadiran hak milik baru
yang merupakan ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas. Namun
demikian pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (Materielles
Eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles Eigentum) yang
merupakan produk kreatifitas manusia. Istilah Immaterielles Eigetum
inilah yang sekarang disebut dengan hak milik intelektual (HAMI), atau hak atas
kekayaan intelektual (HAKI) yang merupakan terjemahan dari dari kata geistiges eigentum, atau intellectual
property right.[30]
Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual
telah dilakukan sejak dahulu. Sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka
sejarah hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir seluruh pelaturan
yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Indonesia (Hindia
Belanda). Undang-undang hak cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia
adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang
diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun
1987. Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992
mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah,
dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan
atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.[31]
Pengertian
hak cipta
Ada beberapa
istilah dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti hak cipta, diantaranya : haq
al-ibda`, haq al-ibtikar, haq al-ta lif/al-muallif, dan haq
baraat al-ikhtira`.
Hak cipta
adalah hak materi (financial) terhadap sebuah karya, obyeknya adalah
sesuatu yang non-materi, bersifat original, terdepan (pertama kali), dan
menjadi pusat perhatian banyak pihak.[32]
Yang dimaksud dengan hak cipta sebagaimana diungkapkan
dalam pasal 1 ayat 1 UUHC No. 16 tahun 2002 adalah; hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Teori hak dalam Islam
Apabila
menelusuri dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Quran maupun Hadits, masalah hak cipta belum mempunyai
dalil atau landasan nash yang eksplisit. Hal ini
karena gagasan pengakuan atas hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang
belum dikenal sebelumnya. Namun demikian, secara implisit, perlindungan
terhadap hak cipta ditemukan dalam sistem hukum Islam. Hal ini dikarenakan
konsep hak itu sendiri dalam prespektif hukum Islam, tidak baku dan berkembang
secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.
Di antara para pemikir Islam, Imam
al-Qurafi adalah tokoh Islam pertama yang membahas masalah hak cipta. Dalam
kitabnya yang berjudul al-Ijtihadat Imam al-Qurafi berpendapat bahwa
hasil karya cipta (hak cipta) tidak boleh diperjual belikan, karena hal
tersebut tidak bisa dipisahkan dari sumber aslinya. Namun demikian pendapat
Imam al-Qurafi tersebut dibantah oleh Fathi al-Daraini yang berpendapat bahwa
hak cipta merupakan sesuatu yang bisa diperjual belikan, karena adanya
pemisahan dari pemiliknya. Dalam masalah hak cipta ini Fathi al-Daraini
mensyaratkan harus ada standar orisinalitas yang membuktikan keaslian ciptaan
tersebut.[33]
Hak (al-haq) secara epistimologi
berarti milik; ketetapan dan kepastian. Menurut terminologi, ada
beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. Sebagian ulama mutaakhkhirin
(generasi belakangan) hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan oleh
syara. Syeikh Ali al-Khafif mengartikannya sebagai kemaslahatan yang
diperoleh secara syara. Mustafa Ahmad az-Zarqa mendefinisikannya sebagai
suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara suatu kekuasaan. Lebih
singkat lagi, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) ahli fiqh Madzhab Hanafi
mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang terlindung.[34]
Secara umum, hak diartikan sebagai suatu ketentuan yang dengannya syara menetapkan suatu
kekuasaan atau suatu beban hukum. Sumber hak itu sendiri menurut ulama
fiqh ada lima, yaitu; Pertama, syara, seperti berbagai ibadah yang
diperintahkan. Kedua, akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf
dalam pemindahan hak milik. Ketiga, kehendak pribadi, seperti janji dan
nazar. Keempat, perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang. Kelima,
perbuatan yang menimbulkan kemadaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan
seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan barang
milik orang lain.[35]
Perlindungan
hak cipta dalam Islam
Dalam Islam, digariskan bahwa segala
sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sah (benar dan halal) seperti; harta
yang diperoleh dari hasil kerja keras, harta yang diambil dari benda yang tidak
bertuan, harta yang diambil atas dasar saling ridha, harta yang diperoleh dari
warisan, wasiat, hibah, dan lain sebagainnya, adalah wajib dilindungi baik oleh
individu maupun masyarakat. Hak cipta atau hak intelektual adalah harta yang
diperoleh dengan cara yang sah yaitu hasil kerja kreatif baik individu maupun
kelompok. Oleh karena itu, hak cipta termasuk salah satu milik (kekayaan) yang
harus dijaga baik oleh si pemilik maupun masyarakat.
Pencurian
atau pembajakan dalam syariat Islam berlaku hanya terhadap benda bergerak yang
bermateri, sebab pencurian menuntut adanya syarat yang harus dipenuhi, yaitu
benda yang dicuri berupa benda bergerak, dianggap sebagai harta (berharga),
dihormati, memiliki tempat penyimpanan yang layak, dan penjagaan.
Dalam fiqh, disepakati bahwa selain
benda bergerak yang bermateri, seperti benda-benda yang ma`nawi semacam
hak (huquq), ciptaan (ibtikar) dalam berbagai bentuknya tidak
cocok untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Harta ini apabila telah menjadi
bentuk materi seperti buku, kaset, cd, dan lain sebagainya, maka menjadi benda
bergerak dan bermateri yang pantas untuk dijadikan sebagai objek pencurian.
Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap hak cipta apabila
sudah menjadi benda bergerak dan bermateri.[36]
Ulama madzhab Hanafi sepakat bahwa,
segala sesuatu yang bermanfaat boleh diperjualbelikan, maka hak cipta juga
termasuk sesuatu yang berharga (taqawwum), dan mempunyai sifat al-maliyah.
Imam Al-Syatibi menyatakan bahwa harta adalah segala sesuatu yang bisa menjadi
obyek kepemilikan. Dan hak ini mencakup kepemilikan terhadap benda, manfaat dan
hak-hak non-materi. Dengan demikian hak cipta adalah harta dan harus
dilindungi.
Imam Al-Suyuthi menyebutkan bahwa dasar
penentuan harta adalah `urf (tradisi). Dan harta adalah segala sesuatu
yang mempunyai nilai, diperjualbelikan, dan yang merusaknya harus membayar
ganti rugi. Maka dapat disimpulkan bahwa hak cipta juga termasuk harta.
Sedangkan ulama madzhab Hanbali juga menegaskan bahwa harta adalah, segala
sesuatu yang mempunyai manfaat yang mubah, tanpa ada hajah atau dharurah.
Manfaat yang baik termasuk dalam kategori harta, meskipun bukan benda materi.[37]
Dengan demikian dapat
disimpulkan, para ulama dari keempat madzahib
fiqhiyah sepakat bahwa manfaat dari hak-hak ma`nawi sama hukumnya
dengan benda, dan termasuk dalam kategori harta. Bisa menjadi obyek
kepemilikan, dan harus dijaga dari pelanggaran atau pencurian.
Pendapat
ulama kontemporer tentang hak cipta
Secara umum ada dua pendapat ulama
dalam masalah ini, yaitu :
1. Pendapat beberapa ulama madzhab Hanafi, mengatakan
bahwa manfaat atas sesuatu tidak bisa disebut harta, maka hak cipta bukan harta
yang harus dilindungi, akan tetapi hendaknya dibiarkan bebas, atau tanpa
kompensasi uang. Landasan pendapat mereka adalah bahwa segala sesuatu tidak
bisa disebut harta, kecuali mempunyai dua kriteria, yaitu : Pertama, bisa
didapatkan atau dikuasai, dan Kedua, bisa dimanfaatkan secara tradisi. Maka
hal-hal yang bersifat non-materi seperti ilmu, kesehatan, kebahagiaan, tidak
disebut harta karena tidak bisa dikuasai atau dipegang. Kecuali jika ada
perjanjian dalam akad, bahwa ada kompensasi atas manfaat yang akan digunakan,
maka hal ini boleh, contohnya sewa-menyewa.[38]
2. Pendapat mayoritas ulama madzhab Maliki dan Syafi`i.
Mereka mengatakan bahwa hak cipta, seperti hak-hak yang lain, bisa menjadi
obyek pertukaran uang. Maka hak cipta adalah harta yang wajib dilindungi.
Argumen-argumen dikemukakan dalam hal ini, diantaranya :
a. Hak cipta mempunyai sifat uang (shifat al-maliyah),
karena manfaat dari benda adalah harta. Harta bagi jumhur fuqaha adalah segala
sesuatu yang mempunyai nilai, dan yang merusaknya wajib mengganti kerugian.
Maka harta mencakup benda dan manfaat, dan termasuk di dalamnya semua hak-hak
non-materi. Hak milik atas sebuah benda menjadikan pemiliknya mempunyai hak-hak
: al-isti`mal, al-istighlal, dan al-tasharruf.
b. Tradisi yang umum berlaku, menjadikan hak cipta dan
hak-hak yang lain adalah obyek pertukaran. Sementar tradisi adalah sumber dari
sifat al-maliyah dari berbagai benda, dan dasar dari tradisi ini adalah
al-mashalih al-mursalah.
3. Prisip kebenaran dan keadilan (al-haq wa al-`adl)
menegaskan perlunya penguasaan pemilik hak terhadap haknya, pelarangan
manipulasi suatu statemen kepada orang lain, atau menanggung kesalahan orang
lain.
4. Prinsip “Al-Ghunum bi al-Ghurmi”, atau “Al-Kharraj
bi al-Dhaman”, menyatakan sebuah keharusan bahwa seseorang harus
bertanggungjawab atas perkataan atau perbuatannya. Sebaliknya ia juga mempunyai
hak atas hasil karya atau ciptanya.
5. Kreativitas akal atau otak manusia adalah sumber dari
segala kemudahan yang ditimbulkan dari penemuan-penemuan tehnologi dan lain
sebagainya. Maka jika penemuan-penemuan tehnologi tersebut bersifat harta, tentu
kreativitas akal manusia lebih layak atau lebih utama untuk dikategorikan
sebagai harta.[39]
Kesimpulan
Wahbah
Zuhaili berpendapat bahwa, merupakan sebuah kedzaliman apa yang kita lihat
sekarang, dimana penerbit-penerbit, percetakan-percetakan berhasil meraup
keuntungan yang sangat menggiurkan. Sementara sang penulisnya, yang telah
bekerja keras, menghabiskan waktu dan energi yang sangat banyak, hanya
mendapatkan sekian persen dari keuntungan tadi. Maka hak cipta adalah harta
kekayaan yang harus dijaga dan dilindungi.
Hasil keputusan “majma` al-Fiqh
al-Islami al-Dauliy” pada sidang kelima, di Kuwait tahun 1988 tentang
hak-hak ma`nawi, menyatakan bahwa :
1. Al-Ism al-Tijariy, al-`Unwan
al-Tijariy, al-`Alamat al-Tijariyah (trade mark), haq
al-ta lif, al-ikhtira`, dan al-ibtikar adalah hak-hak khusus
bagi pemiliknya, mempunyai nilai harta (qimah maliyah) dalam tradisi
modern, dilindungi secara hukum dan tidak diperbolehkan pelanggaran
terhadapnya.
2. Pada hak al-Ism al-Tijariy, al-`Unwan al-Tijariy dan
al-`Alamah al-Tijariyah boleh dimanfaatkan oleh pemiliknya, karena merupakan
hak terhadap harta.
3. Hak-hak al-Ta lif, al-Ikhtira` dan al-Ibtikar
dilindungi oleh undang-undang, pemiliknya berhak memanfaatkannya dan
pelanggaran terhadapnya tidak diperbolehkan.
Daftar Pustaka :
Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Mu`amalaat
al-Maliyah al-Mu`ashirah, Dar al-Fikr al-Mu`ashir, Dimasyqa, Al-Thaba`ah
al-Ula, July 2002.
Al-Zuhailiy,
Wahbah, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuhu, Dar al-Fikr al-Mu`ashir,
Dimasyqa, Al-Thaba`ah al-Rabi`ah, 2004.
Al
Khafif, Ali, Al Milkiyyah fi as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as
Syarai` al wadh`iyyah, Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996.
Al Abbadi, Abdus Salam Dawud
Muhammad, Al Milkiyyah fi as Syari`ah al Islamiyah, thabi`atuha wa
wadzifatuha wa quyuduha, dirasah muqaranah bi al qawanin wa an nudzum al
wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar Risalah, 2000.
An Nabahan, M. Faruq, Sistem
Ekonomi Islam : pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis,
alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000.
An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya,
Cetakan Ketujuh, 2002.
Al-Mushlih,
Abdullah dan Al-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah
: Abu Umar Basyir, Darul Haq, Jakarta, 2004.
At-Tariqi,
Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam : Prinsip, Dasar dan Tujuan,
Penerjemah : M. Irfan Shofwani, Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004.
Hasan,
Ahmad, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami,
Penerjemah : Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam :
Teori dan Praktek, Penerjemah : M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1997.
Qardhawi,
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah : Zaenal Arifin &
Dahlia Husin, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo & Nastangin,
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Syed
Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah : M. Saiful
Anam dan M. Ufuqul Mubin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Chapra,
M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Penerjemah : Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.
Sardar,
Ziauddin, Masa Depan Islam, Penerjemah : Rahmani Astuti, Penerbit
Pustaka, Bandung, 1987.
[1] Yusuf Qardhawi, Norma dan
Etika Ekonomi Islam, Penerjemah : Zaenal Arifin & Dahlia Husin, Gema
Insani Press, Jakarta, 1997, h : 72
[2] M. Umer Chapra, Islam dan
Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Penerjemah : Nur Hadi
Ihsan & Rifqi Amar, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, h : 24
[3] Ibnu Hisyam, Sirah Ibn
Hisyam, Jilid 2, h : 550
[4] Ibnu Al-Atsir, Al-Nihayah fi
Gharib al-Hadits wa al-Atsar, tahqiq : Mahmud al-Thanahi, Dar Ihya
al-Turats al-Arabi, Beirut, TT, Jilid 4, h : 373
[5] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, Al-Thabaah al-Rabi`ah,
2004, Jilid 4, h : 2875
[6] Lihat Musthafa Zarqa, Nadzariyatu
al-Iltizam al-Amah fi al-Fiqh al-Islami, Jilid 3, h : 131 dalam M. Faruq
an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam : Pilihan setelah kegagalan sistem
Kapitalis dan Sosialis, Alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press,
Yogyakarta, 2000, h : 31
[7] Ibnu Abidin, Raddu al-Muhtar
`Ala al-Durr al-Mukhtar, Dar Ihya al-Turats al-Araby, Beirut, 1992, Jilid
4, h : 3
[8] Ibnu Najim, Al-Bahru al-Raiq
Syarh Kanz al-Daqaiq, Dar al-Ma`rifah, Beirut, Cetakan ke-3, 1993, Jilid 5,
h : 277
[9] Damada, Majma al-Anhur fi
Syarhi Multaqa al-Abhur, Dar Ihya al-Turats al-Araby, Beirut, TT, Jilid 2,
h : 3
[10] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami..., ibid, h : 2876
[11] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami..., ibid, h : 2876
[12] Al-Kasani, Badai` al-Shanai`
fi Tartib al-Syarai`, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, Beirut, TT, Jilid 5, h :
143
[13] Ibnu Abidin, Raddu al-Muhtar....ibid,
4/3
[14] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa
al-Nadzair, Al-Maktabah al-Tijariyah, Cairo, 1359 H, h : 258
[15] Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi
al-Qawa`id, tahqiq : Taisir Faiq Mahmud, Wazarah al-Auqaf al-Islamiyah,
Kuwait, 1982, 3/222
[16] Syarafuddin al-Muqaddasi, Al-iqna`
fi Fiqh Ahmad bin Hanbal, Dar al-Ma`rifah, Beirut, TT, 2/59
[17] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami..., ibid, h : 2877
[18] Al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin,
Al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. 2, 1985, 3/350
[19] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami..., ibid, h : 2878
[20] Ibid, h : 2879-2891. Ahmad
Hasan menambahkan pembagian harta menurut tabiat dan fungsinya, menjadi : uang
(nuqud) dan barang (`urudh). Lihat Dr. Ahmad Hasan, Mata Uang Islami :
Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Penerjemah : Saifurrahman Barito
dan Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h : 101-109
[21] QS. Al-Mulk : 15 dan Al-Jumu`ah
: 10
[22] QS. Al-Furqan : 67 dan Al-Isra
: 26-27
[23] QS. Al-Baqarah : 188 dan
278-279
[24] M. Faruq An-Nabahan, Sistem
Ekonomi Islam...ibid, h : 34
[25] M. Faruq An-Nabahan, Sistem
Ekonomi Islam...ibid, h : 37-39
[26] Yusuf Qardhawi, Norma dan
Etika...ibid, h : 77
[27] Yusuf Qardhawi, Norma dan
Etika...ibid, h : 85-86
[28] Bill
Yenne dan Eddy Soetrisno, Buku Pintar 100 Peristiwa yang Membentuk Sejarah
Dunia, Taramedia dan Restu Agung,
Jakarta, t.th, h : 56
[29] Syafrinaldi,
Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Global,
Cet. 1, UIR Press, Riau, 2001, h : 1
[30] Ibid, h : 1-11
[31] Pasal
44/1 UUHC No. 7 Tahun 1987. Untuk lebih jelasnya penjelasan mengenai sejerah
Hak Milik Intelektual di Indonesia bisa dibaca dalam Syafrinaldi, Hukum...Ibid., h : 19-31. Baca juga Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19/2002),
dihimpun oleh Hadi Setia Tunggal, Harverindo, Jakarta, 2005, h : iii-ix
[32] Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu`amalaat
al-Maliyah al-Mu`ashirah, Dar al-Fikr al-Mu`ashir, Dimasqa, Al-Taba`ah
al-Ula, 2002, h : 580-582
[33] Fathi al-Daraini, al-Fiqhu
al-Islami al-Muqaran Ma`a al-Madzahib, Mathba`ah
at-Thurbin, Dimasyqa, TT, h : 223-244
[35] Ibid, h : 489
[36] Muhammad Awadh, Dirasah
fi al-Fiqh al-Jinai al-Islami, Dar al-Jami`iyah, t.th, Iskandariyah, h : 41
[38] Ibid, h : 589-592
[39] Ibid, h : 505
Tidak ada komentar:
Posting Komentar