Rabu, 20 November 2013

Harta dalam Perspektif Islam dan Kaitannya dengan Hak Cipta

Harta dalam Perspektif Islam dan Kaitannya dengan Hak Cipta
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)

Pendahuluan
            Sikap Islam terhadap harta adalah bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Dalam memandang dunia, Islam bersikap moderat dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan. Sebagaimana yang kita dapatkan dalam ajaran-ajaran Brahma dalam Hindu, Budha, Manuwiyah, Ruwaqiyah, prinsip rahib atau kependetaan dalam Kristen dan lain sebagainya.
            Islam juga tidak condong kepada paham yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.[1] Paham ini menjadikan dunia sebagai inti dari kehidupan, manusia dapat berbuat apa saja untuk dunia. Ini adalah paham yang dianut materialisme yang terus berkembang sesuai dengan tempat dan waktu. Materialisme sebagai sebuah konsekuensi logis dari penolakan atas Tuhan, berpendirian bahwa benda adalah unsur primordial dari alam, yang tidak diatur oleh intelegensia, tujuan atau sebab-sebab final (final causes). Segala sesuatu harus diterangkan dalam bentuk entitas-entitas atau proses-proses material. Dengan demikian, kekayaan, kepuasan jasmani dan kesenangan perasaan adalah satu-satunya nilai yang ingin dicapai seseorang.[2]
            Berdasarkan pemahaman Islam yang benar ini, kita ketahui bahwa kehidupan para sahabat sesuai dengan pandangan moderat tersebut. Diantara mereka terdapat pedagang yang sukses dan kaya seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Ada pula yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abu Darda dan lainnya.[3]

Definisi Harta (Maal)
a.      Definisi maal secara bahasa
            Kata maal (harta) secara bahasa digunakan untuk menunjukkan setiap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Ibnu Al-Atsir mengatakan bahwa, maal pada dasarnya adalah setiap apa yang dimiliki berupa emas dan perak, kemudian digunakan untuk menunjukkan setiap sesuatu yang diperoleh dan dimiliki dari berbagai macam benda. Dan kata maal paling banyak digunakan pada bangsa Arab untuk menunjukkan unta, karena unta menjadi kekayaan harta mereka.[4]
            Dengan demikian, harta adalah apa yang dimiliki oleh manusia secara nyata dari segala sesuatu. Setiap yang bisa menjadi obyek kepemilikan adalah harta, baik berupa benda maupun manfaat, dan yang bisa dimanfaatkan menurut syariah atau tidak. Adapun sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan tidak diperolehnya secara nyata, secara bahasa tidak disebut harta, seperti burung di udara, ikan dalam air, pohon yang ada di hutan dan barang tambang yang ada di bumi.[5]

b.      Definisi maal menurut Al-Fuqaha
            Sulit untuk mendefinisikan harta secara tepat dan baku, karena harta memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, dan akibat yang berbeda pula sesuai dengan cara pandang yang dipakai. Para ulama dulu mendefinisikan harta sebagai segala sesuatu yang dicintai watak manusia, dapat disimpan dan mempunyai nilai. Definisi ini jelas tidak lengkap dan tidak kongkret, sebab yang disukai manusia aneka ragam macamnya, dan bukan semua harta dapat disimpan.[6]
            Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta dan hukum-hukumnya, secara umum pendapat mereka terbagi menjadi dua :

1.      Definisi harta menurut Madzhab Hanafi
            Para ulama madzhab Hanafi menyebutkan beberapa definisi harta yang maknanya saling berdekatan, beberapa diantaranya :
            Ibnu Abidin menyatakan bahwa harta adalah apa yang diminati secara normal dan bisa disimpan untuk saat yang diperlukan, baik yang bergerak maupun tetap.[7]
            Ibnu Najim menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi yang bukan manusia, diciptakan untuk kepentingan manusia, dan bisa diperoleh dan dipergunakan sesuai pilihan.[8]
            Disebutkan juga bahwa harta adalah benda yang terjadi padanya persaingan dan pengeluaran. Tidak termasuk apa yang bukan harta, seperti sebutir gandum, segenggam tanah, seteguk air, demikian juga tidak termasuk bangkai dan darah.[9]
            Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan bahwa :
a.      Harta adalah setiap yang diminati secara normal, karena itu setiap yang tidak diminati seperti bangkai dan darah, tidak termasuk harta. Maksud minat di sini adalah minat orang secara umum, dan bukan minat seseorang tertentu.
b.      Harta adalah apa yang mungkin diperoleh dan disimpan untuk waktu yang diperlukan. Maka hal-hal yang non materi, yang secara alami tidak bisa bertahan dan disimpan, seperti manfaat (jasa), tidak termasuk harta. Misalnya tinggal di sebuah rumah, naik sebuah mobil, dan lain sebagainya.
c.       Harta adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan pada umumnya, maka hal-hal yang tidak bisa dimanfaatkan seperti daging bangkai, makanan beracun dan segenggam tanah, tidak termasuk harta. Hal-hal yang kecil seperti sebutir gandum, setetes air dan lain sebagainya, tidak dianggap sebagai harta. Pemanfaatan harta harus berlangsung secara terus menerus, dan dalam kondisi wajar pada umumnya, maka pemanfaatan harta dalam kondisi yang terpaksa (dharurah), tidak menjadikannya harta. Sebagai contoh, daging bangkai yang dimakan dalam kondisi terpaksa, sebagai sebuah keadaan pengecualian.
d.      Manusia dan budak tidak termasuk harta, sekalipun terdapat makna harta padanya, tetapi bukan harta pada makna yang sebenarnya.

            Catatan terhadap definisi fuqaha Madzhab Hanafi :[10]
a.      Menjadikan naluri manusia sebagai tolak ukur untuk mengartikan hakikat harta tidak akurat, karena naluri manusia berbeda-beda.
b.      Sebagian harta tidak diinginkan oleh naluri manusia secara umum, seperti obat-obatan yang pahit dan racun, padahal hal tersebut termasuk harta yang berharga.
c.       Definisi harta sebagai sesuatu yang bisa disimpan untuk waktu yang diperlukan tidak tepat, karena sebagian harta tidak bisa disimpan seperti sayur-sayuran dan lain sebagainya.
d.      Sumber daya alam, seperti pohon-pohon di hutan, ikan di air dan burung di udara dapat disebut harta, meskipun belum dikuasai dan dimiliki oleh seseorang.

Unsur-unsur harta menurut Madzhab Hanafi :[11]
a.      Kebendaan, yaitu bahwa sesuatu itu ada di alam nyata. Setiap sesuatu yang tidak ada materi dan wujudnya di alam nyata, tidak dianggap sebagai harta. Seperti menempati rumah, naik mobil dan lain-lain dari manfaat mendatang yang tidak diterima langsung. Demikian juga hak-hak murni, seperti hak makan dan minum, tidak termasuk harta, namun hal itu termasuk kepemilikan.
b.      Tradisi (`urf), bahwa harta adalah apa yang berlaku dalam tradisi manusia, semua atau sebagian, menyatakan kehartaan suatu benda, memperolehnya, bersaing padanya, dan mengeluarkan uang sebagai gantinya. Apa yang tidak berlaku dalam tradisi manusia, tidak termasuk harta meskipun berbentuk materi. Menurut Madzhab Hanafi, sesuatu yang berharga menurut sebagian orang, meskipun tidak diperbolehkan dalam syariah, tetap disebut sebagai harta. Seperti minuman keras dan daging babi, karena berharga bagi non-muslim.[12]

Sumber nilai harta menurut Madzhab Hanafi
            Sumber nilai kehartaan dari sesuatu adalah tradisi, baik tradisi secara umum seperti pengakuan mayoritas manusia terhadap harta, maupun tradisi khusus seperti pengakuan sebagian orang terhadap harta (minuman keras dan daging babi). Pengakuan dan tradisi manusia, memberikan sifat harta kepada segala sesuatu.
            Sementara kebendaan adalah syarat sesuatu menjadi harta, tetapi tidak menjadi sumber kehartaan karena kehartaan tidak bersumber dari sifatnya sebagai benda. Sebutir gandum bersifat benda dan bentuknya nyata, namun demikian tidak termasuk harta karena tidak ada nilainya menurut tradisi.
            Dalam menjelaskan masalah ini, Ibnu Abidin menegaskan bahwa sifat harta menjadi tetap dengan pengakuan sebagai harta oleh manusia seluruhnya atau sebagian. Nilai hartanya juga tetap dengan pengakuan tersebut, dan dengan pemanfaatan yang dibolehkan menurut syariah. Segala sesuatu yang dianggap sebagai harta namun tidak boleh dimanfaatkan, tidak termasuk bernilai (mutaqawwim), seperti minuman keras.[13]

Sumber nilai harta (taqawwum)
            Menurut madzhab Hanafi, sesuatu memiliki nilai apabila terdapat dua hal :
Pertama, ada pengakuan terhadap kehartaan suatu benda, yaitu adanya nilai materi yang dipersaingkan padanya dan dikeluarkan harta untuk mendapatkannya. Kedua, ketetapan syariah terhadap pemanfaatan benda tersebut. Dengan demikian, menurut madzhab Hanafi harta terbagi menjadi dua jenis :
a.      Harta sempurna, apabila mencakup du syarat : pengakuan manusia dan legalitas syariah terhadap manfaatnya.
b.      Harta tidak sempurna, apabila mendapat pengakuan manusia terhadap manfaatnya, namun tidak diperbolehkan menurut syariah.

2.      Definisi harta menurut Jumhur Fuqaha
            Al-Suyuthi mengutip definisi Imam Syafi`i, bahwa harta adalah sesuatu yang memiliki nilai dan dapat dijual meskipun sedikit, dan apa yang tidak dibuang oleh manusia.[14]
            Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa harta adalah apa yang dimanfaatkan, atau mungkin untuk dimanfaatkan, yang meliputi benda dan manfaat.[15]
            Al-Muqaddasi menyatakan bahwa harta adalah apa yang diperbolehkan manfaatnya secara mutlak, atau boleh memperolehnya tanpa hajat dan dharurat.[16]
            Dengan demikian, menurut jumhur fuqaha harta adalah segala sesuatu yang bernilai, jika merusaknya diwajibkan mengganti, dan pemanfaatannya dibolehkan oleh syariah.[17]
            Jumhur fuqaha sepakat dengan madzhab Hanafi, bahwa segala sesuatu yang tidak ada nilainya tidak termasuk harta. Jumhur tidak mensyaratkan bahwa harta harus ada wujudnya, maka manfaat-manfaat, hak-hak murni dan hutang termasuk harta menurut mereka.

Sumber nilai harta menurut Jumhur Fuqaha
            Sumber nilai harta terkandung pada apa yang mempunyai nilai menurut manusia dan pemanfaatannya diperbolehkan oleh syariah. Apa yang tidak dimanfaatkan karena sedikit, tidak disebut harta karena tidak ada nilainya dalam tradisi manusia. Dan apa yang tidak diperbolehkan menurut syariah, sekalipun dianggap harta oleh sebagian orang (minuman keras), maka tidak termasuk harta.
            Dengan demikian, nilai harta menurut jumhur fuqaha terdapat dalam dua unsur : Pertama, pengakuan tradisi manusia bahwa sesuatu mempunyai nilai, baik berupa benda maupun manfaat. Kedua, ketetapan syariah yang membolehkan pemanfaatan apa yang sudah menjadi tradisi manusia, pada kondisi lapang dan tidak terpaksa (ikhtiyar).[18]

Perbedan antara istilah Madzhab Hanafi dan Jumhur Fuqaha
            Perbedaan ini terlihat pada dua hal :
1.      Perbedaan dalam memandang manfaat sebagai harta atau bukan.
            Madzhab Hanafi berpendapat bahwa manfaat tidak termasuk harta. Alasan mereka adalah sifat harta harus tetap dan tamawwul, yakni mendapatkan sesuatu dan mengeluarkannya. Maka setiap yang tidak bisa dikeluarkan dan diperoleh, tidak disebut harta.
            Sementara jumhur fuqaha melihat bahwa manfaat termasuk harta. Harta mencakup benda dan manfaat, karena naluri manusia menerima atau menginginkan manfaat, dan mereka mengeluarkan harta untuk mendapatkannya. Dan pada hakikatnya kemashlahatan berada pada manfaat sesuatu, bukan pada bendanya.
2.      Perbedaan cara pandang terhadap barang yang dilarang oleh syariah.
            Madzhab Hanafi melihat bahwa minuman keras dan daging babi adalah harta bagi non-muslim, karena menurut mereka barang tersebut tidak haram. Dan kita diperintahkan untuk membiarkan ahlu dzimmah menjalankan agama mereka.
            Sedangkan jumhur fuqaha memandang bahwa barang-barang yang dilarang menurut syariah tidak disebut harta, bagi muslim mapun non-muslim.
            Dengan demikian, madzhab Hanafi tidak menjadikan bolehnya pemanfaatan menurut syariah sebagai unsur harta, tetapi melihatnya sebagai unsur nilai (taqawwum). Sementara jumhur fuqaha menjadikan bolehnya pemanfaatan menurut syariah sebagai unsur harta, maka setiap yang tidak diperbolehkan menurut syariah tidak termasuk harta.
            Perbedaan pendapat antara madzhab Hanafi dan jumhur fuqaha ini mempunyai implikasi pada beberapa hal, diantaranya ghasab, mirats dan ijarah.[19]
a.      Orang yang meng-ghasab suatu barang kemudian memanfaatkannya selama beberapa saat, kemudian mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, menurut madzhab Hanafi, dia tidak wajib membayar ganti rugi. Akan tetapi menurut jumhur fuqaha, dia wajib membayar ganti rugi.
b.      Dalam sewa-menyewa, menurut madzhab Hanafi, akad ini berakhir dengan sendirinya dengan kematian pihak penyewa, karena manfaat tidak termasuk harta yang bisa diwariskan. Sementara menurut jumhur fuqaha, akad sewa-menyewa tidak berakhir secara otomatis dengan kematian pihak penyewa, akan tetapi akan berakhir sesuai dengan akadnya.
c.       Hak-hak tidak dapat diwariskan menurut madzhab Hanafi, sedangkan menurut jumhur fuqaha hak-hak dapat diwariskan.

Pembagian harta menurut syariah
            Pembagian harta berdasarkan beberapa segi, terbagi menjadi :
1.      Menurut haram dan halal pemanfaatannya, terbagi menjadi : bernilai (mutaqawwim) dan tidak bernilai (ghairu mutaqawwim). Mutaqawwim adalah sesuatu yang sudah didapatkan dan boleh dimanfaatkan secara syariah. Sedangkan ghairu mutaqawwim adalah sesuatu yang belum didapatkan/dikuasai, atau yang tidak dibolehkan menurut syariah, seperti ikan di laut, minuman keras dan daging babi.
2.      Menurut kesamaan bagian atau tidaknya, terbagi menjadi : mitsly (similar/sama) dan qimiy (valuation/taksiran). Al-Mal al-Mitsly adalah sesuatu yang ada padanannya. Ada empat macam mitsly yaitu : al-makiilaat (gandum), al-mauzunaat (kapas), al-`adadiyaat (telur), dan al-dzira`iyaat (yang dijual dengan ukuran depa/meter). Sedangkan al-mal al-qimiy adalah yang tidak ada padanannya, seperti hewan, pohon dan lain-lain.
3.      Menurut tetapnya di suatu tempat atau tidak tetapnya, terbagi menjadi : harta tetap (`aqar), (seperti rumah dan tanah) dan harta bergerak (manqul). Al-Manqul seperti barang dagangan, hewan, dan lain sebagainya.
4.      Menurut tetap tidaknya benda ketika dipergunakan, terbagi menjadi : konsumtif (istihlaki) dan bersifat pemakaian (isti`mali). Istihlaki adalah barang yang pemanfaatannya dengan cara mengkonsumsinya, seperti makanan dan minuman. Sementara Isti`mali adalah barang yang bisa dimanfaatkan tanpa mengkonsumsinya, atau barang tersebut tetap ada wujudnya, seperti rumah, mobil dan lain-lain.[20]

Konsep harta dalam syariah
            Islam memandang harta dengan acuan dasar akidah, yakni dengan mempertimbangkan kesejahteraan manusia, alam masyarakat dan hak milik. Pandangan ini berdasar kepada keyakinan bahwa Allah pengatur segala hal dan Maha Kuasa atas segalanya. Hubungan manusia dengan lingkungannya dibatasi oleh berbagai kewajiban, manusia sekaligus mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
            Harta sebagai perantara manusia dalam kehidupan dunia, manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, dan tanpa menimbulkan penderitaan pada pihak lain.[21] Selanjutnya ada beberapa kaidah dasar yang merupakan aturan penggunakan harta, diantaranya larangan pemborosan (israf) dan kikir,[22] larangan pengembangan harta dengan cara menyengsarakan masyarakat, dan juga larangan memakan harta orang lain dengan tidak sah.[23]
            Dari sejumlah anjuran ini, dapat digarisbawahi bahwa, Islam memandang harta terkait erat dengan pemiliknya, namun bersamaan dengan itu pula terkait unsur masyarakat sebagai pihak ketiga. Baik dalam kegiatan berkarya atau bekerja, berinfak atau konsumsi, dan dalam kegiatan investasi. Kaidah ini tidak hanya bersifat normatif saja, tetapi bersifat aktif-positif. Selain fungsi syariah yang telah memberikan batasan-batasan di atas, diperlukan aturan-aturan formal untuk mendukung pelaksanaan hukum tersebut.[24]
            Al-Quran ketika menegaskan konsep kekhalifahan manusia di atas bumi, juga mengembangkannya ke dalam wilayah penanganan harta, dengan memberikan banyak aturan dan ketentuan dalam bekerja, distribusi maupun investasi. Larangan tentang penimbunan harta, tindakan monopoli yang merugikan pihak lain, kewajiban mengeluarkan zakat, sadaqah kepada pihak yang membutuhkan, dan lain sebagainya adalah aturan-aturan yang harus dijalankan oleh masyarakat.
            Diantara prinsip-prinsip penting tentang harta adalah :
1.      Menghindari sentralisasi modal pada segelintir orang atau kelompok. Aturan ini bertujuan untuk memberdayakan umat, dengan mengambil kewajiban zakat dari kelompok kaya, dan membagikannya kepada kelompok miskin. Zakat ini dimaksudkan untuk menghindari sentralisasi harta pada segelintir orang atau kelompok saja. Karena kalau hal itu terjadi akan menimbulkan kesenjangan sosial, yang pada gilirannya akan berakibat kepada tidak terciptanya keadilan sosial.
2.      Mengembangkan yayasan-yayasan kemanusiaan dengan orientasi kemasyarakatan. Hal ini dapat kita lihat dari pengakuan Islam terhadap berbagai konsep tentang harta yang bertujuan humanisme dan kebaikan, seperti bait al-mal, wakaf dan wasiat. Pada masa kejayaan Islam, harta wakaf sangat berperan dalam pemberdayaan masyarakat. Harta wakaf mampu menjadi penggerak kehidupan sosial, pendidikan, dan pendirian lembaga-lembaga sosial yang hasilnya masih bisa dirasakan sampai saat ini.[25]
3.      Pemanfaatan harta sesuai dengan aturan-aturan syariah. Islam melarang harta yang tidak difungsikan, seperti tanah yang dibiarkan tidak ditanami. Cara-cara pemanfaatannya juga harus sesuai dengan aturan-aturan syariah, dengan pemanfaatan yang memberikan manfaat bagi orang banyak, dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain.
4.      Harta adalah perhiasan dunia dan sarana untuk memperoleh kebaikan, maka segala sarana untuk memperoleh kebaikan adalah baik. Islam tidak memandang harta sebagai penghalang untuk mencapai derajat tertinggi dan taqarrub kepada Allah. Pentingnya harta menurut Islam tampak dari kenyataan bahwa, ayat terpanjang dalam Al-Quran berisi peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, anjuran untuk menggunakan penulisan dalam akad, dan perlunya saksi.[26]
5.      Islam memerangi kemiskinan, hal ini menunjukkan bahwa harta mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi dalam Islam. Karena kemiskinan bisa menyebabkan terjadinya kejahatan, maka banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk menjauhi kemiskinan.
6.      Harta sebagai ujian dan cobaan, harta bukan merupakan ukuran mulia atau hinanya seseorang. Harta hanyalah kenikmatan dari Allah sebagai ujian buat manusia, apakah ia bersukur atau menjadi kufur. Maka kelapangan harta atau kekuarangan harta, merupakan cobaan buat manusia, dan bukan sumber kemuliaan ataupun kehinaan. Manusia menjadi mulia bukan karena hartanya, tetapi karena amal ibdahnya.
7.      Norma spiritual lebih baik dan lebih kekal dari harta. Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa, dan penopang kemajuan dan kebangkitannya. Namun harta juga bisa membahayakan etika spiritual manusia, jika mereka menjadikannya sebuah prioritas dalam hidup. Bencana yang ditimbulkan harta bukan disebabkan oleh pengumpulannya sesuai dengan syariah, tetapi karena kecintaan dan kerakusan manusia terhadapnya.
8.      Ekonomi yang baik menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Islam tidak pernah melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi, dan meningkatkan taraf hidup manusia. Namun Islam selalu menekankan bahwa kehidupan ekonomi yang baik hanyalah sarana dalam kehidupan, dan bukan tujuan akhir. Doktrin ini merupakan garis merah antara Islam dan paham materialisme, sosialisme dan kapitalisme.[27]

Hak Cipta dalam perspektif Islam
            Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia. Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas antar manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; ditemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468) pada tahun 1436, mesin pintal atau tekstil oleh Sir Richard Arkwrigt (1732-1792) dan Jemes Hargreves (?-1778), mesin uap oleh James Watt (1736-1819), teori grafitasi, kalkulus, dan spectrum cahaya oleh Isaac Newton (1642-1727), dan lain sebagainya.[28]
Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Pada abad Kuno, hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan (Gesetez).  Mereka menganggap bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti; rumah, tanah, atau benda lainnya.[29]
Adalah Corpus Juris yang pertama kali menyadari kehadiran hak milik baru yang merupakan ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas. Namun demikian pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (Materielles Eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles Eigentum) yang merupakan produk kreatifitas manusia. Istilah Immaterielles Eigetum inilah yang sekarang disebut dengan hak milik intelektual (HAMI), atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang merupakan terjemahan dari dari kata geistiges eigentum, atau intellectual property right.[30]
Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah dilakukan sejak dahulu. Sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka sejarah hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir seluruh pelaturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda). Undang-undang hak cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987. Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992 mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.[31]

Pengertian hak cipta
            Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti hak cipta, diantaranya : haq al-ibda`, haq al-ibtikar, haq al-ta lif/al-muallif, dan haq baraat al-ikhtira`.
            Hak cipta adalah hak materi (financial) terhadap sebuah karya, obyeknya adalah sesuatu yang non-materi, bersifat original, terdepan (pertama kali), dan menjadi pusat perhatian banyak pihak.[32]
            Yang dimaksud dengan hak cipta sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1 ayat 1 UUHC No. 16 tahun 2002 adalah; hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Teori hak dalam Islam
                Apabila menelusuri dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Quran maupun Hadits, masalah hak cipta belum mempunyai dalil atau landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan atas hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian, secara implisit, perlindungan terhadap hak cipta ditemukan dalam sistem hukum Islam. Hal ini dikarenakan konsep hak itu sendiri dalam prespektif hukum Islam, tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.
            Di antara para pemikir Islam, Imam al-Qurafi adalah tokoh Islam pertama yang membahas masalah hak cipta. Dalam kitabnya yang berjudul al-Ijtihadat Imam al-Qurafi berpendapat bahwa hasil karya cipta (hak cipta) tidak boleh diperjual belikan, karena hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari sumber aslinya. Namun demikian pendapat Imam al-Qurafi tersebut dibantah oleh Fathi al-Daraini yang berpendapat bahwa hak cipta merupakan sesuatu yang bisa diperjual belikan, karena adanya pemisahan dari pemiliknya. Dalam masalah hak cipta ini Fathi al-Daraini mensyaratkan harus ada standar orisinalitas yang membuktikan keaslian ciptaan tersebut.[33] 
            Hak (al-haq) secara epistimologi berarti milik; ketetapan dan kepastian. Menurut terminologi, ada beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. Sebagian ulama mutaakhkhirin (generasi belakangan) hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara. Syeikh Ali al-Khafif mengartikannya sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara. Mustafa Ahmad az-Zarqa mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara suatu kekuasaan. Lebih singkat lagi, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) ahli fiqh Madzhab Hanafi mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang terlindung.[34]
            Secara umum, hak diartikan sebagai suatu ketentuan yang dengannya syara menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum. Sumber hak itu sendiri menurut ulama fiqh ada lima, yaitu; Pertama, syara, seperti berbagai ibadah yang  diperintahkan. Kedua, akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik. Ketiga, kehendak pribadi, seperti janji dan nazar. Keempat, perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang. Kelima, perbuatan yang menimbulkan kemadaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan barang milik orang lain.[35]

Perlindungan hak cipta dalam Islam
            Dalam Islam, digariskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sah (benar dan halal) seperti; harta yang diperoleh dari hasil kerja keras, harta yang diambil dari benda yang tidak bertuan, harta yang diambil atas dasar saling ridha, harta yang diperoleh dari warisan, wasiat, hibah, dan lain sebagainnya, adalah wajib dilindungi baik oleh individu maupun masyarakat. Hak cipta atau hak intelektual adalah harta yang diperoleh dengan cara yang sah yaitu hasil kerja kreatif baik individu maupun kelompok. Oleh karena itu, hak cipta termasuk salah satu milik (kekayaan) yang harus dijaga baik oleh si pemilik maupun masyarakat.
                Pencurian atau pembajakan dalam syariat Islam berlaku hanya terhadap benda bergerak yang bermateri, sebab pencurian menuntut adanya syarat yang harus dipenuhi, yaitu benda yang dicuri berupa benda bergerak, dianggap sebagai harta (berharga), dihormati, memiliki tempat penyimpanan yang layak, dan penjagaan.
            Dalam fiqh, disepakati bahwa selain benda bergerak yang bermateri, seperti benda-benda yang ma`nawi semacam hak (huquq), ciptaan (ibtikar) dalam berbagai bentuknya tidak cocok untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Harta ini apabila telah menjadi bentuk materi seperti buku, kaset, cd, dan lain sebagainya, maka menjadi benda bergerak dan bermateri yang pantas untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap hak cipta apabila sudah menjadi benda bergerak dan bermateri.[36]
            Ulama madzhab Hanafi sepakat bahwa, segala sesuatu yang bermanfaat boleh diperjualbelikan, maka hak cipta juga termasuk sesuatu yang berharga (taqawwum), dan mempunyai sifat al-maliyah. Imam Al-Syatibi menyatakan bahwa harta adalah segala sesuatu yang bisa menjadi obyek kepemilikan. Dan hak ini mencakup kepemilikan terhadap benda, manfaat dan hak-hak non-materi. Dengan demikian hak cipta adalah harta dan harus dilindungi.
            Imam Al-Suyuthi menyebutkan bahwa dasar penentuan harta adalah `urf (tradisi). Dan harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, diperjualbelikan, dan yang merusaknya harus membayar ganti rugi. Maka dapat disimpulkan bahwa hak cipta juga termasuk harta. Sedangkan ulama madzhab Hanbali juga menegaskan bahwa harta adalah, segala sesuatu yang mempunyai manfaat yang mubah, tanpa ada hajah atau dharurah. Manfaat yang baik termasuk dalam kategori harta, meskipun bukan benda materi.[37]
            Dengan demikian dapat disimpulkan,  para ulama dari keempat madzahib fiqhiyah sepakat bahwa manfaat dari hak-hak ma`nawi sama hukumnya dengan benda, dan termasuk dalam kategori harta. Bisa menjadi obyek kepemilikan, dan harus dijaga dari pelanggaran atau pencurian.

Pendapat ulama kontemporer tentang hak cipta
            Secara umum ada dua pendapat ulama dalam masalah ini, yaitu :
1.      Pendapat beberapa ulama madzhab Hanafi, mengatakan bahwa manfaat atas sesuatu tidak bisa disebut harta, maka hak cipta bukan harta yang harus dilindungi, akan tetapi hendaknya dibiarkan bebas, atau tanpa kompensasi uang. Landasan pendapat mereka adalah bahwa segala sesuatu tidak bisa disebut harta, kecuali mempunyai dua kriteria, yaitu : Pertama, bisa didapatkan atau dikuasai, dan Kedua, bisa dimanfaatkan secara tradisi. Maka hal-hal yang bersifat non-materi seperti ilmu, kesehatan, kebahagiaan, tidak disebut harta karena tidak bisa dikuasai atau dipegang. Kecuali jika ada perjanjian dalam akad, bahwa ada kompensasi atas manfaat yang akan digunakan, maka hal ini boleh, contohnya sewa-menyewa.[38]
2.      Pendapat mayoritas ulama madzhab Maliki dan Syafi`i. Mereka mengatakan bahwa hak cipta, seperti hak-hak yang lain, bisa menjadi obyek pertukaran uang. Maka hak cipta adalah harta yang wajib dilindungi. Argumen-argumen dikemukakan dalam hal ini, diantaranya :
a.      Hak cipta mempunyai sifat uang (shifat al-maliyah), karena manfaat dari benda adalah harta. Harta bagi jumhur fuqaha adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan yang merusaknya wajib mengganti kerugian. Maka harta mencakup benda dan manfaat, dan termasuk di dalamnya semua hak-hak non-materi. Hak milik atas sebuah benda menjadikan pemiliknya mempunyai hak-hak : al-isti`mal, al-istighlal, dan al-tasharruf.
b.      Tradisi yang umum berlaku, menjadikan hak cipta dan hak-hak yang lain adalah obyek pertukaran. Sementar tradisi adalah sumber dari sifat al-maliyah dari berbagai benda, dan dasar dari tradisi ini adalah al-mashalih al-mursalah.
3.      Prisip kebenaran dan keadilan (al-haq wa al-`adl) menegaskan perlunya penguasaan pemilik hak terhadap haknya, pelarangan manipulasi suatu statemen kepada orang lain, atau menanggung kesalahan orang lain.
4.      Prinsip “Al-Ghunum bi al-Ghurmi”, atau “Al-Kharraj bi al-Dhaman”, menyatakan sebuah keharusan bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perkataan atau perbuatannya. Sebaliknya ia juga mempunyai hak atas hasil karya atau ciptanya.
5.      Kreativitas akal atau otak manusia adalah sumber dari segala kemudahan yang ditimbulkan dari penemuan-penemuan tehnologi dan lain sebagainya. Maka jika penemuan-penemuan tehnologi tersebut bersifat harta, tentu kreativitas akal manusia lebih layak atau lebih utama untuk dikategorikan sebagai harta.[39]

Kesimpulan
            Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa, merupakan sebuah kedzaliman apa yang kita lihat sekarang, dimana penerbit-penerbit, percetakan-percetakan berhasil meraup keuntungan yang sangat menggiurkan. Sementara sang penulisnya, yang telah bekerja keras, menghabiskan waktu dan energi yang sangat banyak, hanya mendapatkan sekian persen dari keuntungan tadi. Maka hak cipta adalah harta kekayaan yang harus dijaga dan dilindungi.
            Hasil keputusan “majma` al-Fiqh al-Islami al-Dauliy” pada sidang kelima, di Kuwait tahun 1988 tentang hak-hak ma`nawi, menyatakan bahwa :
1.      Al-Ism al-Tijariy, al-`Unwan al-Tijariy, al-`Alamat al-Tijariyah (trade mark), haq al-ta lif, al-ikhtira`, dan al-ibtikar adalah hak-hak khusus bagi pemiliknya, mempunyai nilai harta (qimah maliyah) dalam tradisi modern, dilindungi secara hukum dan tidak diperbolehkan pelanggaran terhadapnya.
2.      Pada hak al-Ism al-Tijariy, al-`Unwan al-Tijariy dan al-`Alamah al-Tijariyah boleh dimanfaatkan oleh pemiliknya, karena merupakan hak terhadap harta.
3.      Hak-hak al-Ta lif, al-Ikhtira` dan al-Ibtikar dilindungi oleh undang-undang, pemiliknya berhak memanfaatkannya dan pelanggaran terhadapnya tidak diperbolehkan.











           








Daftar Pustaka :
                Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Mu`amalaat al-Maliyah al-Mu`ashirah, Dar al-Fikr al-Mu`ashir, Dimasyqa, Al-Thaba`ah al-Ula, July 2002.
            Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuhu, Dar al-Fikr al-Mu`ashir, Dimasyqa, Al-Thaba`ah al-Rabi`ah, 2004.
            Al Khafif, Ali, Al Milkiyyah fi as Syariah al Islamiyah ma`a al muqaranah bi as Syarai` al wadh`iyyah, Kairo, Dar al Fikr al `Araby, 1996.
            Al Abbadi, Abdus Salam Dawud Muhammad, Al Milkiyyah fi as Syari`ah al Islamiyah, thabi`atuha wa wadzifatuha wa quyuduha, dirasah muqaranah bi al qawanin wa an nudzum al wadh`iyyah, Beirut, Muassasah ar Risalah, 2000.
            An Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam : pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000.
            An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cetakan Ketujuh, 2002.
            Al-Mushlih, Abdullah dan Al-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah : Abu Umar Basyir, Darul Haq, Jakarta, 2004.
            At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam : Prinsip, Dasar dan Tujuan, Penerjemah : M. Irfan Shofwani, Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004.
            Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Penerjemah : Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
            Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Penerjemah : M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997.
            Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah : Zaenal Arifin & Dahlia Husin, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
            Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo & Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
            Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah : M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
            Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Penerjemah : Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.
            Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam, Penerjemah : Rahmani Astuti, Penerbit Pustaka, Bandung, 1987.
           
           
           
           
           



[1]  Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah : Zaenal Arifin & Dahlia Husin, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, h : 72
[2]  M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Penerjemah : Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, h :  24
[3]  Ibnu Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, Jilid 2, h : 550
[4]  Ibnu Al-Atsir, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, tahqiq : Mahmud al-Thanahi, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, TT, Jilid 4, h : 373
[5]  Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, Al-Thabaah al-Rabi`ah, 2004, Jilid 4, h : 2875
[6]  Lihat Musthafa Zarqa, Nadzariyatu al-Iltizam al-Amah fi al-Fiqh al-Islami, Jilid 3, h : 131 dalam M. Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam : Pilihan setelah kegagalan sistem Kapitalis dan Sosialis, Alih bahasa : Muhadi Zainuddin, UII Press, Yogyakarta, 2000, h : 31
[7]  Ibnu Abidin, Raddu al-Muhtar `Ala al-Durr al-Mukhtar, Dar Ihya al-Turats al-Araby, Beirut, 1992, Jilid 4, h : 3
[8]  Ibnu Najim, Al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Dar al-Ma`rifah, Beirut, Cetakan ke-3, 1993, Jilid 5, h : 277
[9]  Damada, Majma al-Anhur fi Syarhi Multaqa al-Abhur, Dar Ihya al-Turats al-Araby, Beirut, TT, Jilid 2, h : 3
[10]  Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami..., ibid, h : 2876
[11]  Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami..., ibid, h : 2876
[12]  Al-Kasani, Badai` al-Shanai` fi Tartib al-Syarai`, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, Beirut, TT, Jilid 5, h : 143
[13]  Ibnu Abidin, Raddu al-Muhtar....ibid, 4/3
[14]  Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair, Al-Maktabah al-Tijariyah, Cairo, 1359 H, h : 258
[15]  Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa`id, tahqiq : Taisir Faiq Mahmud, Wazarah al-Auqaf al-Islamiyah, Kuwait, 1982, 3/222
[16]  Syarafuddin al-Muqaddasi, Al-iqna` fi Fiqh Ahmad bin Hanbal, Dar al-Ma`rifah, Beirut, TT, 2/59
[17]  Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami..., ibid, h : 2877
[18]  Al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin, Al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. 2, 1985, 3/350
[19]  Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami..., ibid, h : 2878
[20]  Ibid, h : 2879-2891. Ahmad Hasan menambahkan pembagian harta menurut tabiat dan fungsinya, menjadi : uang (nuqud) dan barang (`urudh). Lihat Dr. Ahmad Hasan, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Penerjemah : Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h : 101-109
[21]  QS. Al-Mulk : 15 dan Al-Jumu`ah : 10
[22]  QS. Al-Furqan : 67 dan Al-Isra : 26-27
[23]  QS. Al-Baqarah : 188 dan 278-279
[24]  M. Faruq An-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam...ibid, h : 34
[25]  M. Faruq An-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam...ibid, h : 37-39
[26]  Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika...ibid, h : 77
[27]  Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika...ibid, h : 85-86
[28]  Bill Yenne dan Eddy Soetrisno, Buku Pintar 100 Peristiwa yang Membentuk Sejarah Dunia,  Taramedia dan Restu Agung, Jakarta, t.th, h : 56
[29]  Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Global, Cet. 1, UIR Press, Riau, 2001, h : 1
[30]  Ibid, h : 1-11
[31]  Pasal 44/1 UUHC No. 7 Tahun 1987. Untuk lebih jelasnya penjelasan mengenai sejerah Hak Milik Intelektual di Indonesia bisa dibaca dalam Syafrinaldi, Hukum...Ibid., h : 19-31. Baca juga Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19/2002), dihimpun oleh Hadi Setia Tunggal, Harverindo, Jakarta, 2005, h :  iii-ix  
[32]  Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu`amalaat al-Maliyah al-Mu`ashirah, Dar al-Fikr al-Mu`ashir, Dimasqa, Al-Taba`ah al-Ula, 2002, h : 580-582
[33]  Fathi al-Daraini, al-Fiqhu al-Islami al-Muqaran Ma`a al-Madzahib, Mathba`ah at-Thurbin, Dimasyqa, TT, h : 223-244
[34]  Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h : 486
[35]  Ibid, h : 489
[36]  Muhammad Awadh, Dirasah fi al-Fiqh al-Jinai al-Islami, Dar al-Jami`iyah, t.th, Iskandariyah, h : 41
[37]  Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu`amalaat al-Maliyah al-Mu`ashirah..., ibid, h : 582-583
[38]  Ibid, h : 589-592
[39]  Ibid, h : 505

Tidak ada komentar:

Posting Komentar