Rabu, 20 November 2013

Menimbang kembali sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern

Menimbang kembali sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern
Setiawan bin Lahuri
(binlahuri@gmail.com)

Pendahuluan
            Al-Qur`an yang merupakan rujukan dan sumber hukum utama umat Islam, telah menjelaskan sumber zakat dengan menggunakan dua pendekatan[1] :
1.      Al-Bayan al-Ijmali atau global, yaitu dengan menjelaskan segala macam harta yang dimiliki, dan memenuhi persyaratan zakat.
2.      Al-Bayan at-Tafshili (detail) dengan menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan zakat,maka wajib dikeluarkan zakatnya.
            Dengan pendekatan global ini, semua jenis harta benda yang belum ada contoh kongkretnya di zaman Rasulullah saw, tetapi perkembangan ekonomi membuatnya menjadi barang berharga (bernilai), maka harus dikeluarkan zakatnya. Beberapa sumber zakat meskipun secara langsung tidak dikemukakan dalam Al-Qur`an dan Hadits, akan tetapi saat ini menjadi sumber atau obyek zakat yang penting. Penentuan hukum zakat untuk obyek-obyek baru hasil ‘ijtihad’ ini banyak menggunakan dalil analogi (qiyas) yang merupakan salah satu dari dalil-dalil yang menjadi kesepakatan para ulama (al-Adillah al-Muttafaq `alaiha)[2]. Disamping menggunakan juga beberapa kaidah-kaidah fiqh dan tujuan umum dari syari`ah (maqashid as-syari`ah).
            Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menetapkan sumber zakat adalah sebagai berikut :
1.      Sumber zakat tersebut masih dianggap hal yang baru, sehingga belum terdapat pembahasan secara mendalam dan terinci, berbagai macam kitab-kitan fiqh terdahulu belum banyak menjelaskannya, sebagai contoh zakat profesi.
2.      Sumber zakat tersebut merupakan ciri utama ekonomi modern, sehingga hampir di setiap negara yang sudah maju maupun di nergara berkembang, merupakan sumber zakat yang cukup potensial. Contohnya zakat investasi properti, zakat perdagangan mata uang dan lain sebagainya.
3.      Sementara ini zakat selalu dikaitkan sebagai kewajiban perorangan, sehingga badan hukum yang melakukan kegiatan usaha tidak termasuk dalam sumber zakat. Padahal zakat disamping harus dilihat dari sudut muzakki, juga harus dilihat dari sudut obyek hartanya. Oleh karena itu sumber zakat yang harus dikeluarkan oleh lembaga-lembaga dan badan hukum perlu mendapatkan pembahasan, sebagai contoh zakat perusahaan.
4.      Sumber zakat sektor modern yang mempunyai nilai yang sangat signifikan, dan terus berkembang dari waktu ke waktu, dan perlu mendapatkan perhatian serta keputusan status zakatnya, misalkan usaha tanaman anggrek, burung walet, ikan hias dan lain sebagainya. Demikian pula sektor rumah tangga modern pada sekelompok tertentu yang berkecukupan, bahkan cenderung berlebih-lebihan (israf), yang dapat dilihat dari jumlah dan harga kendaraan serta perabotan rumah tangga yang dimilikinya.
            Dalam kaitannya dengan perekonomian modern diantaranya sector pertanian, industri dan jasa, jika dilihat dari kegiatan zakat, maka ada yang tergolong pada flows dan ada pula yang tergolong dalam stocks[3]. Flows adalah berbagai aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan dalam waktu jam, hari, bulan dan tahun, tergantung pada akadnya. Sedangkan stocks adalah networth atau hasil kotor dikurangi keperluan keluarga dari orang perorang yang harus dikenakan zakat pada setiap tahunnya sesuai dengan nishab.
            Dengan menggunakan metode purpose sampling berdasarkan kriteria-kriteria diatas, maka terpilihlah sumber zakat dari hal-hal berikut ini[4] :
a.       Zakat Profesi
b.      Zakat Perusahaan
c.       Zakat Surat-Surat Berharga
d.      Zakat Perdagangan Mata Uang
e.       Zakat Hewan Ternak yang Diperdagangkan
f.        Zakat Madu dan Produk Hewani
g.       Zakat Investasi Properti
h.      Zakat Asuransi Syariah
i.         Zakat Tanaman Anggrek, Ikan Hias, Burung Walet, dan sebagainya
j.         Zakat Aksesoris Rumah Tangga Modern

A.     Zakat Pencarian dan Profesi
            Menurut Yusuf Qardhawi bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya[5]. Pekerjaan yang menghasilkan uang dua macam :
            Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan atau otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit dan lain sebagainya.
            Kedua adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain, baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah. Penghasilan dari pekerjaan seperti ini berupa gaji, upah atau honorarium[6].
            Landasan hukum kewajiban zakat profesi adalah QS. At-Taubah : 103, Al-Baqarah : 267 dan Adz-Dzariyaat : 19. Sayyid Quthub dalam Fi Dzilaal Al-Quran ketika menafsirkan Al-Baqarah : 267 menyatakan bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup juga seluruh yang dikeluarkan Allah swt dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, dan hasil pertambangan. Karena itu nash ini mencakup semua harta benda, baik yang terdapat di zaman Rasulullah saw, maupun di zaman sesudahnya[7].

Nishab, Waktu dan Kadar Zakat Profesi
            Terdapat beberapa kemungkinan dan kesimpulan dalam menentukan nishab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi, hal ini sangat bergantung kepada analogi yang digunakan :
            Pertama, jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan waktu mengeluarkannya sama dengan zakat perdagangan, zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok.
            Contoh : jika penghasilan seseorang Rp.5.000.000 setiap bulan dan kebutuhan pokoknya Rp.3.000.000, maka besar zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5% x 12 x Rp.2.000.000 adalah Rp.600.000 per tahun atau Rp.50.000 per bulan.
            Kedua : jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus di atas, maka kewajiban zakatnya adalah : 5 % x 12 x Rp.2.000.000 adalah Rp.1.200.000 per tahun atau Rp.100.000 per bulan.
            Ketiga : jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Pada contoh di atas, maka zakat yang wajib dikeluarkan 20 % x Rp.5.000.000 adalah Rp.1.000.000 setiap bulan.
            Disini perlu dicatat bahwa kondisi pertanian saat ini yang tidak berpihak pada para petani, dengan biaya pertanian yang tinggi (benih, pupuk, solar dan lain sebagainya), sementara harga jual hasil pertanian mereka tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, maka analogi zakat profesi terhadap zakat pertanian tidak tepat.

B.     Zakat Perusahaan
            Sebagian besar perusahaan saat ini dikelola tidak secara individu melainkan secara bersama-sama oleh sebuah lembaga atau organisasi dengan manajemen yang modern, misalnya PT, CV, Koperasi dan lain sebagainya. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa saat ini komoditas yang dikelola perusahaan tidak terbatas pada komoditas tertentu yang konvensional, yang dilakukan dalam skala, wilayah dan level yang sempit. Bisnis yang dikelola perusahaan telah merambah berbagai bidang kehidupan, dalam skala dan wilayah yang sangat luas. Secara sederhana perusahaan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori : pertama perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu, kedua perusahaan yang bergerak di bidang jasa, dan ketiga perusahaan yang bergerak di bidang keuangan[8].
            Landasan hukum dari zakat perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, diantaranya : QS. Al-Baqarah : 267, At-Taubah : 103 dan beberapa Hadits Shahih.

Nishab, Kadar dan Waktu Zakat Perusahaan
            Para Ulama dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H), menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan perdagangan atau trading. Oleh karena itu secara umum pola penghitungan dan pembayaran zakat perusahaan sama dengan zakat perdagangan. Yaitu 2,5 %, dengan nishab 85 gram emas.
            Biasanya sebuah perusahaan memiliki harta dalam bentuk[9] :
1.      Harta dalam bentuk barang, baik yang berupa sarana dan prasarana, maupun yang berupa komoditas perdagangan.
2.      Harta dalam bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank.
3.      Harta dalam bentuk piutang.
            Dengan demikian harta perusahaan yang wajib zakatnya meliputi ketiga bentuk harta tersebut, dikurangi harta dalam bentuk sarana dan prasarana serta kewajiban mendesak lainnya, seperti hutang jatuh tempo. Pola penghitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan keuangan dengan mengurangi kewajiban atas aktiva lancar, atau seluruh harta (kecuali sarana dan prasarana) ditambah keuantungan dikurangi pembayaran hutang dan kewajiban lainnya, dan dikeluarkan 2,5 % sebagai zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwaal.
            Sementara ada pendapat lain yang menyatakan bahwa zakat perusahaan hanya diambil dari keuntungan perusahaan saja[10].
            Nampaknya dengan keuntungan besar yang berhasil diraup oleh perusahaan-perusahaan khususnya yang bergerak di bidang transportasi, telekomunikasi dan tehnologi, maka zakat yang hanya 2,5 % dari kekayaan perusahaan, tidak relevan dengan realitas yang ada di masyarakat. Perlu semacam ijtihad untuk menaikkan prosentasi zakat perusahaan supaya lebih besar dari 2,5 %.

C.      Zakat Surat-Surat Berharga (Saham dan Obligasi)
Zakat Saham
            Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan adalah saham. Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaannya. Pada setiap akhir tahun, biasanya pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham dapat diketahui deviden (keuntungan) perusahaan dan kerugiannya. Pada saat itulah dihitung ketentuan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
            Yusuf Qardhawi mengemukakan dua pendapat yang berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham perusahaan[11] :
            Pertama, jika sebuah perusahaan adalah perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Contohnya perusahaan hotel, biro perjalanan, angkutan dan lain sebagainya. Alasannya adalah karena saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung dan sarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang dihasilkan digabungkan ke dalam harta pemilik saham tersebut, kemudian zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya.
            Kedua, jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni, yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa mengeluarkan kegiatan pengolahan, maka sahamnya wajib dikeluarkan zakatnya.
            Berdasarkan keterangan di atas, maka zakat saham dapat dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya sebesar 2,5 %.
Zakat Obligasi
            Obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank, perusahaan atau pemerintah, kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa waktu tertentu dan dengan tingkat bunga tertentu pula.
            Obligasi sangat tergantung kepada bunga yang termasuk kategori riba yang secara tegas dilarang dalam agama. Meskipun demikian yang menarik adalah bahwa sebagian ulama, meskipun mereka sepakat bahwa bunga adalah haram, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu sumber zakat dalam perekonomian modern. Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu dibebaskan dari zakat, maka oranag akan lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham, dengan demikian orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang haram, dan jika ada harta yang haram sedangkan pemiliknya tidak diketahui, maka akan disalurkan kepada sedekah[12].
            Didin Hafidhuddin berpendapat bahwa jika obligasi hanya tergantung pada bunga, maka bukan merupakan obyek atau sumber zakat, karena zakat hanya bisa diambil dari harta yang baik dan halal.

Kesimpulan
            Hal-hal yang tersebut diatas adalah sebagian dari harta benda dalam perekonomian modern yang oleh para ulama dipandang harus dikeluarkan zakatnya, meskipun secara pasti tidak tercantum dalam nash Al-Qur`an dan Hadits. Yusuf Qardhawi secara panjang lebar menjelaskan dalam buku Fiqh Az-Zakat tentang sumber-sumber zakat pada perekonomian modern, diantaranya zakat investasi pabrik, gedung dan lain lain. Zakat Profesi atau penghasilan dan Zakat Saham dan Obligasi.
            Barangkali yang menjadi tugas kita saat ini adalah mencari sumber-sumber zakat yang baru dari obyek-obyek perekonomian modern yang sangat luas. Dimana sebagian besar perusahaan-perusahaan sekarang ini mendapatkan keuntungan yang sangat besar, dan sudah tentu harta tersebut harus dibayarkan zakatnya.
            Wallahu a`lam.





















Daftar Pustaka :

            Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits, terj. Dr. Salman Harun, Dr. Didin Hafidhuddin dan Drs. Hasanuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, Cetakan kesepuluh, 2007

            Didin Hafidhuddin : Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002

            `Abdul Wahhab Khalaf : `Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Haramain, Jeddah, 2004

            Gazi Inayah : Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainuddin Adnan dkk, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003

            `Abdul Hamid Mahmud Al-Ba`ly : Ekonomi Zakat : Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah, terj. Muhammad Abdul Karim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006

            Ugi Suharto : Keuangan Publik Islam : Reinterpretasi Zakat dan Pajak, Pusat Studi Zakat STIS, Yogyakarta, 2004

            Mundzir Qahaf : Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta, 2000

            Muhammad Abdul Mannan : Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, terj. Drs. M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997
           

           

           




[1]  Didin Hafidhuddin : Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002, hal : 91
[2]  `Abdul Wahhab Khalaf : `Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Haramain, Jeddah, 2004, hal : 20
[3]  Monzer Kahf : Ekonomi Islam : Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, Pustaka Pelajar, Yogayakarta, 1995, hal : 86
[4]  Didin Hafidhuddin, ibid, hal : 93
[5]  Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits, terj. Dr. Salman Harun, Dr. Didin Hafidhuddin dan Drs. Hasanuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, Cetakan kesepuluh, 2007, hal : 459
[6]  Ibid, hal : 459
[7]  Sayyid Quthub : Fi Dzilaal Al-Quran, Daar al-Syuruq, Beirut, 1977, juz 1, hal : 310
[8]  Didin Hafidhuddin, ibid, hal : 99
[9]  Ibid, hal : 102
[10]  Lebih lanjut lihat Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat, ibid, hal : 433 dan seterusnya.
[11]  Yusuf Qardhawi : Hukum Zakat, ibid, hal : 490-497
[12]  Muhammad Abu Zahrah dalam Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, Syauqi Ismail Syahatah, terj. Anshori Umar Sitanggal, Pustaka Dian, Jakarta, 1989, hal : 187

Uang dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam

Uang dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam
Oleh : Setiawan bin Lahuri
 (binlahuri@gmail.com)
Pendahuluan
            Konsep uang dalam sistem ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas bahwa uang adalah uang dan bukan capital. Sebaliknya, konsep tentang uang dalam ekonomi konvensional tidak jelas, sering kali istilah uang diartikan secara ganda, yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.[1]
            Perbedaan lain adalah bahwa dalam ekonomi Islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept, sedangkan capital adalah sesuatu yang bersifat stock concept. Sementara dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian. Frederic S. Mishkin misalnya, mengemukakan konsep Irving Fisher yang menyatakan bahwa :[2]  

                       MV = PT
Keterangan :
M = Jumlah uang
V = Tingkat perputaran uang
P = Tingkat harga barang
T = Jumlah barang yang diperdagangkan
           
            Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang, maka semakin besar income yang diperoleh. Persamaan ini juga berarti bahwa uang bersifat  flow concept. Fisher juga mengatakan bahwa sama sekali tidak ada korelasi antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga. Konsep Fisher ini hampir sama dengan konsep yang ada dalam ekonomi Islam, bahwa uang adalah flow concept, dan bukan stock concept.[3]
            Pendapat lain adalah dari Marshall Pigou yang menyatakan bahwa uang adalah stock concept, dengan demikian uang adalah salah satu cara untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).[4]
            Dari uraian di atas, tidak mudah untuk mengatakan bahwa perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dalam masalah uang, adalah bahwa Islam memandang uang sesuatu yang bersifat flow concept, sedangkan dalam ekonomi konvensional uang adalah stock concept. Karena pada kenyataannya, dalam ekonomi konvensional sendiri terjadi perdebatan yang panjang antara kelompok Friedman dan kaum monetaris di satu pihak, dengan kelompok Keynesian dan Cambridge School di pihak yang lain. Kelompok pertama mengatakan bahwa uang adalah flow concept, sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa uang adalah stock concept.[5]

Konsep uang dalam Islam
            Kata nuqud (uang) tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, dan dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata `ain untuk menunjukkan dinar emas. Sedangkan kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.[6]
            Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.
1.     Uang sebagai Ukuran Harga dan Unit Hitungan
            Ini adalah fungsi utama uang, yaitu sebagai media pengukur nilai harga barang dan jasa, dan perbandingan harga setiap barang dengan barang lainnya. Pada model barter sulit untuk mengetahui harga setiap barang dan jasa terhadap lainnya.
            Uang dalam fungsinya sebagai standar ukuran umum harga, berlaku untuk ukuran nilai dan harga dalam semua barang atau jasa, km untuk jarak, kg untuk berat, dan lain sebagainya. Dengan demikian uang harus bersifat tetap secara proporsional pada daya tukar, sehingga bisa berfungsi maksimal sebagai standar harga barang atau jasa. Dan inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Qayyim (w.751 H) bahwa dinar dan dirham alat untuk mengukur harga barang, sehingga harus bersifat spesifik, akurat, dan tidak naik dan turun.[7]
2.     Uang sebagai Media Pertukaran (Medium of Exchange)
            Uang menjadi alat tukar yang digunakan untuk pertukaran barang dan jasa. Fungsi ini menjadi sangat penting dengan kemajuan ekonomi, dimana transaksi dilakukan oleh banyak pihak. Seseorang tidak lagi memproduksi setiap apa yang dibutuhkan, tetapi terbatas pada barang tertentu saja. Dengan demikian, uang digunakan dalam dua macam proses pertukaran barang dan jasa :
-          Proses penjualan barang dan jasa dengan pembayaran uang
-          Proses pembelian barang dan jasa dengan menggunakan uang.
            Uang menjadi media transaksi yang sah, yang harus diterima oleh siapapun bila ia ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek, kartu kredit, kartu debet, dan lain sebagainya.
3.     Uang sebagai Media Penyimpan Nilai
            Uang yang diterima oleh seseorang, kadang tidak dikeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tetapi disimpan untuk membeli barang atau jasa pada waktu yang lain. Karena menyimpan barang, mempunyai risiko yang tinggi, maka uang digunakan untuk menyimpan nilai barang atau jasa.
            Ibnu Khaldun menyatakan bahwa uang adalah sebagai alat simpan nilai, karena emas dan perak meruapakan barang tambang yang bisa bertahan lama, maka dibuatlah uang dari emas, perak dan logam lainnya.
4.     Uang sebagai Standar Pembayaran Tunda
            Karena proses jual-beli tidak selalu terjadi dengan uang tunai, maka digunakanlah uang untuk alat pembayaran jual beli dengan utang.[8]
            Dari fungsi-fungsi tersebut jelas bahwa yang terpenting adalah stabilitas uang, bukan bentuk uang itu sendiri. Maka meskipun uang dinar dan dirham ditebitkan oleh bukan negara Islam, keduanya dipergunakan pada zaman Nabi saw karena memenuhi kriteria uang yang stabil.[9]
            Dalam Islam, capital adalah private goods, sedangkan uang adalah public goods. Uang yang ketika mengalir adalah public goods atau flow concept, lalu mengendap ke dalam kepemilikan pribadi seseorang (stock concept), uang tersebut berubah menjadi milik pribadi (private goods).
            Konsep public goods belum dikenal dalam teori ekonomi sampai tahun 1980-an, baru setelah muncul ekonomi lingkungan, muncul pembahasan tentang externalities, public goods, dan lain sebagainya. Dalam Islam, konsep ini sudah dikenal lama, terlihat dari Hadits : “Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal : air, rumput dan api” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah). Dengan demikian, berserikat dalam hal public goods bukan merupakan hal yang baru dalam ekonomi Islam, bahkan konsep ini sudah terealisasi, baik dalam bentuk musyarakah, muzara`ah, musaqah, dan lain sebagainya.

Konsep Islam
Konsep Konvensional
·         Uang tidak identik dengan modal
·         Uang adalah publics goods
·         Modal adalah private goods
·         Uang adalah flow concept
·         Modal adalah stock concept
·         Uang seringkali diidentikkan dengan modal
·         Uang (modal) adalah private goods
·         Uang (modal) adalah flow concept – Fisher
·         Uang (modal) adalah stock concept – Cambridge School

            Untuk lebih menjelaskan konsep private dan public goods, masing-masing dapat diilustrasikan dengan mobil dan jalan tol. Mobil adalah private goods (capital), dan jalan tol adalah public goods (money). Apabila mobil tersebut menggunakan jalan tol, baru kita dapat menikmati jalan tol. Namun apabila mobil tersebut tidak menggunakan jalan tol, maka kita juga tidak bisa menikmati jalan tol tersebut. Dengan kata lain, jika uang yang kita miliki diinvestasikan dalam proses produksi, maka kita baru akan mendapatkan lebih banyak uang.
            Sedangkan dalam ekonomi konvensional, uang dan capital dapat menjadi private goods. Uang harus mendapatkan tambahan atau lebih banyak uang, baik yang diinvestasikan dalam proses produksi, atau yang tidak diinvestasikan. Di sini kita mendapatkan teori bunga (interest theory) yang dikemukakan oleh para ekonom konvensional menjadi kabur.[10]

Kebijakan Moneter
            Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris mupun historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi yang lain.
Sejarah Kebijakan Moneter Islam
            Sistem keuangan pada zaman Nabi saw menggunakan bimetalic standard yaitu emas dan perak (dinar dan dirham), karena keduanya adalah alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Nabi saw relatif stabil, dengan nilai kurs dinar-dirham 1 : 10. Namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalnya pada masa dinasti Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1 : 12, sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1 : 15.[11]
            Di samping nilai tukar pada dua pemerintahan ini, pada masa yang lain nilai tukar dinar dan dirham mengalami berbagai fluktuasi, dengan nilai paling rendah pada level 1 : 35 sampai 1 : 50. Instabilitas dalam nilai tukar uang ini akan mengakibatkan terjadinya uang kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik (bad coins to drive good coins out of circulations, yang dalam literatur konvensional peristiwa ini disebut dengan hukum Gresham. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M), dimana mata uang logam yang beredar terbuat dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. Peristiwa ini terjadi saat uang dari jenis emas (dinar) dan perak (dirham) menghilang dari peredaran karena adanya perbedaan nilai kurs dengan daerah lain. Sebagai contoh, bila kurs di wilayah pemerintahan Mamluk adalah 1 : 20 ( 1 emas banding 20 fulus tembaga), sedangkan daerah lain adalah 1 : 25, maka emas (dinar) yang ada di daerah Mamluk akan dibawa ke wilayah lain yang akan dapat ditukarkan dengan 25 fulus. Tentu saja perbedaan nilai ini akan mengakibatkan emas di peredaran akan menghilang.[12]
            Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi, yaitu :
a.       The gold coin standard, di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran,
b.      The gold bullion standard, di mana logam emas bukanlah alat tukar yang beredar, namun otoritas moneter menjadikan logam emas sebagai parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar,
c.       The gold exchange standard, di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu diback-up secara penuh oleh cadangan emas yang dimiliki.[13]

Manajemen Moneter Islam
            Dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai standar nilai tukar uang. Khalifah Umar bin Khattab (23/644) telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang dari kulit binatang. Beberapa fuqaha diantaranya Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah mendukung keberadaan uang fiducier ini, namun Ibn Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan dirham dari peredaran. Sementara Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas dan perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
            Hal ini membawa kita kepada dua pertanyaan yang saling berkaitan, mengenai siapa yang berhak mengeluarkan uang fiducier dan bagaimana stabilitas nilai uang tersebut dapat dicapai dalam sistem keuangan tanpa bunga. Secara umum, para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang berhak untuk mengeluarkan uang, dan pemerintah wajib menjamin terciptanya kestabilan nilai uang tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali mensyaratkan pemerintah untuk :
1. Menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai alat pembayaran resmi
 2. Wajib menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan
3.  Memastikan tidak adanya perdagangan uang.[14]
            Keberadaan uang dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang sangat penting. Ketidakadilan dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang, akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin mempersulit untuk merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mampu melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadilan  dalam sistem yang dianutnya.[15]
            Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya, sehingga perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang memungkinkan sumber daya teralokasi secara merata, pendapatan terdistribusi dengan baik, optimum growth, full employment, dan stabilitas perekonomian.

Penutup
            Pada dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis : perlu serta mendesak, dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat dimasukkan sebagai permintaan uang untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan dan investasi produksi. Sedangkan jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan (israf), investasi yang tidak produktif dan spekulasi.  
            Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Enzler Conrad dan Lewis Johnson[16], telah ditemukan bukti yang memperkuat untuk sampai pada kesimpulan bahwa di Amerika Serikat, saham modal yang ada pada saat ini telah mis-alokasi sangat serius di antara sektor (ekonomi dan jenis-jenis modal), dana yang mis-alokasi mungkin sangat serius tersebar dalam berbagai sektor perekonomian dan jenis modal.
            Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga sebagai instrumen moneter, justru akan mengakibatkan penyalahgunaan sumber dana untuk tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan suku bunga dalam sektor makro, telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investasi yang kurang produktif, dan tingginya spekulasi.
            Oleh karena itu, para ekonom Islam lebih mengandalkan pada tiga variabel penting di dalam manajemen permintaan uang. Variabel-variabel tersebut adalah[17] :
1.      Niali-nilai moral,
2.      Lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga,
3.      Tingkat keuntungan riil sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
            Ketiga variabel ini akan saling mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang diminta, namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber dana pada tujuan yang lebih efisien.
            Keberadaan suku bunga sebagai instrument intermediary dalam sistem keuangan, dapat menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang yang kurang produktif atau terlalu spekulatif, karena sistem bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman.
            Dengan adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari keberadaan suku bunga, diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan (israf), dan investasi yang berorientasi keuntungan di sektor riil. Kesinambungan antara ketiga variabel ini dalam suatu sistem moneter, akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.









Daftar Pustaka :
            Al-Mushlih, Abdullah dan Al-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah : Abu Umar Basyir, Darul Haq, Jakarta, 2004.

            An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cetakan Ketujuh, 2002.

            Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan Pertama, November 2000.

            Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Penerjemah : Saifurrahman Barito & Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

            Karim, Adiwarman A., Ekonomi Makro Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Edisi Kedua, 2007.

            ____________, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, Cetakan Ketiga, Maret 2007.

            Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Penerjemah : M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997.

            Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teoritis, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Cetakan Pertama, Januari 2008.

            Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Desember 2005.

            Zallum, Abdul Qadir, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Penerjemah : Ahmad S. Dkk, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2006.
           



[1]  Lihat antara lain Colin Rogers, Money, Interest and Capital : A Study in The Foundation of Monetary Theory, Cambrige University Press, 1989, dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Edisi Kedua, 2007, h : 77
[2]  Lihat Frederic S. Mishkin, The Economy of Money, Banking, and Financial Market, New York, Addison Wesley Longman, 2001, Edisi 6, dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, ibid, h : 77
[3]  Ibid, h : 78
[4]  Idib, h : 78
[5]  Ibid, h : 78
[6]  Ahmad Hasan, Mata Uang Islami : Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, penerjemah : Saifurrahman Barito & Zulfakar Ali, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h : 2-7
[7]   Ibid, h : 12-13
[8]  M. Ali al-Laitsi dan M. Mahrus Ismail, Muqaddimah fi al-Iqtishad, Dar al-Nahdhah, Beirut, 1970, h : 308
[9]  Uang dinar yang terbuat dari emas diterbitkan oleh Raja Dinarius dari kerajaan Romawi, sedangkan uang dirham dari perak diterbitkan oleh Ratu dari kerajaan Sasanid Persia, ibid, h : 28-31, lihat juga Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, ibid, h : 82
[10]  Lebih lanjut lihat Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, ibid, h : 80
[11]  M. Dhiya al-Din al-Rais, Al-Kharraj wa al-Nudzum al-Maliyah li al-Daulah al-Islamiyah, Maktabah al-Anglo al-Mishriyah, Kairo, h : 369
[12]  Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, ibid, h : 177-178
[13]  Ibid, h : 178
[14]  Penekanan Al-Quran mengenai uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli adalah QS. 6 : 152, 7 : 85, 11 : 85, 17 : 35 dan 26 : 181).
[15]  M. Umer Chapra, Why has Islamic Prohibited Interest?, Review fo Islamic Economics, No.9, h : 5-20, dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, ibid, h : 178-179
[16]  Sebagaimana dikutip dalam M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (terjemahan dari : Toward A Just Monetary System), penerjemah : Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Press, Jakarta, 2000, h : 66-69
[17]  Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, ibid, h : 179-180